http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/33467/309/


      Perempuan Bukan Komoditas Politik  


      Rabu, 28-05-2008 | 00:35:10  
      DALAM sebuah struktur masyarakat yang cenderung sosial patriarkis, 
politik bukan cuma refleksi dari kekuasaan, tapi juga menganalogikan suatu 
entitas perempuan sebagai komodifikasi.

      Terkuaknya banyak kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan atau 
perdagangan perempuan membuktikan kebenaran sebuah hipotesis, bahwa kekuasaan 
sebagai sebuah entitas politik bisa memproduksi berbagai kebijakan dan regulasi 
yang irasional. Kekuasaan politik bukan cuma membuat para aktornya berubah 
menjadi orang yang haus akan kekuasaan dan uang, akan tetapi juga predatorian.

      Meskipun arah kebijakan politik pemerintah atas isu perempuan kian 
responsif gender, posisi perempuan dalam wilayah kekuasaan politik tetap rentan 
dari berbagai bentuk manipulasi dan rekayasa politik.

      Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang sangat berdampak pada 
perempuan adalah sub-ordinasi. Perempuan berada pada warga kelas dua sehingga 
tidak punya akses terhadap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.

      Hal ini sering terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan 
negara. Kenyataan ini bisa dibuktikan ketika menentukan sebuah keputusan, 
sering seorang isteri akan mengikuti keputusan yang diambil oleh suaminya dalam 
menentukan sebuah kebijakan rumah tangga mereka.

      Dalam masyarakat, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan yang 
membicarakan arah perencanaan strategis kebutuhan dan masa depan desa, paling 
mereka hanya mengurusi konsumsi pertemuan dan hal domestik lainnya.

      Tidak berlebihan ketika sebuah kebijakan yang diambil dengan tidak 
melibatkan kepentingan dan kebutuhan perempuan, maka kebijakan yang diambil 
juga tidak menyentuh pada ha-hak politik perempuan.

      Kebijakan adalah wilayah kekuasaan, wajar ketika perempuan tidak bisa 
menentukan sebuah kebijakan karena secara faktual perempuan tidak punya 
kekuasaan baik formal maupun informal. Fakta di lapangan menyatakan bahwa porsi 
keterwakilan perempuan di tingkat legislatif maupun eksekutif yang posisinya 
pada level pengambil keputusan sangatlah kecil.

      Banyak asumsi yang dibangun yang menyatakan bahwa semua itu karena salah 
perempuan sendiri tidak mau menduduki posisi tersebut padahal peluang sudah ada.

      Sekarang kompetisi secara fair sudah berjalan dan alasan yang lebih parah 
lagi, tidak ada perempuan potensial yang bisa membuat kebijakan publik. Orang 
yang mempunyai cara pandang demikian adalah orang yang tidak objektif melihat 
persoalan sebenarnya.

      Potensi perempuan tidak perlu diragukan lagi kemampuan dan kiprahnya 
dalam berbagai bidang. Satu tahun di muka, kesempatan perempuan untuk 
menunjukkan eksistensinya bahwa dia layak untuk dipilih menduduki jabatan 
publik.

      Dengan sistem yang ada saat ini, seleksi terhadap calon lebih terbuka. 
Walaupun realitas politik di satu sisi, budaya dan pendidikan politik 
masyarakat di negeri ini belum sepenuhnya siap. Budaya feodalisme dan politik 
mobilisasi menjadi realita yang tidak bisa diabaikan sebagai faktor yang masih 
kuat mendominasi.

      Dalam konteks demikian, tantangan fundamental gerakan pemberdayaan 
politik perempuan ke depan setidaknya dapat dipetakan dalam empat isu. Pertama, 
globalisasi neoliberal telah melahirkan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat di 
negara maju yang diikuti restrukturisasi ekonomi di negara miskin dan sedang 
berkembang.

      Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang makin akut dan kompleks. 
Ekonomi global telah menyeret perempuan sebagai objek dan komoditas ekonomi 
(menjadi PRT, PSK, buruh migran, atau pekerja upahan pabrik dan sektor informal 
bergaji murah).

      Kedua, otoriterisme politik negara. Kontrol negara atas warga negara, 
terutama kaum perempuan yang berlebihan berakibat hadirnya berbagai kebijakan 
negara yang bias hak asasi manusia, bias gender, dan mereduksi hakikat 
demokrasi.

      Ketiga, kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Manajemen anggaran negara 
(APBN/APBD), prioritas pembangunan, dan manajemen pengelolaan sumber daya alam 
di negara ini masih sepenuhnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan para 
politisi, elite ekonomi, dan investor. Kebijakan yang tidak pro-rakyat miskin 
ini telah mereduksi akses masyarakat, khususnya perempuan di sektor pendidikan, 
kesehatan, pekerjaan dan sumber kehidupan publik yang mendasar. Organisasi 
perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, Bhayangkari, dan seterusnya lebih 
merupakan organisasi perempuan untuk mendukung ideologi negara semata. Dengan 
bahasa lain, Orde Baru (dan masih kita lanjutkan sampai sekarang di era 
reformasi) telah menjadikan organisasi-organisasi perempuan itu sebagai 
perpanjangan tangan kekuasaan yang menempatkan perempuan sebagai pekerja sektor 
domestik, pekerja rumah tangga yang tidak jauh dari area dapur,sumur dan kasur.

      Keempat, fundamentalisme agama. Berbagai gerakan agama yang diduga 
berupaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan dominasi kekuatan 
kapitalisme yang berpijak pada sikap dan aksi yang radikal.

      Makanya, sudah saatnya menempatkan para perempuan pada wilayah pengambil 
dan pembuat kebijakan strategis. Hal ini didasari atas asumsi bahwa yang paling 
paham persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri. Yang kedua adalah 
prinsip keadilan, sudah saatnya penduduk terbesar (perempuan) mendapatkan 
wakilnya yang bisa berbicara atas nama perempuan dan untuk kepentingan 
perempuan dengan porsi yang adil pula.

      Karena korban ketidakadilan gender adalah perempuan, sudah sepantasnya 
perempuan lebih diutamakan dan membuat keputusan terpenting bagi diri mereka 
sendiri. Jangan anggap lagi perempuan hanya sebagai komoditas politik semata.



      Oleh :
      Rahmiati Azhar
      Ketua PKC PMII Kalsel
      Email: [EMAIL PROTECTED] Alamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, 
Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya 


     

Reply via email to