Refleksi:  Bila anak-anak miskin kian menderita  maka bagaimana hari depan 
mereka? Solusi terbaik jenis apa yang bisa membawa rakyat miskin melarat keluar 
dari penderitaan tak terputus-putuskan ini?

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=336116&kat_id=16

Selasa, 03 Juni 2008

Anak-anak Miskin Kian Mendirita 
Oleh :
Jousairi Hasbullah
Karyawan BPS, Penulis Buku Social Capital: Menuju Budaya Unggul Manusia 
Indonesia.
Negeri ini terasa bergemuruh dengan persoalan-persoalan kemiskinan. Kita pun 
bertanya, sejauh mana suasana kemiskinan itu sesungguhnya?

Juga patut dipertanyakan, bagaimana kemiskinan itu telah merenggut jutaan anak 
Indonesia. Di posisi mana BLT dapat berperan dan bagaimana seharusnya para 
kepala daerah menyikapi kenyataan kemiskinan yang ada di depan pelupuk matanya?

Kesengsaraan hidup dialami oleh tidak kurang dari 28 juta anak keluarga miskin 
Indonesia (ini kalau mengikuti pola 40 persen dari populasi itu anak-anak). 
Mereka hidup dalam keseharian dengan makanan yang tidak mencukupi syarat-syarat 
minimum kecukupan gizi. 

Anak-anak miskin Indonesia dari awal kehidupan di dalam rahim ibunya telah 
merasakan kemiskinan yang merenggut hak-hak mereka. Asupan makanan melalui sang 
ibu jauh dari layak. 

Ketika makhluk yang paling sempurna ciptaan Tuhan ini datang ke dunia disambut 
dengan bahaya besar. Mereka dibawa ibunya melahirkan di dukun atau 
tenaga-tenaga yang tidak terlatih lainnya. 

Di desa-desa saat ini tidak kurang dari 40 persen proses kelahiran masih 
ditolong oleh dukun dengan variasi cara persalinan tradisional yang 
membahayakan kelangsungan hidup sang bayi. Angka itu kemungkinan mendekati 
kisaran 90-an persen untuk bayi yang lahir dari keluarga miskin.

Kematian mengancam
Kematian setiap saat mengancam mereka. Di tengah keluarga miskin, jutaan anak 
yang lahir ke dunia dan tidak sempat mengenyam ulang tahun pertama. Setiap 
1.000 bayi yang dilahirkan dari keluarga miskin, sekitar 50 di antaranya hanya 
mampu bertahan hidup kurang dari 365 hari (catatan, infant mortality rates/IMR 
penduduk Indonesia pada 2005 mencapai angka 32 per 1.000 kelahiran hidup). 

Ini tidak hanya menggambarkan buruknya tingkat kesehatan dan gizi anak-anak 
miskin, tetapi juga merefleksikan kepedihan hidup. Kematian seorang bayi adalah 
kesedihan bagi kakak-kakaknya. 

Anak-anak dari keluarga miskin juga setiap hari berhadapan dengan eksploitasi 
dari orang tua. Anak-anak dipaksa menanggalkan masa indah kanak-kanak untuk 
bekerja di sawah, kebun, dan ladang, mengarungi samudera sebagai anak-anak 
nelayan, atau mengais sampah dan menjadi anak jalanan guna menopang nafkah 
keluarganya. Banyak yang rela meninggalkan bangku sekolah, bahkan tidak 
mengenyam pendidikan sama sekali. John Charless Caldwell, ahli demografi 
terkenal, mengatakan bahwa intergenerational wealth flow yang mengalir deras 
dari anak-anak ke orang tua adalah salah satu gambaran dari kemiskinan 
sekaligus dari keterbelakangan peradaban.

Ketika BBM naik dan diikuti naiknya harga kebutuhan pokok, kelompok masyarakat 
miskin yang digambarkan tersebutlah yang akan merasakan pukulan sangat berat. 
Korban pertama adalah anak-anaknya. 

Dengan semakin berkurangnya mutu asupan makanan bagi anak-anak, kemungkinan 
akan terjadinya generasi yang hilang sulit dielakkan. Keluarga yang miskin 
tidak hanya terpukul dari sisi kemampuan membeli barang, tetapi juga dari sisi 
psikologis mereka semakin terpinggirkan dan dari sisi kultural senantiasa 
diletakkan pada bagian belakang tatanan kehidupan sosial sebagai makhluk yang 
inferior. 

Situasi ini diperburuk dengan melemahnya kesetiakawanan sosial di perdesaan 
maupun di perkotaan. Lengkap sudah penderitaan mereka.

