http://www.antara.co.id/arc/2008/1/11/wartawan-dari-mana-itu-selidik-soeharto/

11/01/08 15:34

"Wartawan Dari Mana Itu? Selidik Soeharto
Oleh Arnaz Ferial Firman


Jakarta (ANTARA News) - Penguasa era Orde Baru, Jenderal Besar Soeharto kini 
berbaring tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan, 
sejak hari Jumat, 4 Januari 2008. 

Selama masa kepemimpinannya mulai tahun 1966 hingga 21 Mei 1998 pasti 
menimbulkan berbagai kenangan kepada banyak orang di tanah air, baik yang 
positif maupun negatif. Kenangan itu akan banyak bergantung bagaimana posisi 
orang yang memiliki kenangan itu.

Orang-orang yang bisa menikmati hal positif baik di bidang politik karena 
mendapatkan posisi yang "menguntungkan" pasti akan memuji mantan Panglima 
Kostrad itu. 

Namun di lain pihak, warga yang merasa "disakiti" hatinya oleh suami almarhumah 
Ibu Tien mungkin akan berdoa supaya mantan presiden RI yang kedua itu 
cepat-cepat diseret ke pengadilan, baik perdata maupun pidana, untuk 
"mempertanggungjawabkan" perbuatannya yang "menyakitkan hatinya".

Orang-orang merasa kehilangan sanak saudaranya akibat pemberontakan G-30S/PKI 
pada tahun 1965 mungkin akan merasa senang jika Soeharto "cepat dipanggil" oleh 
Allah SWT, karena menuduh Soeharto telah memerintahkan tentara atau polisi 
"membunuh" keluarga mereka karena diduga terlibat dalam pemberontakan yang 
dilancarkan PKI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung.

Sementara itu, banyak pula tokoh masyarakat, terutama di bidang politik, yang 
merasa "dendam" kepada Soeharto karena telah meluncurkan program penyederhanaan 
partai politik, sehingga jumlah parpol telah menciut dari 10 menjadi hanya tiga 
saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia atau 
PDI, serta "Partai" Golongan Karya yang awalnya bernama Sekretariat Bersama 
(Sekber) Golkar.

Namun di lain pihak, banyak pula warga masyarakat yang merasa beruntung, 
terutama dari kalangan biasa seperti petani, karena pemerintahan Orde Baru 
telah membuat berbagai program untuk meningkatkan produksi pangan seperti beras 
dan kacang kedele, sehingga Indonesia pernah diberikan penghargaan oleh 
Organisasi Pangan Dunia (FAO) berkat keberhasilannya mewujudkan swasembada 
beras.

Karena itu, Soeharto di satu pihak, dengan segala keterbatasan serta kekurangan 
dan kelebihannya, mendapat pujian, dan di lain pihak mendapat caci- maki dari 
berbagai pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakannya di berbagai bidang 
kehidupan mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya hingga pertahanan keamanan.

Setelah sukses melakukan penyederhanaan partai politik, maka mulai tahun 
1994-1995 kemudian muncul ide dari sejumlah tokoh masyarakat untuk mendirikan 
lagi parpol-parpol yang hilang dari kancah perpolitikan dalam negeri.

Tentu keinginan itu ditentang atau ditolak mentah-mentah oleh penguasa Orba, 
termasuk Soeharto sendiri.

Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana mengetahui sikap sesungguhnya dari 
presiden saat itu, yakni apakah tetap menolak mentah-mentah atau menyetujuinya 
dengan syarat-syarat tertentu. 

Karena itu, kemudian banyak tokoh politik "minta" bantuan wartawan yang 
sehari-hari meliput acara kepresidenan di Bina Graha serta Istana Merdeka dan 
Istana Negara, tempat Soeharto sehari-hari bekerja, untuk mencari keterangan 
dari tangan pertama yang sekarang istilah kerennya adalah minta "klarifikasi".

Akhirnya seperti peribahasa "bagaikan pucuk dicinta, ulam tiba" kesempatan itu 
datang juga, saat Soeharto akan pulang ke tanah air setelah pertemuan 
internasional di Osaka, Jepang, sekitar tahun 1995-1996.

Seperti biasanya, beberapa jam menjelang pesawat Garuda Indonesia mendarat di 
tanah air, sang Kepala Negara ini memberi kesempatan kepada para "nyamuk pers" 
atau sekarang yang disebut "kuli disket" untuk menanyakan hasil lawatannya itu.

