http://www.antara.co.id/arc/2008/1/29/pengembara-kesepian-itu-pergi-selamanya/

29/01/08 13:00

Pengembara Kesepian Itu Pergi Selamanya



Oleh Asro Kamal Rokan

Jakarta (ANTARA News) - Jenderal Besar itu telah tiada, Ahad (27/01). Pak Harto 
-- putra petani dan anak desa - itu wafat di tengah kontroversi status hukumnya 
yang tak pasti. Sejarah Indonesia menempatkan Soeharto dalam dua sisi: dipuji 
dan dicerca.

Pada satu sisi, Pak Harto dinilai sebagai tokoh yang sangat berjasa membangun 
Indonesia, mengangkat Indonesia dari keterpurukan sangat parah pasca 
kepemimpinan Soekarno. Pak Harto tidak saja mampu mengangkat harkat dan 
martabat bangsa, tapi juga menyebarkan pengaruhnya yang kuat di negara-negara 
Asia Tenggara. Beliau tokoh utama di kawasan ini, yang tidak tergantikan hingga 
saat ini.

Pak Harto -- yang berkuasa selama 32 tahun, sejak Surat Perintah 11 Maret 
(Supersemar) 1966 dan jatuh secara tragis dalam gelombang reformasi 1998 - 
dikenal pula dekat dengan petani. Sebagai anak petani, Pak Harto fasih bahasa 
dan keinginan petani. Berkat usaha keras dan program yang terarah, pada 1984 
Indonesia berhasil swasembada beras dengan produksi 25,8 juta ton dari 12,2 
juta ton pada awal kekuasaannya. Food and Agriculture Organization (FAO - badan 
PBB) memberikan penghargaan medali emas untuk Pak Harto pada November 1995.

Dua tahun setelah reformasi, ketika kekuatan pembaharu mulai kesulitan untuk 
menjaga dan membangun stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi, nama Pak Harto 
kembali dikenang. Kalangan masyarakat umum mulai membanding-bandingkan 
keberhasilan Pak Harto dengan pemerintahan reformasi. Ketika harga-harga 
kebutuhan pokok meningkat, rasa aman berkurang, politisi lebih suka bertengkar, 
maka kerinduan masyarakat umum terhadap masa lalu, masa Orde Baru, semakin 
kuat. Masa Orde Baru itu dinilai sebagai masa normal.

Sisi-sisi baik ini, di antara banyak sisi positif lain, masyarakat umum 
mengenang Pak Harto sebagai pahlawan. Ini pulalah, dapat diduga, mendorong 
masyarakat menghormatinya, menangis saat peti jenazah diusung. Di sepanjang 
jalan yang dilewati jenazah di Jakarta, orang-orang berduyun dan menundukkan 
kepala.

Jakarta seperti berhenti berdenyut. Di berbagai masjid, jemaah melakukan shalat 
gaib. Di Solo, dari Bandara Adi Sumarmo hingga Astana Giribangun - tempat 
pemakamannya -- rakyat berduyun-duyun mengiringinya ke tempat terakhir. Bagi 
mereka, Pak Harto adalah kebanggaan.

Tapi tidak bagi sebagian politisi, aktivis hak asasi manusia, dan aktivis 
antikorupsi. Pak Harto dinilai sebagai penyebab kerusakan bangsa ini. Kalangan 
politisi menilai Orde Baru merupakan rezim otoritarian dan antidemokrasi. 
Selama berkuasa, Pak Harto dianggap menggunakan kekuatan militer dan konstitusi 
untuk kepentingan kekuasaannya.

Ia membungkam pers, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpendapat. Pada 
sekitar 20 tahun masa kekuasaannya, Pak Harto juga dinilai menindas dan 
mengkhianati kelompok politik Islam, yang sejak awal mendukungya ketika 
menumpas komunis. Tokoh-tokoh Islam diawasi, dilarang berpolitik, dan bahkan 
dipenjara tanpa pengadilan. Bahkan, ada kesan kekuatan Islam dianggap sebagai 
ancaman terhadap pembangunan.

Namun, pada sepuluh tahun terakhir Pak Harto seakan memberi ruang bagi kekuatan 
Islam masuk dalam kekuasaan. Pak Harto mendirikan Amal Bakti Muslim Pancasila, 
yang mendirikan masjid-masjid. Ia juga merestui pendirian Ikatan Cendekiawan 
Muslim se Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie, tokoh yang sangat dekat 
dengannya.

