http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=339065

Rabu, 30 Apr 2008,

Meruntuhkan Korupsi Parlementer
Oleh Sukardi Hasan *

Ditangkapnya anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin 
Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berujung pada upaya 
penggeledahan ruang kerja Al Amin di gedung DPR. Penggeledahan itu baru 
terlaksana Senin (28/3) setelah pekan lalu keinginan KPK tersebut terpaksa 
diurungkan karena ditolak DPR.

Aksi cleaning dilakukan KPK untuk menggeledah DPR sebagai lembaga terhormat 
yang sejak lama dikenal sebagai lembaga yang tak tersentuh hukum. Namun, ada 
anggota DPR yang sempat menginginkan kekuasaan KPK yang dinilai sudah menjadi 
lembaga super body itu ditinjau kembali. Bahkan, muncul juga wacana pembubaran 
KPK.

Dalam era keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah jelas bahwa tak ada 
lembaga yang sakral dan kebal hukum, termasuk lembaga setingkat parlemen. 
Sebuah keharusan digeledah guna mewujudkan sebuah sistem negara yang bebas dari 
tindak penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan transaksi kekuasaan.

Berdasarkan data yang tercatat di Transparansi Internasional (TI), parlemen 
memang salah satu lembaga yang paling subur dengan tindakan korupsi. Sangat 
logis kiranya, parlemen sebagai sebuah lembaga yang memiliki kekuasaan dalam 
melakukan fungsi legislasi dan kontrol atas kebijakan-kebijakan yang 
dikeluarkan lembaga eksekutif.

Usaha yang dilakukan KPK selama ini untuk memusnahkan korupsi cukup tepat. 
Parlemen yang memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik 
tentu menjadi medium bagi terbukanya keran suap dan budaya sogok, baik dari 
pihak swasta maupun lembaga eksekutif. Upaya KPK untuk menggeledah parlemen 
adalah langkah strategis untuk memberantas korupsi yang dikenal surga para 
koruptor. Parlemen dengan segala kekuasaannya adalah episentrum dari segala 
tindakan penyelewengan dan penggelapan dana negara.

Kasus suap yang dilakukan anggota DPR atau parlemen tersebut bukanlah yang 
pertama tercium media. Masih banyak kasus korupsi yang dilakukan anggota dewan 
di daerah dengan melakukan secara massif dan terorganisasi melalui 
penyelewengan dana APBD. 

Sungguh ironis negeri ini. Di tengah keterpurukan, keterbelakangan, dan 
kebodohan yang melanda sejagat negeri ini, perilaku elite kita disibukkan 
pengurasan kekayaan dan harta rakyat untuk kepentingan pribadi. Di manakah 
moralitas dan sensibilitas kekuasaan akan realitas politik yang kian terpuruk? 
Bilakah sistem multipartai mengakhiri kebisuan akan ke-jalut-an kuasa?


Metamorfosis Lembaga

Berdasarkan catatan yang ada, secara nasional, tidak kurang dari 300 anggota 
DPRD terlibat penyelewengan dana APBD, berupa tindak pidana korupsi dan suap. 
Di antara jumlah itu, sebagian besar sudah berada dalam tahap penyidikan dan 
penuntutan. 

Hampir dapat dipastikan, peran parlemen bermetamorfosis dan fungsi pengawasan 
menjadi instrumen akumulasi kekayaan semata. Tidak mengherankan jika saat 
pencalonan, para caleg rela menghamburkan uang dengan harapan saat terpilih 
mereka bisa mendapat untung yang lebih besar. 

Seorang ilmuwan politik berkebangsaan Argentina Atilio Boron pernah 
menggambarkan bahwa hilir sejarah percaturan politik adalah uang. Hal itulah 
yang terlihat dalam percaturan politik kita kini. Apalagi menjelang perebutan 
singgasana kekuasaan April tahun mendatang. 

Berpolitik di Indonesia memang ibarat dagang, Bukan politik dalam pengertian 
modern bahwa politisi hadir sebagai negarawan yang rela bekerja untuk rakyat 
banyak. Lebih fatal lagi, perilaku korup wakil rakyat seolah diterima sebagai 
sesuatu yang wajar dan dipertontonkan secara kasar di mata rakyat. 

Pasca jatuhnya rezim Orba, suara demokratisasi menjadi tuntutan yang tak 
tertawarkan sebagai antitesa sistem otoriter. Jika pada masa Orba yang terjadi 
adalah monovocal, artinya kesatuan sumber kuasa di tangan eksekutif. Parlemen 
hanya menjadi lembaga dalam kebisuan dan cengkeraman eksekutif belaka.

Sebaliknya Orde reformasi, kekuasaan menjadi polyvocal, yaitu kekuasaan menjadi 
hak milik semua. Semua pihak berhak menyuarakan kepentingannya di mata publik. 
Optimalisasi peran trio kuasa adalah tuntutan dari demokrasi sebagai pilar 
terwujudnya demokrasi yang sehat. Yang menyuguhkan check and balance dalam 
setiap kebijakan publik. 

Tetapi, sewindu lebih orde reformasi yang terjadi adalah pembusukan trio 
kekuasaan lewat perilaku korupsi dan suap dalam rahim ketiga lembaga kekuasaan. 
Akhirnya, yang terjadi bukanlah mekanisme check and balance, tapi sharing dan 
pembagian komisi atau uang transaksi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan 
publik. Itulah yang dilakukan Al Amin Nasution.

Singkatnya, tak ada legislasi di tingkat parlemen, tiadanya yudikasi di tingkat 
lembaga hukum, serta absennya eksekusi di tingkat eksekutif untuk kepentingan 
rakyat. 

Sebaliknya, yang tampak nyata hanyalah transaksi dan eksekusi untuk kepentingan 
komunal dan elite. Memang, terjadi komunikasi politik di antara ketiganya, tapi 
sebatas untuk mengabadikan kepentingan masing-masing. 

Untuk mengakhiri episode keterpurukan yang diakibatkan hilangnya kredibilitas 
dan akuntabilitas trio kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), 
hendaknya bangsa ini menyadari akan kekeliruan laku dan perannya yang 
didasarkan pada keserakahan dan ketamakan sesaat atas nama diri.

Optimalisasi dan revitalisasi peran kelembagaan adalah sebuah keharusan bagi 
terbentuknya tatanan kenegaraan yang berkeadilan sosial. Jika tidak, apatisme 
publik akan menyelimuti hari-hari bangsa ini.


*. Sukardi Hasan, associate director Freedom Foundation, Jakarta

Reply via email to