Kenaikan harga yang datang tiba-tiba bagi si miskin itu sama saja dengan 
kejadian bencana alam yang begitu dahsyat dengan menelan korban yang banyak. 
Mereka akan langsung tidak memiliki daya. Dalam suasana batin, ekonomi, dan 
sosial seperti ini, sepertinya satu-satunya jalan bagi pemerintah adalah dengan 
membantu mereka secara langsung tanpa syarat (unconditional cash transfer), 
yaitu melalui BLT. Dalam konteks inilah BLT dirasakan sebagai penyelamat yang 
begitu bernilai. 

BLT bukan solusi
Di mana pun di dunia ini pola penyelamatan seperti itu hanya untuk hal-hal yang 
bersifat emergency dan charity. Karena itu, begitu keadaan ekonomi relatif 
stabil, program seperti PKH (program keluarga harapanconditional cash transfer) 
yang telah mulai dijalankan di 1.000 kecamatan di Indonesia perlu diperluas 
mencakup seluruh wilayah Indonesia disertai program-program lain yang bernuansa 
pemberdayaan dan langsung ditujukan ke masyarakat miskin. Jika tidak, 
masyarakat memang akan termanjakan dan BLT akan menjadi pil penenang untuk 
membuat masyarakat, walau perut lapar, terus-menerus tidur dengan lelap.

Dalam suatu kehidupan berbangsa yang demokratis, perkara mengatasi berbagai 
problem sosial yang ada di masyarakat tidak mungkin hanya diserahkan kepada 
urusan negara atau pemerintah pusat. Dalam era otonomi daerah saat ini, 
idealnya untuk mengatasi berbagai problem kemiskinan yang begitu parah, 
penanganan perlu dilakukan dengan kombinasi antara komitmen dan aksi dari 
pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepala desa, dan masyarakat sipil. 

Komitmen dari tiga yang disebut terakhir masih sangat variatif bahkan terbilang 
tipis. Kegetiran hidup yang dialami oleh puluhan juta anak dimungkinkan oleh 
semangat pembiaran yang luar biasa oleh pemerintahan lokal, oleh para kepala 
desa dan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk institusi keagamaan yang 
tumbuh di tengah masyarakat itu sendiri. 

Sebagai contoh, dalam konteks peran masyarakat sipil, yaitu institusi sosial 
yang berbasis keagamaan, kepala desa bersama-sama anggota masyarakat dengan 
kolektivitas tinggi membangun tempat ibadah, membangun kuburan mewah, membina 
majelis taklim dan pusat-pusat pengajian atau kelompok kebaktian. Di sisi lain, 
membiarkan kemiskinan, ketelantaran anak, dan ketertinggalan kaum miskin di 
berbagai sisi. 

Di sinilah barangkali para pemimpin di daerah, tokoh masyarakat, dan khususnya 
para kepala desa harus introspeksi. Untuk yang disebut terakhir, misalnya, 
banyak kepala desa yang menghamburkan uang ratusan juta untuk kampanye 
pemilihan kades, sementara di pelupuk matanya, tetangganya sendiri yang lapar 
dan miskin, tetap dibiarkan seperti sesuatu yang biasa-biasa saja. 

Di tengah suasana kesulitan hidup yang kita alami saat ini, barangkali masih 
menyisakan celah untuk membangun sinergi bersama antara pemerintah pusat, 
pemerintah daerah, dan komponen masyarakat sipil. Fokus terutama dalam hal 
saling memerhatikan dan saling memberi (reciprocity), saling mengangkat, saling 
memercayai, dan saling memberi pengakuan antara kelompok yang berkecukupan dan 
kelompok masyarakat yang berada di barisan belakang. 

Sinergi ini tidak hanya sebagai bagian dari upaya penguatan modal sosial bangsa 
untuk saling mengikat dalam kebersamaan. Tetapi, juga bagian dari pengukuhan 
kesadaran kita bahwa setiap insan perlu mendapatkan kembali tempatnya sebagai 
makhluk yang mulia dan berharga.

BLT barangkali perlu kita tempatkan sebagai inspirasi dari kepedulian secara 
langsung. Kita perlu lanjutkan dengan beragam program lainnya secara nyata. 

Bukankah, misalnya desa itu adalah wilayah otonom yang terbuka segala 
peluangnya untuk memberdayakan masyarakat miskin? Jika tidak, puluhan juta 
orang miskin terutama anak-anak miskin Indonesia kelak akan menjadi generasi 
yang hilang. Kita bersama memiliki tanggung jawab kemanusiaan itu. 

Ikhtisar:
- Puluhan juta anak miskin di Indonesia mengalami gizi buruk dan tingkat 
kesehatan yang amat memprihatinkan.
- Saat harga BBM dan kebutuhan pokok naik, anak-anak miskin yang paling 
menderita

Kirim email ke