Di berbagai media, di tengah kesulitan hidup yang
kian melilit rakyat,
di tengah kemiskinan yang kian menjadi, di tengah
keputus-asaan rakyat
banyak yang kian membuncah, di tengah himpitan
kemelaratan, di tengah
pesta korupsi dan mark-up anggaran negara (baca: uang
rakyat) yang
dilakukan para pejabat negara, memasuki bulan Mei 2008
bangsa ini
dicekoki dengan `Momentum 1 Abad Kebangkitan
Nasional'. Hal ini
tentunya dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedhi
Oetomo pada
tanggal 20 Mei 1908.

Jika salah satu syair dari Taufiq Ismail berjudul
"Malu Aku Jadi Orang
Indonesia', maka sekarang ini judul syair tersebut
bertambah relevan.
Betapa memalukannya sebuah bangsa yang katanya besar
ternyata masih
saja salah menetapkan tonggak kebangkitannya sendiri.
Dan parahnya,
hal ini ternyata didukung oleh tokoh-tokoh dan partai
Islam yang
seharusnya menjadi agen pencerahan bangsa.

Misal salah satunya, sebuah partai politik Islam besar
akhir April
lalu memasang sebuah iklan hitam putih seperempat
halaman di sebuah
harian ternama nasional. Dalam iklan tersebut, partai
ini dengan tanpa
malu memuat `Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional:
Harapan Itu Masih
Ada". Disadari atau tidak, iklan ini telah ikut
meracuni pemikiran
generasi muda bangsa dengan ikut-ikutan latah
menyiarkan kedustaan dan
kesalahan yang fatal. Padahal partai ini kebanyakan
diisi oleh
orang-orang muda yang katanya intelek. Namun kenyataan
yang terjadi
sungguh memalukan!

Situs eramuslim.com sekurangnya sudah tiga kali memuat
tentang
organisasi Boedhi Oetomo (BO) dan memaparkan bahwa
organisasi ini sama
sekali tidak berhak dijadikan tongak kebangkitan
nasional karena BO
sama sekali tidak pernah mencita-citakan kemerdekaan,
pro-penjajahan
yang dilakukan Belanda, dan banyak tokohnya anggota
aktif Freemasonry
yang merupakan organisasi pendahulu dari Zionisme.
Seharusnya, tonggak
kebangkitan nasional disematkan pada momentum
berdirinya organisasi
Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah
menjadi Syarikat
Islam (SI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO.

Sebab itu, agar kita lagi-lagi tidak salah menganggap
tahun 2008 ini
sebagai Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional, maka
Kami lagi-lagi
menurunkan artikel terkait hal tersebut, agar
kebenaran tetaplah
kebenaran, dan sama sekali tidak akan goyah walau
dengan alasan
politis sekali pun. Sejarah adalah History, bukan
His-Story!

Penghinaan Terhadap Perjuangan Umat Islam

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan
Nasional,
sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap
esensi perjuangan
merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh
Islam. Karena
organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih
dahulu dari Boedhi
Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas
bersifat
nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan
mencita-citakan Indonesia
merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah
Belanda, mendukung
penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak
pernah
mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama
malah dianggap
sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas
kesalahan fatal.

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi
telah tergeletak di
atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN,
mantan Ketua
Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun
1924. Di dalam
amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul
"Syarikat Islam
Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan
Bangsa" karya si
pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis:
"Hadiah
kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari
Penulis, Semoga
Bermanfaat!" Di bawah tanda tangan beliau tercantum
tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk
selama-lamanya. Namun
pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi
dan obrolan ringan
antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas
seolah baru
kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the
founding-fathers
bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah
kata dalam
Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat
konsern beliau
bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

"BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan
kemerdekan,
karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda
untuk
mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas
Indonesia. Dan
BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke
pintu gerbang
kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO
adalah organisasi
sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan
Madura elit yang
boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak
boleh menjadi
anggotanya, " tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas
prakarsa para
mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan.
Perkumpulan ini
dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai
negeri yang setia
terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali
diketuai oleh
Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan
Belanda, yang
memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh
Pangeran Aryo
Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang
digaji oleh Belanda
dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam
penyusunan
anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa
Belanda, bukan bahasa
Indonesia. "Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas
tentang
kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka
ini hanya
membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang
Jawa dan Madura
di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib
golongannya
sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya
sebagai batu
sandungan bagi upaya mereka, " papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis "Tujuan
organisasi untuk
menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa
Jawa dan Madura
secara harmonis. " Inilah tujuan BO, bersifat
Jawa-Madura sentris,
sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu
pidatonya tentang
Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische
Vereniging
berkata: "Agama Islam merupakan batu karang yang
sangat berbahaya...
Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu
kita tidak karam
dalam gelombang kesulitan. "

Sebuah artikel di "Suara Umum", sebuah media massa
milik BO di bawah
asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A.
Hassan di dalam
Majalah "Al-Lisan" terdapat tulisan yang antara lain
berbunyi, "Digul
lebih utama daripada Makkah", "Buanglah Ka'bah dan
jadikanlah Demak
itu Kamu Punya Kiblat!" (M. S) Al-Lisan nomor 24,
1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial
Belanda, maka
tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan
dipenjarakan oleh
Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak
berasas kebangsaan,
melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan
Jawa dan Madura
saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri,
yakni Dr. Soetomo
dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang
dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang
mencengangkan.
Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo,
Bupati Karanganyar,
ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif
di Loge Mataram
sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason
yang mendirikan
cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal
ini dikemukakan
dalam buku "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di
Hindia Belanda dan
Indonesia 1764-1962" (Dr. Th. Stevens), sebuah buku
yang dicetak
terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason
Indonesia.

Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo Kecewa dengan
BO

Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan
nasionalisme, mendukung
penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan
bahkan sejumlah
tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua
mengecewakan dua
pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto
Mangunkusumo,
sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan
kawan-kawan
mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang
Islam, SDI) di
Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. "Ini merupakan
organisasi Islam
yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua
organisasi massa di
tanah air Indonesia, " tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib
orang Jawa dan
Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang
Jawa dan Madura, sehingga
para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang
Jawa dan
Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan
SI terbuka bagi semua
rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu,
susunan para
pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku
seperti: Haji
Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa
Tengah dan Timur,
Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan
AM. Sangaji dari
Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi
tersebut—SI dan
BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan
antara keduanya:

Tujuan:

- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,

- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan
Jawa-Madura
(Anggaran Dasar BO Pasal 2).

Sifat:

- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,

- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya
Jawa-Madura,

Bahasa:

- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis
dalam bahasa
Indonesia,

- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis
dalam bahasa Belanda

Sikap Terhadap Belanda:

- SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap
penjajahan kolonial Belanda,

- BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah
Belanda karena
sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum
priyayi pegawai
pemerintah kolonial Belanda,

Sikap Terhadap Agama:

- SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,

- BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna
oleh sejarawan
Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)

Perjuangan Kemerdekaan:

- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan
mengantar bangsa ini
melewati pintu gerbang kemerdekaan,

- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dan telah
membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak
mengantarkan bangsa ini
melewati pintu gerbang kemerdekaan,

Korban Perjuangan:

- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak
mati oleh
Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul,
Irian Barat,

- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara,
apalagi ditembak
dan dibuang ke Digul,

Kerakyatan:

- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,

- BO bersifat feodal dan keningratan,

Melawan Arus:

- SI berjuang melawan arus penjajahan,

- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,

Kelahiran:

- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober
1905,

- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,

Seharusnya 16 Oktober

Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung
diperingati
setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya
dihapus dan
digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya
Syarikat Islam.
Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya
diperingati tiap
tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa
pun yang masuk
akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan
dilestarikan,
maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan
tersebut disengaja.
Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut
dilakukan oleh
para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam
dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama
hingga dua
kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia
seharusnya
mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai
Hari Kebangkitan
Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16
Oktober dengan spidol
merah dengan catatan "Hari Kebangkitan Nasional
"


      

Reply via email to