Namun yang menjadi masalah adalah wartawan mana yang harus menanyakan masalah 
politik yang sangat aktual itu kepada Soeharto yang disebut-sebut banyak pihak 
sebagai orang yang "gampang marah" dan bisa bertindak apa pun juga" terhadap 
siapa saja.

Di kalangan wartawan kepresidenan, sambil berguyon, para pencari berita ini 
dibagi ke dalam dua kelompok, yakni "wartawan pemerintah " yang mencakup LKBN 
ANTARA, RRI serta TVRI dan kelompok kedua adalah "wartawan swasta" seperti 
surat kabar serta majalah swasta.

Yang paling bersemangat untuk bertanya adalah para "wartawan swasta". Namun 
ternyata mereka "takut" untuk bertanya, karena khawatir akan "diomeli" atau 
dimarahi dalam berbagai bentuk pembalasan.

Akhirnya kesempatan yang dinanti-nantikan datang juga yakni ketika para staf 
kepresidenan menyuruh wartawan untuk maju ke dekat Soeharto untuk mengikuti 
keterangan tentang hasil pertemuan itu.

Setelah Presiden memberikan keterangan, akhirnya dia bertanya "Apa ada yang mau 
bertanya".

Puluhan wartawan yang sehari-hari meliput acara kepresidenan menjadi terdiam 
dan saling memandang satu dengan yang lainnya.

Akhirnya untuk memecah suasana hening itu, ANTARA mengacungkan tangan sebagai 
tanda mau bertanya.

"Pak, sekarang di tanah air muncul berbagai partai politik baru. Bagaimana 
sikap Bapak terhadap masalah itu," tanya ANTARA yang ditunjuk sebagai juru 
bicara para wartawan yang ada di pesawat Garuda Indonesia itu.

Jika biasanya Soeharto langsung memberikan jawaban, namun ternyata kali ini dia 
diam untuk sejenak.

"Ini tidak berkaitan dengan perjalanan saya," kata jenderal berbintang empat 
tersebut yang akhirnya memberi pangkat bintang lima kepada dirinya sendiri 
selain untuk Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Kemudian, sang penguasa ini memberikan komentarnya dan akhirnya para wartawan 
kembali ke kursi masing-masing dengan rasa puas karena hal yang dinanti-nanti 
akhirnya didapat juga.

Akan tetapi, beberapa menit kemudian, Soeharto memanggil Mensesneg Moerdiono 
dan bertanya "Wartawan dari mana sih yang bertanya masalah parpol itu".

Moerdiono yang telah puluhan tahun menjadi pembantu terdekat Soeharto pun 
menjadi kaget mendapat pertanyaan yang tidak lazim itu.

Namun akhirnya Moerdiono dengan tangkas memberikan jawaban yang sangat singkat 
"Dia (wartawan ANTARA) orang kita".

Nampaknya Soeharto cukup puas dengan jawaban tersebut dan syukur sampai 
Soeharto lengser tanggal 21 Mei 1998, ANTARA tidak terkena "tindakan" apa pun 
juga.

Bahkan keterangan Soeharto mengenai parpol-parpol baru itu keesokan harinya 
menjadi berita utama atau headline di berbagai surat kabar di tanah air.

Ternyata Soeharto pun adalah manusia biasa yang tidak murka terhadap pertanyaan 
yang "aneh-aneh" itu.


Off the record

Salah satu kebiasaan Soeharto adalah para hari Minggu atau hari libur mengajak 
tamu-tamunya untuk datang ke Tapos yang terletak di Bogor, untuk memperlihatkan 
peternakan sapi dan kambingnya.

Di Tapos, sang presiden kedua ini bisa berbicara apa saja, mulai dari masalah 
yang ringan seperti persoalan sosial budaya hingga yang berat, seperti masalah 
pertahanan dan politik.

"Ada wartawan enggak?" tanya Soeharto jika ingin bercerita tentang masalah peka 
atau rawan misalnya hubungan militer dengan negara-negara lain atau politik.

Seorang staf bagian Dokumentasi dan Media Massa (Doksa) Sekretariat Negara yang 
telah puluhan tahun ikut Soeharto biasanya dari belakang menyahut" Hanya ada 
ANTARA, RRI dan TVRI". Jika tamu itu biasanya dari ABRI --sekarang TNI-- yang 
datang, maka biasanya Sekneg hanya mengajak tiga media untuk menghindarkan 
bocornya omongan sang penguasa ini.

Pada setiap kunjungan ke Tapos atau kemana pun juga, seluruh pidato Soeharto 
direkam untuk menjadi bahan dokumentasi baik audio maupun visual.