Bank Islam yang sebelumnya dilarang, diperbolehkan didirikan. Berdirilah Bank 
Muamalat yang diprakarsai ICMI. Aktivis Islam, terutama HMI dan ICMI, diberi 
pula peluang untuk berperan di Golkar, yang menjadi kendaraan Pak Harto. Kesan 
demikian juga terlihat di ABRI. Jenderal-jenderal santri mulai menapaki 
posisi-posisi stretegis.

Kedekatan Pak Harto dengan kelompok Islam ini - yang kemudian disebut "Ijo 
Royo-royo" -- telah pula dicurigai berbagai kalangan merupakan strategi Pak 
Harto mencari sandaran baru untuk mempertahankan kekuasaannya, setelah 
pengaruhnya di ABRI mulai meredup. Ini memang dapat diperdebatkan. Sebab, bisa 
pula ini bukan strategi politik kekuasaan, melainkan kasadaran atas kekeliruan 
sebelumnya di negara yang mayoritas Islam. Di kalangan politisi dan aktivis 
Islam, bahkan muncul kesimpulan bahwa jatuhnya Pak Harto antara lain karena 
kedekatannya dengan kelompok Islam. Ini pun dapat pula diperdebatkan.

Di kalangan penggiat hak asasi manusia, Pak Harto dianggap bertanggung jawab 
atas berbagai tragedi kemanusiaan, di antaranya kasus 1965, Tanjungpriok, 
Talangsari, Komando Jihad, Aceh, pembungkaman terhadap pers, kerusuhan Mei, dan 
beberapa lainnya. Rezim Orde Baru dinilai lebih suka melakukan politik 
kekerasan.

Sisi lain, Orde Baru dianggap sebagai rezim korup. Kolusi, korupsi, dan 
nepotisme berkembang pesat. Utang-utang pemerintah yang semestinya 
diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dikorupsi kroni-kroni Pak 
Harto. Ekonom terkemuka Prof Sumitro Djojohadikesumo bahkan menyebutkan 30 
persen dana APBN menguap setiap tahun. Selain KKN, kebijakan ekonomi Orde Baru 
juga dianggap tidak prorakyat. Kebijakan ''efek menetes ke bawah'' untuk 
mendorong pertumbuhan ekonomi, justru membesarkan konglomerat para kroninya 
daripada pemerataan.

Pengembara

Pak Harto wafat setelah dirawat 24 hari di RS Pusat Pertamina. Pak Harto pergi 
untuk selamanya meninggalkan orang-orang yang dicintainya, bangsa yang 
dicintainya, dan berbagai kasus yang belum selesai.

Selama berkuasa, Pak Harto yang wafat dalam usia 86 tahun, telah berupaya keras 
membangun bangsa ini. Sebagai manusia, seperti juga para pengeritiknya, Pak 
Harto tentu tidak sempurna: Ada sisi baik dan ada pula sisi sebaliknya. 
Orang-orang bijak akan menjadikan kedua sisi itu - baik dan buruk - sebagai 
pelajaran berharga untuk berbuat lebih baik. Orang-orang bijak lebih suka 
membuka luas hatinya untuk memaafkan dan melihat sisi-sisi kebaikan.

Pak Harto telah pergi selamanya. Dalam buku Suharto, a Political Biography, 
Prof. Robert Edward Elson menulis, masa kecil Pak Harto menderita. Dalam usia 
sepuluh tahun, enam kali Pak Harto berpindah-pindah rumah dan berpindah-pindah 
pengasuh. Ia menumpang dari satu rumah ke rumah lainnya. ''Dalam kesepiannya 
mengembara dari rumah ke rumah, dia merasa seperti tidak pernah diterima dengan 
sungguh-sungguh,'' tulis Edward Elson.

Setelah turun dari kekuasaan, Pak Harto juga seperti pengembara. Ketika wafat, 
status hukumnya tidak jelas, terombang-ambing. Pengadilan tidak memutuskan 
apa-apa. Tidak dinyatakan benar, tidak juga dinyatakan bersalah dan dimaafkan. 
Pak Harto juga seperti tidak diterima secara sungguh-sungguh - dipuji para 
pendukungnya, namun dicerca para pengeritiknya.

Senin (28/01) ketika jasad Pak Harto dikebumikan di Astana Giri, air mata 
berderai jatuh dari keluarga, pelayat, dan orang-orang yang mencintainya. 
Sebagai pengembara, Pak Harto telah pulang ke tempat yang pasti, tidak lagi 
mengembara: Inna Lillahi wainna Illaihi Roji'un

Attachment: show.php?f=YXNyb19lLmpwZw==
Description: Binary data

Kirim email ke