http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=3&id=308

      Sabtu, 19 Juli 2008 

      Bali jangan lagi Diatur Investor
     
      BALI perlu pemimpin yang tahu Bali. Tak hanya mengerti budaya, tetapi 
paham akan apa yang dibutuhkan masyarakat Bali. Wacana ini menguat menjelang 
pencalonan gubernur dan wakil gubernur Bali empat bulan lalu.

      Wacana tersebut sebenarnya berangkat dari kekhawatiran akan keajegan Bali 
di masa mendatang. Sebab pemimpin saat ini lebih kepada pendekatan hedonis. 
Artinya, mereka lebih memikirkan pendapatan, investor dan pembangunan fasilitas 
perkantoran yang serba 'wah'. Walaupun di daerahnya semakin banyak warga yang 
berstatus rumah tangga miskin.

      Demikian pula para pejabat tak tahu malu pergi ke luar negeri, studi 
banding dan sebagainya hanya untuk melihat-lihat tanpa ada target untuk 
menjadikan daerahnya lebih baik. Bahkan, setelah studi banding ke luar negeri 
atau di dalam negeri sama sekali tak ada perubahan yang dinikmati masyarakat. 
Buktinya makin banyaknya rumah tangga miskin yang harus dijatah mendapat 
bantuan langasung tunai (BLT). Demikian pula fasilitas umum seperti jalan, 
gedung sekolah dan fasilitas umum lainnya banyak yang rusak parah.

      Sementara yang mengalami perubahan rata-rata menyangkut pendapatan asli 
daerah. Ini terasa wajar karena instansi pemungut lebih mengintesifkan 
pemungutan pajak, baik kepada lembaga swasta maupun perorangan. Tetapi itu 
tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan, sebab sebagian besar PAD hanya untuk 
membiayai kegiatan pemerintah termasuk pejabatnya.

      Dari fenomena tersebut, banyak komponen masyarakat mewacanakan, Bali 
perlu pemimpin yang memahami kebutuhan Bali. Tidak hanya menyangkut pendidikan, 
kesehatan, adat, lingkungan dan agama juga memahami kebutuhan manusia Bali. 
Mereka harus diberdayakan secara ekonomi.

      Dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemimpin Bali saat ini lebih 
memberi pemahaman pada penciptaan lapangan kerja dengan mendatangkan investor 
sebanyak-banyaknya. Alasannya, dengan datangnya investor akan menciptakan 
lapangan kerja dan penambah pendapatan asli daerah. Sementara kerusakan 
lingkungan, daya dukung Bali dan biaya sosial lainnya sama sekali tidak menjadi 
pertimbangan.

      Kini harapan untuk memperbaiki kondisi Bali ada pada gubernur/wakil 
gubernur Bali yang baru Mangku Pastika dan Puspayoga. Pasangan ini mengemban 
berbagai visi perubahan yang diamanatkan masyarakat Bali. Salah satunya 
mengangkat kesejahteraan masyarakat Bali, di samping amanat-amanat lainnya 
seperti menjaga keamanan Bali.

      Kehadiran pasangan dari PDI-P ini diharapkan memberikan warna baru bagi 
gaya kepemimpinan di Bali. Sebab Mangku Pastika telah banyak mengenyam 
pendidikan dan pengalaman di luar daerah dan luar negeri. Tentu akan ada 
adopsi-adopsi gaya kepemimpinan yang akan membawa perubahan Bali ke arah yang 
lebih baik.

      Kekhawatiran Bali akan tetap berada di bawah tekanan Jakarta, semestinya 
tidak usah terlalu dibesar-besarkan. Sebab era otonomi daerah telah mengikis 
anggapan tersebut. Namun yang patut dikhawatirkan adalah makin berkuasanya 
raja-raja kecil yang ada di kabupaten. Banyak contoh kasus, makin tak 
'berwibawanya' gubernur di era otonomi ini. Walaupun Tk I masih mempunyai 
wewenang untuk memangkas APBD yang tak sesuai, tampaknya hal tersebut tidak 
bisa dijadikan senjata andalan untuk 'mengatur' kepala daerah tingkat II. 
Dengan berlindung di balik otonomi daerah, para pemimpin di daerah Tk II merasa 
berhak mengatur wilayahnya sesuai kepentingannya (entah daerah entah 
pribadinya).

      Inilah sebenarnya yang menjadi permasalahan Bali. Karena dengan otonomi 
di daerah Tk II, menjadikan Bali ini terkotak-kotak secara kewilyahan. Artinya, 
Bali tidak dipandang sebagai satu-kesatuan wilayah yang saling ketergantungan. 
Seperti pembangunan di wilayah hijau yang semestinya dilarang membangun hotel 
karena melanggar RTRW Bali, tetap saja diizinkan oleh bupati. Kalau fenomena 
itu terus terjadi, kehancuran alam Bali akan semakin di ambang pintu.

      Untuk itu, pemimpin Bali ke depan termasuk anggota DPRD TK I Bali harus 
memperjuangkan otonomi di tingkat satu Bali. Bukan otonomi khusus, sehingga 
Bali dilihat sebagai satu kesatuan wilayah yang mesti diatur peruntukannya agar 
Bali dapat diselamatkan 

Kirim email ke