Sabtu, 15 Desember 2007 

http://batampos.co.id/content/view/36081/97/

      Bijak Menentukan UMK        
     
      Oleh: Baru Rohim SE*

      Bagian Pertama dari Dua Tulisan

      Persoalan upah minimum kota (UMK) adalah salah satu dari beberapa 
persoalan di dunia ketenagakerjaan, meski sebenarnya masih banyak variabel 
selaian UMK dalam dunia ketenagakerjaan. UMK yang saat ini masih dalam proses 
dead lock oleh para pengambil keputusan di daerah ini- pengambil keputusan 
meliputi pemerintah, pengusaha dan perwakilan dari pekerja (tripartit), 
masing-masing masih mengedepankan data dan argumen yang saling tidak ketemu. 


      Sebenarnya, persoalan pengambilan keputusan masalah UMK merupakan 
persoalan yang rutin dan kontinuu dari tahun ke tahun. Analoginya tidaklah 
terlalu rumit dan memakan waktu yang lama, karena proses pengambilan keputusan 
bisa mengacu dari tahun sebelumnya sebagai refrensi guna disempurnakan. 
Persoalan perburuhan pada hakekatnya merupakan bagian dari problematika 
masyarakat secara menyeluruh, di mana buruh merupakan bagian dari masyarakat. 
Sehingga, semua persoalan yang menyangkut UMK tentu mempunyai korelasi dampak 
positif maupun negative pada masyarakat secara umum, apakah pegawai negeri 
sipil TNI/ Polri, petani, nelayan, para guru, birokrat, dokter, legislator dan 
para perkerja lainnya. Artinya, ketika para buruh berjuang untuk mendapatkan 
kesejahteraan yang layak, maka masyarakat lainnya akan mendapatkan nilai 
manfaat yang sama atau bahkan lebih, walau mereka tidak ikut dalam proses 
perjuangan untuk mendapatkannya.


      UMK yang diperoleh buruh diharapkan akan dapat menyentuh langsung,  guna 
memenuhi kebutuhan hidup beserta tanggunganya. Akan tetapi, pertanyaan yang 
mendasar bagi masyarakat yakni seberapa nilai manfaat dari besarnya UMK itu 
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Di sini penulis mencoba memberikan 
pandangan bagaimana agar UMK yang diputuskan mempunyai nilai benefit bagi buruh 
serta masyarakat menyeluruh secara umum, agar supaya masyarakat mendekati 
kehidupan yang layak dan sejahtera lahir dan batin.


      Jujur, para pihak sebenarnya menyadari bahwa saat ini negara kita 
menganut neo capitalism system, di mana rendahnya upah buruh menjadi iklan para 
elit untuk dijadikan komoditi memasarkan kepada para investor asing maupun 
dalam negeri agar mereka menanamkan modalnya di daerah ini. Penanaman modal 
tersebut guna menekan dan mengurangi angka pengangguran. Upah merupakan salah 
satu komponen over head cost dalam dunia usaha. Sehingga, semakin kecilnya 
nilai upah maka biaya over head cost semakin kecil pula. Pada tataran neo 
capitalism system, eksploitasi buruh tidak dapat dihindari. Mengapa? Karena 
posisi mereka mayoritas berkualitas SDM kurang berkompetensi, akibatnya tidak 
memiliki nilai tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang mereka inginkan.


      Sementara pemerintah yang diharapkan memihak kepada buruh secara tidak 
langsung sering dituding cenderung memihak para pengusaha. Di sini kaum buruh 
mendapat posisi "sulit menolak". Di mana posisi tawar yang rendah di atas 
sampai sekarang kondisinya tidak mengalami perubahan berarti, karena pembinaan 
dan peningkatan kualitas buruh baik pengetahuan dan kualitas keterampilan belum 
mendapatkan fasilitas kemudahan dari pemerintah. Padahal, jika pengelolaan dana 
pengembangan keahlian dan keterampilan (skill development found) yang didapat 
dari perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA)- di mana setiap 1 
orang asing, perusahaan harus membayar 1.200 dolar AS/tahun. Apabila pemerintah 
dapat mengelola secara sistemik dan strategis dana ini, maka pemerintah tidak 
mendapatkan kesulitan apapun dalam masalah kompentensi dan kesejahteraan tenaga 
kerja/ buruh. Namun, campur tangan pemerintah dalam masalah ini belum maksimal.


      Bahkan, publik tidak mengetahui persis dana di atas digunanakan untuk apa 
oleh pemerintah pusat. Harusnya, pemerintah daerah bekerjasama dengan pekerja 
dan pengusaha dapat mengajukan ke pemerintah pusat untuk meminta sedikit bagian 
dari jumlah dana pengembangan keahlian dan keterampilan (DPKK) yang ada, untuk 
kepentingan pengembangan pengetahuan dan keterampilan buruh serta kesejahteraan 
di daerah ini. Bayangkan, TKA yang bekerja di perusahaan yang ada di Kota Batam 
dengan asumsi berjumlah 2.500 orang, saja maka dana yang disetor ke pusat 
terkumpul 3.000.000 dolar AS atau sekitar Rp30 miliar /tahun. Karena permintaan 
dana tidak dilakukan oleh para pihak di atas, akibatnya buruh tetap pada posisi 
yang sulit. Kondisi ini ditambah lagi tingginya angka pengangguran, rendahnya 
kompetensi SDM, sempitnya lapangan kerja, inflasi harga barang pokok yang tidak 
pernah mengalami penurunan, hal tersebut ikut mempengaruhi posisi buruh semakin 
sulit dan rendah nilai tawarnya. Ironis bukan!!


