Casa N212-200 Hanya Ada Indonesia Saja

Tidak ada negara lain yang menggunakan jenis pesawat ini meskipun asal
pembuat aselinya adalah Spanyol.

Artinya, di Spanyol sendiri jenis pesawat ini belum pernah dibuat, dan
Habibie-lah yang membuat jenis ini bukan dengan mengubah design
utamanya, melainkan hanya mengubah jumlah kapasitas tempat duduknya saja.

Ibaratnya sebuah layangan, meskipun designnya tidak diubah tetapi
ditambah beban satu amplop surat dibelakangnya, maka layangan itu
tetap bisa terbang meskipun singit bisa mendadak menghunjam ketanah
secara mendadak.

Meskipun layangan lainnya yang juga dibebani satu amplop dibelakangnya
bisa berhasil sukses terbang dengan stabil namun bukan berarti
layangan yang sama yang ditumpangi dengan amplop yang sama yang
kedudukannya sedikit bergeser seperempat centimeter bisa tetap terbang
dengan kestabilan yang sama, dan hal ini bisa anda coba dengan layangan.

Sayangnya Habibie enggak pernah main layangan, dia lebih percaya
bisikan2 Wahyu Allah kepadanya.  Padahal yang menerima wahyu itu
hanyalah nabi Muhammad, sedangkan Ghulam Ahmad yang mengaku juga
menerima wahyu ternyata dilarang mengaku Islam oleh MUI, tetapi kenapa
Habibie yang menerima wahyu sehingga berhasil menciptakan pesawat maut
ini masih boleh dibanggakan sebagai umat Islam ???  Bahkan diangkat
jadi ketua Cendikiawan Muslim oleh MUI.

Sekali lagi jenis Casa 212-200 tidak ada registrasinya untuk izin
terbang dimuka bumi ini, entah bagaimana masih diperbolehkan terbang
di angkasa Indonesia.  Karena wilayah angkasa Indonesia adalah bagian
kedaulatan RI, maka korban2 kecelakaan ini seharusnya menuntut
pemerintah RI untuk meminta ganti rugi.  Ini bukan kecelakaan atas
kemauan Allah, melainkan kecelakaan demi memperkaya Habibie cs. dan
organisasi2 Islam yang kebagian rezekinya diatas korban2 yang berjatuhan.

Habibie berhasil memproduksi sekitar 30 pesawat jenis ini yang tidak
satupun laku dijualnya sehingga akhirnya ABRI dipaksa menggunakan atau
membeli pesawat ini setelah dipaksa oleh Suharto.

Ny. Muslim binti Muskitawati.




Reply via email to