Akan tetapi, pada satu kali Soeharto berbicara tentang keputusannya untuk 
menarik sebuah buku yang mulai beredar dalam masyarakat karena dianggap 
"melawan dirinya".

Saat di Tapos itu, kepala negara sudah mengatakan bahwa keterangannya tentang 
rencana untuk melarang buku itu adalah off the record alias tidak untuk 
disiarkan.

Akan tetapi setelah acara itu selesai, rekaman itu "diminta" oleh seorang 
wartawan "swasta" untuk ditranskip dan dijadikan berita. Keterangan ini 
akhirnya menjadi berita utama dan dibicarakan banyak orang.

Soeharto pun menjadi murka karena keterangannya yang seharusnya "dirahasiakan" 
itu menjadi bocor serta menjadi bahan bacaan publik.

Akhirnya pembantu presiden itu yang biasa menangani para wartawan secara 
pribadi menemui Soeharto untuk minta maaf karena bocornya rahasia tersebut. 
Soeharto pun memaafkan dan wartawan yang membuat berita off the record itu 
tidak dihukum atau ditindak sedikitpun.


Makan tiwul

Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, di berbagai daerah muncul kasus 
kelaparan akibat kemarau panjang. Akibatnya, di berbagai daerah seperti Irian 
Jaya terjadi kelaparan sehingga mengundang keprihatinan Soeharto.

Kemudian ia melalui para menteri dan pejabat tinggi mengajak masyarakat untuk 
melakukan penganekaragaman atau diversifikasi makanan sehingga tidak hanya 
beras yang menjadi sumber utama makanan sehari-hari, tapi juga yang lain 
seperti jagung, singkong atau ubi.

Pada satu hari, sang pemimpin ini memanggil sejumlah menteri datang ke rumahnya 
di Jalan Cendana Nomor 6 dan 8 guna membahas program diversifikasi itu.

Tiba-tiba para wartawan yang sedang duduk-duduk di ruang wartawan atau press 
room dipanggil masuk ke dalam. Tidak ada satu pun wartawan yang mengetahui 
mengapa mereka harus masuk ke dalam.

Di ruangan itu sudah ada Soeharto dan begitu melihat para wartawan dan berkata 
"Ayo makan tiwul. Jangan malu-malu". Para wartawan terkaget-kaget mendapat 
undangan makan tiwul yang diolah dari singkong ala Jawa itu.

Di ruangan yang lega itu, para wartawan pun menikmati tiwul bersama sang 
penguasa yang sering disebut-sebut sebagai penguasa "bertangan besi" bersama 
para menterinya.

Dalam satu kunjungan ke Tapos, kemudian presiden kedua ini melanjutkan 
perjalanannya ke sebuah kebun bunga.

Sebagai orang yang berasal dari keluarga tani, Soeharto sangat menikmati 
suasana alam tersebut, apalagi salah satu dambaannya adalah meningkatkan 
produksi pangan sehingga kesejahteraan puluhan juta petani bisa terangkat atau 
membaik karena petani termasuk kelompok paling miskin di tanah air.

Sambil makan jagung rebus, Soeharto memanggil para wartawan yang ikut dalam 
rombongannya. Akhirnya terjadi pembicaraan santai atau ringan antara sang 
presiden dengan para kuli tinta ini.

Dalam suasana tidak resmi atau informal, Soeharto biasanya menunjukkan sikapnya 
sebagai orang biasa yang mau diajak bercanda atau bersenda gurau.

Tentu siapa pun juga boleh benci kepada dia terutama bila kebijakan atau 
tindakan presiden itu tidak berkenan atau bertentangan dengan maksud dan tujuan 
mereka.

Namun betapapun bencinya segelintir orang, pasti ada juga jutaan atau belasan 
juta bahkan puluhan juta jiwa yang merasa dibantu mulai dari petani yang 
menikmati harga eceran gabah hingga para siswa yang jumlahnya ratusan ribu 
orang yang bisa sekolah hingga kuliah.

Mereka mendapat beasiswa melalui berbagai program yang digagas oleh sang kepala 
negara itu, yang lahir 8 Juni tahun 1921 di Desa Kemusuk.

Namun persoalannya kini adalah siapa pun juga satu saat akan dipanggil Tuhan 
YME, termasuk Soeharto yang kini terbaring di rumah sakit, dan apakah warga 
negara Indonesia mau atau tidak memaafkan Soeharto dengan segala kelebihan dan 
kelemahan dan kekurangannya?. (*)


Copyright © 2008 ANTARA

Kirim email ke