Riau Pos

      Sayang, Saya Bukan Menteri  


      Sabtu, 12 April 2008  
      Saya tahu diri. Saya nihil peluang untuk menggantikan Pak Boediono 
sebagai Menteri Perekonomian yang diamanahi tugas baru sebagai Gubernur Bank 
Indonesia. Selain tak professional dan tak berkompeten, saya juga bukan kader 
partai politik yang punya kemungkinan menjadi seorang menteri. 

      Tapi andaikata saya seorang menteri, saya menyambut ajakan Presiden SBY 
yang membolehkan para menteri yang berasal dari partai politik untuk aktif 
berpolitik menjelang Pemilu 2009, sepanjang tak menelantarkan tugas sebagai 
menteri.  Toh, selama ini pun, ketika seseorang menjadi menteri sebetulnya 
sedang menjalankan tugas politik, karena menteri adalah jabatan politik. Bukan 
jabatan karir yang berjenjang naik mendaki struktural birokrasi sebagai 
galibnya PNS atau anggota TNI dan Polri.

      Saya tak ragu-ragu berpolitik di departemen yang saya pimpin. Sebagai 
menteri saya tidak lagi mengabdi kepada hanya massa partai saya, tetapi kepada 
seluruh rakyat Indonesia. Pengabdian dan kinerja seperti itu sama sekali tak 
bertentangan dan apalagi mengkhianati massa partai dari mana saya berasal. 
Bahkan bisa menjadi nilai lebih. Siapa tahu, masyarakat yang tadinya bukan 
anggota partai saya tertarik melihat kinerja saya, dan kemudian memilih partai 
saya dalam Pemilu 2009. Mereka toh bebas menentukan pilihan di era pemilihan 
langsung ini.

      Sudah pasti pula politik yang saya amalkan ini tidak mengkhianati 
presiden yang mengangkat saya sebagai menteri. Presiden pasti senang, karena 
saya berpolitik demi bangsa dan negara, dan sudah pasti masyarakat juga yang 
diuntungkan. Bahwa partai saya akan diuntungkan karena kinerja saya, apa sih 
salahnya? Bukankah dulu partai saya pun ikut mendukung Pak SBY dalam pemilihan 
presiden pada 2004 lalu? Bahkan, Partai Golkar pun ikut menjadi pendukung 
pemerintahan SBY-JK, walaupun baru belakangan bergabung setelah JK menjadi 
ketuanya.

      Suksesnya kabinet tentu saja merupakan sukses bersama  para partai 
pendukung. Sah-sah saja jika setiap partai pendukung menikmati akibat politik 
dari suksesnya program pemerintah tersebut. Tetapi, berapa porsinya, atau 
berapa persen suara yang mungkin menaik dan diraih para partai pendukung, 
selalu tergantung kepada penilaian rakyat, yang toh sudah cerdas.

      Jadinya agak membingungkan, mengapa ramai yang mengeritik imbauan 
presiden SBY tentang bolehnya para menteri aktif berpolitik menjelang pesta 
demokrasi 2009. Aktif berpolitik kok salah? Memangnya, politik itu kotor, hanya 
untuk kepentingan massa partainya saja? Bukankah setiap partai berkewajiban 
memajukan anak bumiputra tanpa pilih bulu, termasuk terhadap yang bukan massa 
partainya?

      Sebagai seorang menteri, tak satu klausul pun dalam job deskripsinya yang 
membatasi programnya diteruntukkan untuk massa partainya saja. Tetapi untuk 
seluruh rakyat Indonesia. Massa oposisi PDIP pun berhak menikmati raskin jika 
tergolong berhak menerimanya. Jadi wajar saja menteri yang tidak berasal dari 
PDIP saling berlomba-lomba dengan kader PDIP untuk menarik hati rakyat. Jika si 
menteri, misalnya, dengan menyukseskan program raskin maka kader PDIP dengan 
mengontrol raskin agar sampai kepada tangan yang berhak. Alangkah fairnya.   

      Aktif berpolitik sebagai seorang menteri tak ada hubungan kausalnya 
dengan pengkhianatan dengan tugas-tugas seorang menteri. Di mana sih logikanya? 
Jika dicurigai anggaran dan fasilitas departemen yang sudah jelas alokasinya 
dimanfaatkan untuk kepentingan partai si menteri, sudah pasti termasuk abused 
of power alias korupsi. KPK tinggal menyidik dan kemudian menangkapnya. Jadi, 
kok, bersikap paranoid dan berlogika pengkor jika seorang menteri berpolitik?

      Residu Orba
      Jangan-jangan polemik yang muncul belakangan ini adalah residu dari Orde 
Baru yang melihat citra politik sebagai kotor. Boleh jadi kita masih melihat 
politik dalam pengertian hanya untuk kepentingan golongan dan partainya saja 
dan bukan untuk kepentingan rakyat. Anggapan itu rupanya masih tebal sampai 
sekarang, sehingga ketika seseorang aktif berpolitik selalu dipandang dengan 
mata dipicingkan.

      Bung Karno pun pernah menyalahkan Bung Hatta karena sebagai akibat 
Maklumat Wakil Presiden pada November 1945, berdirilah banyak partai politik. 
Bung Karno marah karena belakangan muncul fenomena partai yang berlomba-lomba 
untuk kepentingan golongannya. Bung Hatta tak terima karena bukan institusi 
partai yang salah, tapi pemimpinnya. Bung Karno menginginkan partai tunggal, 
Bung Hatta menyukai sistem multipartai.

      Kita ingat pula Machiavelli yang berkata kepada Raja Medici, seperti 
tertera dalam buku Il Principe atau Sang Pangeran yang tersohor itu. 
Machiavelli menimbang bagaimana seorang penguasa bertindak demi kelanggengan 
kekuasaannya walaupun harus mengorbankan suara rakyat dan moralitas. Inilah 
sikap menghalalkan segala cara demi tujuan. Terus terang, bukan menteri seperti 
itu yang kita harapkan muncul saat ia terjun lagi berpolitik menjelang Pemilu 
2009.

      Panggung politik kadang menunjukkan betapa ''singa'' bertarung head to 
head dengan ''serigala'' sehingga harus ada yang kalah. Etika dan fatsoen 
politik dienyahkan. Padahal mestinya politik harus bermoral. Ada nilai. 
Immanuel Kant pernah menyindir dalam setiap insan politik ada kekuatan ''ular'' 
sang simbol kelicikan dan ''merpati'' symbol ketulusan. Simbol ''ular'' akan 
cenderung bersikap pragmatisme mempertahankan kekuasaan demi kepentingan 
pribadi dan kelompok serta kekuasaan itu sendiri.

      Haruslah dilihat apa yang menjadi out put dari proses politik seorang 
menteri, termasuk juga presiden dan wakil presiden. Bagaimana sikapnya maupun 
partainya dalam kebijakan yang menyangkut berbagai kepentingan rakyat. Dari 
situ akan kelihatan mana pemimpin yang berbuat untuk rakyat atau hanya untuk 
melanggengkan kekuasaannya saja. Lord Acton berkata, bahwa powers tends to 
corrupt dan semakin jauh dari aspirasi rakyat.

      Jika saya seorang menteri, saya akan terang-terangan berpolitik. Anjing 
menggonggong kafilah berlalu. Sayang, saya bukan seorang menteri.*** 
 8  
     
  

Kirim email ke