Refleksi: Bisa dipercaya bahwa tidak ada manipulasi, tetapi datanya tidak 
mendekati fakta..

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319035

Jumat, 28 Des 2007,


Tak Ada Manipulasi Data Kemiskinan


Menkominfo Bantah Pernyataan Rizal Ramli
JAKARTA - Kritik mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menggundahkan pemerintah. 
Karena itu, kemarin (27/12), Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh 
mengklarifikasi. Dia menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah memanipulasi data 
kemiskinan melalui Badan Pusat Statistik (BPS).

"Tidak ada (manipulasi) itu. Pemerintah juga tidak mengintervensi tugas BPS," 
ujarnya dalam keterangan pers di kantor Menkominfo kemarin.

Pemerintah, kata dia, mempersilakan BPS untuk menjalankan tugas sesuai 
wewenangnya. Termasuk, melakukan survei untuk mengetahui tinggi rendahnya angka 
kemiskinan serta pengangguran. "Silakan BPS melakukannya sesuai kaidah-kaidah 
keilmuan," jelas mantan rektor ITS itu.

Sehari sebelumnya, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli menyatakan bahwa 
pemerintah berada di jalur yang salah. Selain itu, kata dia, pemerintah 
melakukan rekayasa statistik dalam metode penghitungan angka kemiskinan serta 
pengangguran (Jawa Pos 27/12). 

Menyikapi hasil survei BPS tersebut, Nuh mencontohkan dengan menyebutkan tiga 
jenis cermin. Yakni, cermin datar, cekung, dan cembung. Nah, menurut dia, 
pemerintah berlaku seperti sifat cermin datar. "Ia menyampaikan dengan apa 
adanya. Sesuai aslinya. Tidak malah mencekungkan atau mencembungkan," tegasnya.

Nuh mengaku, pemerintah memaklumi jika terjadi perbedaan pendapat tentang hasil 
kerjanya melalui survei BPS. Namun, perbedaan itu diharapkan bisa disikapi 
dengan bijak. 

Bahkan, dia meminta agar siapa pun bisa menyampaikan data yang benar kalau 
memang data yang dirilis pemerintah salah. "Data harus dilawan dengan data. 
Jangan dibenturkan dengan persepsi," ujarnya. 

Sebaliknya, Rizal Ramli tetap bersikeras pada pendapatnya. Dalam refleksi akhir 
tahun yang diselenggarakan Komite Bangkit Indonesia (KBI) kemarin di Jakarta, 
mantan Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid tersebut 
menegaskan, rekayasa metodologi penghitungan angka kemiskinan dan pengangguran 
dilakukan pemerintah dengan bantuan tenaga ahli Bank Dunia. 

"Bank Dunia punya kepentingan agar program mereka di Indonesia berhasil, 
sehingga perwakilan Bank Indonesia di Indonesia mendapat pujian dari Washington 
(AS, Red)," ungkapnya. 

Dia menyatakan, pemerintah tidak pernah merekayasa data kemiskinan. Yang 
direkayasa adalah metodologinya. "Kalau datanya, kan BPS (Badan Pusat 
Statistik) yang main. Tapi, data itu kan diproses dengan metodologi," jelasnya.

Rizal menjelaskan, rekayasa terjadi pada pengubahan definisi orang yang bekerja 
dan tidak bekerja. Dia lalu mencontohkan, dalam metodologi penghitungan data 
kemiskinan, selalu ada faktor pembagi. 

Pada 2007, faktor pembaginya adalah harga barang-barang sebelum kenaikan harga 
BBM. "Jadi, faktor pembaginya jauh lebih kecil. Sebab, kalau harga-harga saat 
ini dimasukkan, yakni harga-harga sudah lebih tinggi, faktor pembaginya lebih 
besar," katanya.

Tapi, Bank Dunia menyatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 49,5 
persen? Menjawab pertanyaan tersebut, Rizal menjelaskan, ada dua standardisasi 
angka kemiskinan yang secara internasional dipakai. Salah satunya, Bank Dunia 
menggunakan standar penghasilan USD 2 per hari. 

Artinya, orang dengan penghasilan di atas USD 2 sudah dianggap tidak miskin. 
"Tapi, kalau di kota besar, dengan asumsi keluarga mempunyai tiga anak, berarti 
seorang kepala keluarga harus menghidupi lima anggota keluarga. Dua dolar kan 
sekitar Rp 20 ribu. Jadi, mana cukup uang segitu?" ujarnya. (fal/cak/tom/

Kirim email ke