Refleksi: Mengapa tidak dibuat sedemikian rupa agar supaya orang miskin bisa 
makan daging tiap hari semaunya dan bukan hanya sekali setahun diingat atas 
belas kasihan ritual agama? 

http://batampos.co.id/content/view/36037/97/

      Jumat, 14 Desember 2007


      Absurditas Seputar Memaknai Kurban        
     
      Oleh: Mahmudi Asyari*


      Dalam sebuah pertemuan panita kurban, yang secara kebetulan penulis 
hadir, Ketua Panita Pemotongan Hewan Kurban (demikian bisa disebut) dengan 
gagah menyatakan, "Kambing pertama jatuh (alias ditolong) langsung dibawa ke 
dapur supaya pas jam makan siang lansung bisa dikonsumsi (panitia)". Demikian 
pernyataan sang ketua berkaitan dengan masalah daging kurban.


      Penulis yang kebetulan ada di situ memberikan komentar bahwa memang semua 
orang berhak mendapatkan jatah daging kurban termasuk orang yang dengan niat 
baik mau memotong hewan kurban. Namun, mengingat selama ini hikmah yang 
digembar gemborkan dari pemotongan itu adalah untuk berbagi dengan sesama, 
maka-penulis menekankan-pernyataan ketua itu menjadi kontraproduktif dengan 
semboyan (hikmah) itu, karena di balik itu, ternyata yang paling berkepentingan 
adalah orang-orang dalam satu-paling tidak-hampir tidak pernah makan daging. 
Oleh sebab itu, penulis sarankan agar 'pesta' makan daging yang menjadi 
tujuan-meskipun bisa dijadikan dasar pembenaran-utama. Sebab, jika itu yang 
menjadi fokus utama, maka orang-orang lemah yang dijadikan dasar legitimasi 
pembenaran hanya menjadi obyek saja. Sementara orang-orang yang sebenarnya 
tanpa mengambil daging kurban sudah sanggup membeli meskipun tidak setiap saat 
justru yang paling bersemangat dan bisa jadi mengambil lebih dibandingkan jatah 
orang-orang miskin  yang cuma sekerat daging dan sejumlah tulang serta jeroan.


      Apa yang dikemukakan ketua panitia tadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang 
aneh mengingat dalam praktiknya hal sejenis banyak dijumpai di lapangan. 
Seperti sejumlah instansi Pemerintah yang menuntut jatah hewan di mana 
sebenarnya mereka jauh lebih mampu dari orang-orang yang semestinya.
      Memperhatikan hal itu, maka-menurut penulis-sesungguhnya bahwa jargon di 
balik ibadah kurban adalah untuk lebih peduli kepada orang lemah tidak lebih 
dari sebuah bentuk absurditas belaka, karena dalam kenyataan orang-orang 
tersebut hanya terhormat dalam sebutan. Sementara untuk mendapatkan jatah, 
mereka harus antri hanya untuk sejumlah daging yang tidak seberapa.


      Berkaitan dengan fenomena itu, menurut penulis, umat Islam masih terus 
belajar tentang hikmah ibadah kurban, tapi belum berusaha untuk naik kelas 
sehingga nilai kebaikan di dalamnya menjadi sebuah praktik yang memberdayakan.


      Penulis kira, fenomena itulah yang mendorong sejumlah orang sejak zaman 
sahabat untuk mengkritisi masalah itu, karena nilai yang diharapkan tetap 
sebatas hikmah yang dibicarakan dipertahankan, namun tidak kunjung menjadi 
sebuah kenyataan dalam praktik. Seorang sahabat bernama al-Sya'by pernah 
mengatakan bahwa dirinya dari pada memotong hewan kurban lebih suka memberikan 
sejumlah uang. Ia menilai solidaritas melalui sekerat daging tidak akan pernah 
cukup untuk dijadikan alat pemberdayaan orang lemah. Meskipun demikian, sahabat 
itu tidak pernah mengatakan kurban. Namun, di balik ungkapan itu dapat 
dikatakan bahwa bersangkutan-menurut penulis-jelas mengeritik praktik "lomba" 
memotong hewan kurban.


      Secara normatif untuk mengkonversi pemotongan hewan kurban dengan 
sejumlah uang yang senilai dengannya sulit diwujudkan, karena masih kuatnya 
hegemoni doktrin yang mengharuskan kurban (nahr) dengan cara memotong hewan. 
Kesulitan mengkonversi itu, karena memang tidak ada contok praktis dari Nabi 
sebagaimana layaknya ibadah yang lain di mana pembentukannya harus melalui 
petunjuk Syari'. Di samping itu, jika nilai yang dikedepankan relativitas akan 
mengemuka, karena nilai di atas kambing, sapi, atau unta tentunya akan lebih 
baik.


      Berkaitan dengan silang pendapat seputar apakah harus memotong hewan atau 
dengan mengganti dengan sejumlah uang, menurut penulis, terdapat jalan tengah 
yang mesti dikampanyekan kepada masyarakat, yaitu bahwa kurban cukup dilakukan 
sekali seumur hidup. Selebihnya, jika masih berkelebihan harta, tahanlah 
"syahwat" berkurban dan bersedekahlah kepada mereka yang masih perlu dibantu 
agar suatu saat mereka bisa memotong hewan kurban juga. Dengan membatasi kurban 
hanya sekali, tidak hanya para peternak yang diberdayakan, tapi juga 
orang-orang lemah dan tidak berdaya juga bisa diberdayakan melalui sedekah 
harta tersebut.


      Menurut penulis, sesuai dengan kategori pensyariatan kurban yang masuk ke 
dalam kelompok sunnah bukan wajib sudah selayaknya "syahwat" berkurban itu 
dibatasi dan menggantinya dengan berimfaq. Dan, menurut penulis nilainya tidak 
akan lebih kecil dari memotong hewan kurban,  bersedekah kepada yang memerlukan 
bantuan juga "kurban" (mendekatkan diri kepada Allah). Wa Allah 'a`lam bi 
al-shawab. ***


      *) Mahmudi Asyari, pemerhati sosial keagamaan
     

Reply via email to