Republika Sabtu, 09 Februari 2008 Kebebasan Pers
Ketakutan terhadap kebebasan pers bukanlah omong kosong. Bahkan kebebasan pers kerap menjadi momok yang menakutkan. Menakutkan bagi pemegang kekuasaan. Apa sebab? Karena lembaga pers juga dianggap memiliki sebuah 'kekuasaan' tersendiri. Sehingga pers dapat mengganggu dan membahayakan kekuasaan. Karena itu banyak pihak berupaya menguasai pers. Jalannya macam-macam. Misalnya memanggil pemimpin redaksi untuk 'mengendalikan' arah pemberitaan. Menelepon lembaga pers sambil meminta agar pemberitaan yang dianggap merugikan segera dicabut. Atau, mengancam lembaga pers dan wartawan secara fisik dan mental. Dan yang paling garang adalah pembredelan. Gambaran kelam terhadap kebebasan pers itu sering menghantui para jurnalis di Tanah Air. Khususnya sebelum era reformasi. Kini hampir satu dekade reformasi bergulir. Tak bisa dimungkiri, salah satu yang paling menggembirakan bagi para jurnalis pada dekade ini adalah munculnya era kebebasan pers. Inilah bulan madu antara pers dan pemerintah. Bulan madu itu pula yang selalu menjadi kado istimewa. Tak terkecuali pada hari ini, saat para jurnalis merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi. Dan pers juga menjalankan peran sebagai agen perubahan (the agent of change) bagi proses demokrasi dan penguatan masyarakat sipil. Namun kebebasan pers yang sudah berjalan selama 10 tahun ini sering dinilai sejumlah pihak, sudah kebablasan. Salah satunya yang mengritik adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Kemarin di Semarang dalam menyambut HPN, ia mengingatkan agar pers tidak kebablasan dalam pemberitaan. Hidayat pun mengimbau agar insan pers bukan hanya sekadar menjadi aktivis yang kritis. Namun harus tetap memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan. Kami sepakat dengan kritik itu. Kami pun tidak alergi dengan kritik. Apalagi salah satu tugas utama pers adalah memberikan kritik. Utamanya kepada pemegang kebijakan di Tanah Air. Melalui kritik itu pula, pers berperan membangun sebuah peradaban bangsa. Insan pers memang harus memiliki integritas intelektual, supaya mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pers juga harus mempertimbangkan secara matang, berita yang boleh dan tidak boleh disiarkan dalam pemberitaan. Ini penting, sebab dampak sebuah pemberitaan bisa menjadi pemersatu bangsa. Sekaligus juga bisa membuat disintegrasi nasional. Kami juga mengakui pers tidak selalu benar. Juga bukan sebagai penentu kebenaran. Karena itu kami pun merasa tidak berhak memonopoli sebuah kebenaran. Kami menyadari kebebasan pers harus mampu menciptakan koridor yang benar, di samping pers juga harus terus melakukan koreksi. Kebebasan pers memerlukan kematangan sikap rasional dan proporsional. Untuk itu sebelum menikmati kebebasan pers, insan pers harus memberikan contoh teladan sebagai pihak yang paling siap menghadapi kritik. Sekaligus melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Ibarat pil kina, kritik dan koreksi itu memang pahit. Tapi menyembuhkan dan membuat hidup lebih bergairah. Bergairah seperti halnya kebebasan pers saat ini. Selamat Hari Pers Nasional.