refleksi: Perlukah diklarifikasikan penjualan pulau oleh Pemda? Kalau diikuti pemberitaan media cetak Indonesia mengenai penjualan pulau, maka isu penjualan pulau ini bukan baru. Pada zaman kekuasaan Pak Harto sudah disuarakan. Tetapi, kebetulan Pak Harto keburu jatuh terpelanting dari kursi kekuasaan membuat kelanjutan berita penjualan pulau terhenti. Kemudian beritanya timbul kembali pada masa kekuasaan Megawati, tetapi tidak sampai diadpertensikan seperti sekarang ini.
Barangkali masalah penjualan pulau oleh Pemda ini tidak banyak berbeda dengan konsesi exploatasi kekayaan alam yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada perusahaan-perusahaan lokal mapun asing. Bukankah dalam memberikan konsesi-konsesi itu tidak pernah pemerintah pusat bertanya tentang izin sesuai hukum adat kepada penduduk setempat atau memberikan penerangan kepada rakyat daerah dan Pemdanya tentang konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Tau-tau datang traktor, gali sana gali sini, hasilnya dibawa, rakyat setempat hanya menjadi penonton. Agaknya masalahnya seperti apa yang pernah dikatakan oleh Kenneth Galbraith tentang doktrin Tai Kuda (Horse shit doktrine) dimana rakyat disamakan dengan burung gelatik hanya bisa mecicip sisa-sisa gandum yang tidak terkunyak dan jatuh bersama tai kuda. Begitulah keadaan eksploatasi di daerah-daerah. Lihat pada Kalimatan, hutan dibabat, batu bara digali, tetapi apa yang didapat oleh orang Dayak? Lumpur Lapindo, bagaimana kehidupan penduduk Sidoarjo yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta mata pencaharian? Pepatah Melayu kuno mengatakan "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", jadi pertanyaan yang timbul sehubungan dengan penjualan pulau ialah apakah ada perlunya diklarifikasikan penjualan pulau kepada pemerintah pusat dalam hal ini Depdagri. Ataukah seharus penjualan itu melalui salah satu perusahaan milik salah seorang penguasa negara dan dengan begitu berarti restu pemerintah pusat? Suatu hal yang mungkin saja bisa disepakati ialah bila negara yang mulai menjual hak miliknya tanpa kompensasi memada kepada rakyat setempat, maka penguasa negara itu tidak banyak berbeda dengan kekuasaan kolonialisme dan exploatasinya di masa silam. Apa komentar Anda? ---- HARIAN ANALISA Edisi Selasa, 11 Desember 2007 Dua Pulau Dilego, Depdagri Minta Klarifikasi Pemda NTB Jakarta, (Analisa) Departemen Dalam Negeri (Depdagri) akan meminta klarifikasi kepada Pemda Nusa Tenggara Barat terkait penjualan Pulau Panjang dan Meriam Besar di Sumbawa, NTB, yang ditawarkan via internet. "Depdagri akan berkoordinasi dengan pihak terkait di tingkat pusat dan meminta klarifikasi Pemda NTB," kata Kapuspen Depdagri Saut Situmorang di Gedung Depdagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (10/12). Saut menegaskan, tidak ada dasar aturan dan pasal-pasal yang menjadi celah bagi penjualan wilayah teritorial Indonesia. Berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menurut dia, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, bukan oleh daerah. "Yang ada otonomi daerah itu desentralisasi kewenangan mengelola, bukan kepemilikan. Jika berbicara batas-batas wilayah itu adalah batas-batas wilayah pengelolaan, bukan kepemilikan. Itu milik negara," ujarnya. Dugaan keterlibatan pejabat pemerintah dalam penjualan Pulau Panjang dan Meriam Besar di Sumbawa, NTB melalui internet menjadi sorotan. Depdagri diminta jangan segan-segan memecat pejabat bersangkutan. "Itu nggak bisa dibenarkan. Depdagri harus mencari tahu siapa yang menjual pulau itu dan apa motivasinya. Itu sudah menjual kedaulatan," kata Ketua FPG DPR Priyo Budhi Santoso di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/12). Menurut anggota Komisi II DPR ini, seharusnya pejabat tersebut memelihara dan mengembangkan pulau, bukan sebaliknya malah menjual pulau. "Pada rapat Komisi II nanti saya akan pertanyakan masalah ini kepada Mendagri, bagaimana pemeliharaan pulau-pulau itu. Kalau ada pejabat yang terkait, harus dipecat itu," cetus Priyo. Jika penawaran Pulau Panjang dan Meriam Besar dimaksudkan untuk dikembangkan, Priyo dapat memahami. Sebab jika kedua pulau itu dikelola dengan profesional, akan mendatangkan keuntungan bagi negara. "Kalau lego itu untuk investasi bagi negara ya nggak apa-apa. Bagus itu. Tapi kalau dijual ke asing, itu menjual kedaulatan namanya," pungkas Priyo. Tak Mungkin Dijual Menanggapi hal itu, Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Syamsul Maarif mengatakan, pulau tidak mungkin dijual. Bahkan pengelolaannya saja harus seizin menteri. "Penjualan itu adalah melanggar hukum. Kami memang baru menerima laporannya tetapi kami akan mengambil tindakan," ujar Syamsul Maarif di sela-sela pertemuan UNCCC di Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Senin (10/12). "Kami akan lihat aturannya ke aparat hukum sesegera mungkin setelah data dikumpulkan," katanya. Dituturkan dia, UU No. 27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil menegaskan pulau kecil tidak mungkin dijual. Pengelolaan oleh pihak asing pun harus seizin Menteri Kelautan dan Perikanan. DKP, lanjut Syamsul, sudah berkomunikasi dan menyatukan visi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto. Pulau kecil tidak dilihat sebagai sebidang tanah, namun sebagai entitas lingkungan. "Kalau dijual ada proporsinya. Misalnya 5 persen dari luas wilayah. Jadi tidak seluruh pulaunya bisa dijual," kata Syamsul. Situs Pelego Pulau "Error" Sementara itu situs internet untuk melego Pulau Panjang dan Meriam Besar di Sumbawa, NTB setelah menjadi bahan perbincangan DPR, Depdagri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP, www.karangasemproperty.com itu kini "error". "In order to view your homepage, please name your main page 'index.htm' (using lower case letters)." Hanya itulah yang tertulis dalam situs yang sebelumnya menampilkan foto Pulau Panjang seluas 33 hektar dan Meriam Besar seluas 5 hektar nan indah pada halaman utamanya. Tulisan itu muncul sekitar pukul 18.00 WIB, Senin (10/12). Padahal sebelumnya situs ini penuh dengan foto-foto dan spesifikasi Pulau Panjang dan Meriam Besar yang hendak dilego oleh Karangasem Property. Saat situs berbahasa Inggris ini masih bisa diakses, tertulis Karangasem Property, sang penjual kedua pulau, mengklaim sebagai spesialis real estate dan properti di Indonesia yang mengembangkan sayap di Eropa. Perusahaan yang berkantor di Jalan Dharmawangsa Kerta Sari, Padang Kerta Karangasem, Bali, ini mengaku berwenang menemukan properti-properti unik untuk dibawa ke pasar internasional.