http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1542

a.. 12/04/2008 10:17 WIB


"Overeducated People" Di Aceh 

[ penulis: Anton Widyanto | topik: Aktifitas Masyarakat ]


Beragam masalah social merupakan salah satu bentuk kekhawatiran yang berkembang 
di Aceh menjelang berakhirnya masa BRR NAD-Nias. Sebelumnya telah didahului 
hengkangnya ratusan NGO asing dalam proses rehab-rekon Aceh pascatsunami. 
Keadaan social makin komplek ketika penanganan mantan kombatan GAM belum 
sepenuhnya maksimal, terutama terkait dengan penyediaan lapangan pekerjaan. 

Semakin rumit kemudian ketika ribuan angkatan kerja lulusan dari berbagai 
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Aceh, yang sampai saaat ini belum 
teratasi. Bagaimana membludaknya para pelamar PNS setiap tahun, sementara 
lowongannya semakin dipersempit dengan program pengangkatan orang-orang honorer 
atas kebijakan Presiden SBY. Lihat pula gugatan-gugatan kaum honorer sendiri 
yang tidak kalah subur mempertanyakan status pengangkatan mereka yang masih 
mengambang padahal tahun 2009 semakin dekat. Mereka pun semakin khawatir, 
karena tak mustahil di tahun 2009 mendatang, semua pejabat di tingkat pusat 
akan sibuk mengurus tetek bengek pemilu. 

Kondisi-kondisi tersebut mempertegas bahwa Aceh ke depan akan dihadapkan pada 
permasalahan sosial, dan bila sejak saat ini tidak dipersiapkan program 
penanganannya, tentu menjadi potensi akan menggelinding merembet pada 
persoalan-persoalan lain yang lebih serius. Di awal tahun 1970-an, masyarakat 
Amerika Serikat disinyalir telah menjadi overeducated society, suatu masyarakat 
yang berpendidikan berlebihan. Maknanya di sini bukan berarti bahwa masyarakat 
"Paman Sam" itu sudah menjadi komunitas yang pandai semua atau berilmu 
pengetahuan serta berpengalaman seluruhnya. Justru itu menyisakan banyak 
problema ketika orang-orang yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi tidak 
mampu diserap oleh lowongan pekerjaan yang ada. Sederhananya, banyak orang 
sekolah yang "menganggur" atau "salah kamar" dalam mendapatkan pekerjaan karena 
tidak sesuai dengan latar belakang (background) pendidikan yang dienyamnya. 
(Sanderson, Macrosiciology: 1991). 

Kebijakan-kebijakan pendidikan pun ditelurkan untuk mengatasi problem ini. 
Salah satunya adalah dengan cara mengembangkan sekolah-sekolah kejuruan. Dan 
bicara tentang sekolah kejuruan di Aceh, khususnya dan Indonesia umumnya, 
terlihat masih belum sepenuhnya menggembirakan. Salah satu penyebab 
sekolah-sekolah kejuruan kita masih belum banyak mendapat perhatian masyarakat 
juga pemerintah sendiri. Keberadaan sekolah kejuruan ternyata belum mampu 
menyedot animo yang lebih besar dibandingkan sekolah-sekolah non kejuruan. 
Fakta lapangan, sekolah kejuruan yang ada, masih banyak yang belum mampu 
menghasilkan produk lulusan yang berkualitas dan dapat memenuhi standar pangsa 
kerja. 

Sebenarnya mulai tahun 2005, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan 
menggulirkan beberapa kebijakan di antaranya program sekolah standar 
nasional/internasional, SMK besar, SMK kecil, sekolah menengah terpadu dan 
program lainnya yang tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas dan 
kuantitas sekolah menengah kejuruan. Namun dari tahun ke tahun, lembaga-lembaga 
ini belum terlihat dapat menghasilkan lulusan yang memuaskan pengguna (users), 
khususnya masyarakat industri. Kalaupun ada sekolah yang tamatannya diterima di 
industri yang sesuai dengan kriteria pegawai yang ditetapkan, jumlahnya masih 
minim. Bahkan, tidak sedikit industri atau perusahaan yang harus mengeluarkan 
biaya lagi untuk melakukan pelatihan/training terhadap pegawai baru (Pikiran 
Rakyat, 2/10/06). 

PascaMoU Helsinki 

Saat ini pasca MoU damai, Aceh memang masih menyisakan beragam persoalan baik 
ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan. Tantangan-tantangan yang datang 
semakin kompleks. Terutama berkait dengan jumlah pengangguran pada level 
masyarakat terpelajar (educated people). Memang prinsipnya bukan hanya milik 
pemerintah Aceh, tapi Indonesia secara umum khususnya khususnya sebagai negara 
berkembang. Dan Aceh saat ini akan menjadi ironis di tengah suntikan dana yang 
besar akan diraup Aceh hingga beberapa tahun ke depan, bila hal itu tidak 
segera diatasi, terutama mencakup dua aspek dasar yaitu pendidikan dan 
ekonomi.. 

Aspek ekonomi dan pendidikan menjadi sangat penting diperhatikan. Kenapa? 
Pertama, faktor pemerataan ekonomi yang stabil akan dapat menjaga stabilitas 
ketenteraman masyarakat. Sudah banyak bukti dalam perjalanan sejarah 
bangsa-bangsa di dunia bahwa ekonomi yang carut-marut sangat potensial 
menyuburkan aroma pertengkaran bahkan pembusukan dan pemberontakan dari dalam. 
Dan benarlah seperti dikatakan dalam hadis Rasul saw, bahwa "kemiskinan 
berpotensi menyebabkan kekufuran". 

Kedua, faktor pendidikan diperlukan secara sistematis terutama meningkatkan 
kualitasnya atau mutunya. Sebab pendidikan pada dasarnya adalah investasi 
pencerahan peradaban masa depan suatu masyarakat. Peningkatan kualitas 
pendidikan di sini tentu saja bukan hanya menyangkut bagaimana menyuntik 
lembaga-lembaga kependidikan di Aceh dengan pundi-pundi dana, akan tetapi lebih 
dari itu perlu adanya penajaman dalam persoalan pemenuhan permintaan pasar. Di 
sinilah sebenarnya kita memerlukan orientasi Total Quality Manajemen of 
Education (TQME). 

Konsep TQME ,menekankan pemahaman bahwa pendidikan jangan hanya diorientasikan 
pada proses pendidikan dan pembelajaran semata, akan tetapi juga harus diiringi 
orientasi pada bagaimana , out put yang dihasilkan oleh proses pendidikan dan 
pembelajaran tersebut dapat diserap oleh kebutuhan pengguna (user). Di sinilah 
pada dasarnya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan dan juga pelurusan 
orientasi ke depan perguruan-perguruan tinggi di Aceh menjadi sangat penting. 
Artinya diharapkan out put- nya dapat langsung siap pakai bahkan mampu pula 
menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. "Anda sekolah bukan untuk 
mencari pekerjaan, tapi untuk menciptakan lapangan kerja, " begitu kata dosen 
saya dulu. Pertanyaannya, mungkinkah kita akan dapat menciptakan lapangan 
kerja, sementara pendidikan yang kita terima sekarang selalu diarahkan untuk 
mencari kerja. Wallahu a'lam bisshawab 



*) Penulis adalah Ketua East-West Alumni Association of Aceh Chapter.

Reply via email to