http://www.sinarharapan.co.id/berita/0803/29/sh02.html

Kebebasan Pers 
Indonesia Masih Butuh Korupsi 



Jakarta - Anggota Dewan Pers, Leo Sabam Batubara, menilai meski ada janji-janji 
untuk tidak membatasi kebebasan pers, namun pada kenyataannya berbagai 
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah banyak yang cenderung membatasi 
kebebasan pers, bahkan mengancamnya. Dia mensinyalir ada pihak yang memang 
ingin kebebasan pers tetap dibatasi.


"Itu semua tak lain karena korupsi masih dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi 
Indonesia, sehingga mereka-mereka yang punya peluang korupsi berusaha menekan 
kebebasan pers agar kebobrokan mereka tidak terbongkar," kata Leo dalam diskusi 
bertajuk "Press Freedom and Law in Indonesia: an Update", yang diadakan oleh 
INKommunity, di Jakarta, Jumat (28/3). Para pembicara lain dalam diskusi itu 
adalah advokat Bachtiar Sitanggang, dan Don Bosco Salamun (anggota Komisi 
Penyiaran Indonesia).


Indikator bahwa ada kecenderungan kemerdekaan pers dicoba untuk tetap dikekang 
adalah upaya-upaya memberlakukan pasal-pasal KUHP guna mengkriminalkan pers 
pada sejumlah kasus dan mengabaikan keberadaan UU Pers No 40/1999 tentang Pers. 
"Padahal UU Pers No 40/1999 dirancang untuk melakukan kontrol sosial dan 
mengawasi maupun memberi saran terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan 
umum," katanya.


"Dengan mempedomani UU 40/1999 pers profesional akan mengungkapkan kinerja 
pejabat yang tidak becus, dugaan KKN pejabat dan pebisnis, pelanggaran HAM dll. 
Namun kenyataannya, berdasar KUHP karya jurnalistik dapat menjadi karya 
kriminal. Dengan politik hukum seperti ini maka pers profesional takkan mungkin 
membantu pemeritah melaksanakan good governance dan memberantas korupsi," 
tegasnya.  Karena saat ini implementasi KUHP (berisi 37 pasal yang dapat 
memenjarakan pers) dan RUU KUHP (berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan pers) 
berpotensi memenjarakan pers profesional yang mengungkap dugaan KKN, praktek 
perjudian, bandar narkoba dan berbagai praktek bad governance, sementara para 
pelaku kejahatan itu bisa lolos dari jerat hukum. 


Bahkan dalam pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KIP) di DPR, 
para pembantu Presiden Yudhoyono, yakni Menkominfo, Meneg BUMN dan Menhukham 
masih mempertahankan pasal-pasal yang bertentangan dengan kebebasan informasi 
seperti sanksi pidana bagi pengguna informasi publik tak sesuai ketentuan yang 
berlaku (pasal 5 ayat 1). "Persoalan potensialnya, bila informasi publik justru 
digunakan untuk memenuhi akurasi liputan investigas dan itu dianggap melanggar 
pasal 5 ayat 1, tidakkah ketentuan seperti ini berdampak melumpuhkan UU Pers?" 
kata Leo. Sehingga, katanya, tak heran Indonesia ditempatkan oleh Transparancy 
International sebagai negara terkorup ke-6 di dunia, dimana 0,2 persen penguasa 
dan para kroni mereka menguasai 85 persen aset bangsa. 

"Bangsa ini masih membutuhkan korupsi, makanya pers berusaha terus dikekang.".

Ancaman dari Dalam
Di sisi lain, ancaman terhadap profesionalisme pers juga timbul dari dalam 
tubuh pers sendiri. Menurut pakar komunikasi Effendy Gazali, ancaman ini datang 
dari intervensi pemilik modal yang menggunakan dalih untuk kepentingan 
tertentu, kemudian 'bermain-main'dengan memanfaatkan medianya. Selain 
pendidikan dan pelatihan bagi wartawan sangat diperlukan agar wartawan menjadi 
profesional, diperlukan pula Dewan Pers yang kuat dengan integritas yang solid. 
"Kalau suatu ketika ada yang menjadi 'korban' perlakuan pers yang tak fair dan 
mengadu ke institusi ini, mereka bisa menerima keputusan Dewan Pers," kata 
Effendy, di kesempatan berbeda, di Jakarta, Jumat (28/3).
Sementara, Amir Syamsuddin, praktisi hukum, menilai bahwa adanya pekerja pers 
yang tak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan memadai, turut merusak 
profesionalisme pers. Padahal, kata Amir, jurnalis adalah seorang profesional 
yang menjalankan terapi sosial dan kontrol sosial, termasuk pemberantasan 
korupsi. 
(rikando somba/kristanto hartadi)

Kirim email ke