PIKIRAN RAKYAT
Kamis, 03 Januari 2008   

Banjir Korupsi dan Longsor Legitimasi

Oleh ATIP TARTIANA

Banjir dan longsor belakangan ini secara bertubi-tubi menghantui berbagai 
daerah di negeri ini. Wilayah yang selama ini tak pernah terkena banjir dan 
longsor pun kali ini mengalami hal serupa dengan wilayah-wilayah langganan 
bencana ini. Akibatnya, daftar korban bencana terus bertambah menyesaki data 
statistik di dinas atau badan terkait. Belum lagi sarana prasarana milik 
masyarakat dan pemerintah dalam jumlah yang tidak sedikit ikut rusak terhantam 
bencana ini. Dahsyatnya bencana ini serta jeritan dan keresahan para korban pun 
nyaris setiap hari menjadi headline di berbagai media massa.

Fenomena ini sekaligus semakin menguatkan derasnya ungkapan sinis bahwa era 
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah era seribu satu bencana. 
Lantas, ada apa dengan SBY?

Bila bercermin pada paham tradisional Jawa --akar budaya SBY yang boleh jadi 
merupakan sumber referensi pemikiran politiknya selama ini-- tentang kekuasaan, 
berbagai bencana seperti banjir dan longsor sesungguhnya amat berkait erat 
dengan legitimasi kekuasaan seseorang. Semakin sering terjadi bencana yang 
menggiring kuatnya keresahan masyarakat, semakin rapuh-lah legitimasi kekuasaan 
seseorang.

Tesis tersebut tidak lepas dari pemahaman bahwa kekuasaan politik pada 
hakikatnya merupakan salah satu bentuk operasional tenaga gaib alam semesta. 
Kekuasaan dipahami tidak sekadar bentuk hubungan tertentu antarmanusia, tetapi 
juga bersangkut paut dengan kekuatan-kekuatan alam. Oleh karena itu, penguasa, 
meminjam ungkapan Franz Magnis Suseno, merupakan manusia yang mampu menyadap 
kekuatan-kekuatan yang berada di alam semesta. Ia dipercaya memiliki kemampuan 
mengontrol kekuatan-kekuatan kosmis yang menyatakan diri di wilayah 
kekuasaannya. 

Ketika bencana muncul bertubi-tubi di wilayah kekuasaannya, apalagi diikuti 
keresahan masyarakat di mana-mana, penguasa dipercaya telah kehilangan kekuatan 
yang dimilikinya. Keresahan rakyat dipahami tidak hanya dalam bentuk jeritan 
dan tangisan para korban bencana, tetapi juga berwujud kritik, ketidakpuasan, 
atau perlawanan terhadap penguasa serta timbulnya kekacauan-kekacauan. 

Dalam kondisi demikian penguasa diyakini sudah kehilangan wibawa dan 
legitimasinya. Penguasa dipercaya kembali memiliki legitimasi manakala rakyat 
bisa menikmati kehidupan yang tenang, aman, dan sejahtera.

Paham tradisional ini tidak mendapat ruang dalam khazanah politik modern yang 
dikenal sekarang. Dalam konsep kekuasaan politik modern, kuatnya legitimasi 
politik seorang penguasa didukung beberapa sumber, di antaranya posisi 
politiknya dipilih dan disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis), 
dijalankan sesuai hukum yang berlaku (legitimasi hukum), didukung penuh 
masyarakat (legitimasi sosiologis), dan menjalankan tindakan yang bersesuaian 
dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral). 

Namun, keduanya, baik konsep politik tradisional maupun modern, sama-sama 
memahami bahwa kekuasaan politik memerlukan legitimasi. Semakin kuat legitimasi 
seorang penguasa politik, semakin kuatlah posisi kekuasaannya. Sebaliknya, 
semakin rapuh legitimasi penguasa, semakin dekatlah ia pada kejatuhannya.

Legitimasi politik seorang penguasa menempati posisi penting karena menyangkut 
keabsahan kekuasaan. Selanjutnya, keabsahan kekuasaan dalam konteks 
pemerintahan modern selalu menuntut ketaatan dan dukungan orang-orang yang 
berada dalam sistem politiknya. 

Legitimasi SBY

Jika dinilai berdasarkan konsep politik tradisional dengan melihat potret 
seribu satu bencana yang menghantui republik ini, SBY boleh jadi sudah 
kehilangan legitimasi politiknya. Lantas, bagaimana kekuatan legitimasi politik 
SBY jika dinilai berdasarkan konsep politik modern dilihat dari sering 
timbulnya banjir dan longsor yang memakan banyak korban nyawa dan materi 
belakangan ini? Pertanyaan ini sungguh menarik untuk dibahas walau uraian dan 
konklusinya diyakini akan sangat debatable. 

Semua orang pasti tahu wujud banjir dan longsor. Namun hanya sebagian orang 
memahami bahwa banjir dan longsor bukan gejala alam an sich, tetapi juga 
terkait erat di dalamnya gejala sosial. Mengapa demikian? 

Banjir dan longsor yang muncul secara bertubi-tubi di republik ini, lebih 
banyak disebabkan perilaku destruktif manusia dalam memperlakukan alam. Di 
antara faktor penyebab terjadinya banjir dan longsor yang sering kita saksikan 
adalah pembalakan liar (ilegal logging), penambangan liar, dan penyelewengan 
tata ruang dan wilayah di kawasan lindung dan pembuangan limbah industri secara 
liar. 

Korupsi wewenang

Korupsi sesungguhnya tidak identik dengan uang. Dalam sistem kekuasaan politik 
dan birokrasi, uang merupakan salah satu variabel yang menjadi sasaran korupsi. 
Selain uang, korupsi juga bisa dilakukan terhadap aset-aset lain milik negara 
atau dalam bentuk lain, baik yang kelihatan maupun yang abstrak. Semua itu 
bermuara pada penyalahgunaan kekuasaan dalam wujud korupsi wewenang kekuasaan 
itu sendiri. 

Korupsi wewenang kekuasaan bisa muncul dalam bentuk produk-produk politik 
seperti instruksi, kebijakan, atau putusan apa pun di luar kewenangannya. 
Korupsi wewenang kekuasaan juga bisa muncul di pengadilan dalam bentuk produk 
hukum seperti pembebasan pihak-pihak tertentu yang diduga kuat melakukan 
pelanggaran hukum atas lingkungan. 

Berbagai produk politik dan hukum demikian secara tidak langsung membuka 
peluang bagi lahirnya aksi-aksi perusakan lingkungan, terutama oleh 
perusahaan-perusahaan bemodal besar dan berteknologi tinggi. 

Melihat suburnya gejala tersebut, pemerintahan SBY, selain dihantui seribu satu 
bencana, juga dihantui berbagai kasus korupsi. Suburnya korupsi di tubuh 
pemerintahan bak banjir yang menggenangi dan meluluhlantakkan sarana prasarana 
masyarakat serta menenggelamkan banyak warga tak berdosa. 

Karena aksi korupsi banyak pejabat bawahannya, legitimasi politik SBY 
sesungguhnya sedang mengalami ancaman yang cukup rawan. SBY hingga kini memang 
belum tersangkut kasus korupsi. Namun, membiarkan keresahan masyarakat karena 
banjir korupsi di berbagai daerah sama saja dengan membiarkan dirinya mengalami 
longsor legitimasi. Khusus baginya, situasi ini tentunya amat rawan menjelang 
Pilpres 2009.***

Penulis, Wakil Ketua Majelis Sinergi Kalam (Masika) Jabar, dosen FISIP 
Universitas Al-Ghifari dan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan.

Reply via email to