      Andai saja DPKK benar-benar dapat dikelola dengan baik sesuai dengan 
fungsinya, maka pemerintah tidak hanya sebagai regulator akan tetapi pemerintah 
juga sebagai pembuka lapangan kerja dan penyedia bagi tenaga kerja yang 
berkompetensi, serta dapat meringankan beban biaya dalam kehidupannya. 


      Namun, kembali pada sistem di atas, yakni system capitalism, peran 
pemerintah atau negara diminimkan. Di mana, pemerintah hanya sebatas pengatur 
yang terbatas, pemerintah akan campur tangan hanya ketika keadaan darurat 
seperti bencana alam, teroris, narkoba, penyakit mematikan dan sejenisnya. 
Urusan kesejahteraan adalah tanggung jawab warganya sendiri. Dalam kondisi 
demikian, orang yang kaya akan semakin kaya, orang yang miskin semakin miskin, 
jurang pemisah antara si kaya dan miskin, birokrat dengan rakyat, pengusaha 
dengan pekerja, akan semakin melebar dan membahayakan. Buruh tetap menjadi 
buruh, jenjang karir buruh sulit digapai karena sebagian besar mereka memakai 
sistem kontrak, di samping karena nilai tawar yang rendah seperti di atas.


      Di mana sebenarnya ruh menentukan UMK di Kota Batam, agar masing-masing 
para pihak mendapatkan nilai manfaat, walau kita sadar negara terlanjur 
menganut capitalism system! Melihat masalah perburuhan yang demikian komplek di 
atas, masyarakat, para pekerja, pemerintah, pengusaha tidak boleh menyalahkan 
siapa-siapa. Kita sebagai bangsa Indonesia, bagi yang mempunyai jiwa 
nasionalisme sejati, yang mempunyai merah putih dalam jiwa yang suci, yang 
selalu ingat cita-cita para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan 
kemerdekaan NKRI, yang akan selalu mengisi kemerdekaan ini dengan terpuji, 
akankah kita membiarkan persoalan ini secara terus-menerus berlangsung sampai 
saat ini?

      Sampai detik ini belum ada indikator perbaikan dan peningkatan 
kesejahteraan masyarakat secara umum. Masyarakat hanya merasakan stabilitas 
politik saja, fasilitas kesehatan, pendidikan, tersedianya barang-barang 
seperti minyak goreng, terigu, beras, bumbu dan sayuran semakin tak terjangkau.
      Sebenarnya, masyarakat mulai sadar telah lama buruh mengalami nasib 
seperti di atas, akankah mereka selalu dijadikan sapi perahan di negaranya 
sendiri. Mereka adalah saudara kita sebangsa setanah air, yang mempunyai hak 
yang sama di negeri ini. 


      Apabila kita sadar dengan hal itu, marilah kita pecahkan persoalan 
perburuhan dengan cara culture dan regulation produk bangsa kita sendiri. 
Hindari memakai produk impor yang dapat menyeret lebih jauh nasib buruh dan 
bangsa ini semakin memprihatinkan. Sebab, persoalan tenaga kerja adalah 
merupakan persoalan  sosial dan masyarakat, yang membutuhkan penyelesaian yang 
menyeluruh dan sistemik, bukan saja bagi pemerintah tapi juga pengusaha dan 
masyarakat itu sendiri atau pekerja, karena persoalan tenaga kerja bukanlah 
persoalan individu, persoalan ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. 


      UMK sebentar lagi akan diputuskan oleh pengambil keputusan walaupun 
sekarang masih dead lock. Seberapa besar kenaikannya tidaklah menjadi ukuran, 
jika nilai manfaatnya tidak dirasakan pekerja/ buruh dan masyarakat umum. Akan 
tetapi, yang menjadi substansi agar UMK mempunyai nilai manfaat bagi pekerja/ 
buruh dan masyarakat umum, itulah yang harus diselesaikan, yakni mengajak para 
pihak untuk dapat bersatu padu meringankan beban harga bahan pokok yang 
cenderung mengalami inflasi. 


      Kepada para pengusaha importir di bidang sembako, diharapkan kiranya 
dapat membantu mengutamakan kepentingan masyarakat, jangan memonopoli apalagi 
mengail keuntungan di saat masyarakat mengalami kehimpitan. Bayangkan ketika 
mereka (masyarakat, red) hanya bisa mengkonsumsi saja, mereka tidak bisa 
menabung dari pendapatannya, karena memang habis untuk bisa dikonsumsi, 
dikarenakan harga selalu mengalami inflasi. ***

      *)Baru Rohim SE, Ketua PW GP Ansor Provinsi Kepulauan Riau, Sekretaris 
Umum Ikatan Praktisi Sumber Daya Manusia (IPSM) Barelang
     

Kirim email ke