http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=162577

Sabtu, 26 Juli 2008



Rakyat Penonton Demokrasi 
Oleh : Ridwansyah 



Setiap perhelatan demokrasi yang menuntut keterlibatan rakyat secara meluas 
selalu saja simbol-simbol rakyat diumbar sebagai ikhtiar seolah-olah 
menggambarkan kedekatan dengan emosional rakyat walaupun manipulasi yang 
dilakukan hanya semata-mata bertujuan mendapatkan suara rakyat demi kekuasaan. 
Sesaat saja euphoria mengagungkan rakyat terdengar suara rakyat suara Tuhan, 
demikianlah bahasa-bahasa yang digelontorkan. Namun ketika suara telah 
diberikan, maka usai pula hubungan dengan rakyat. Kejadian-kejadian yang selalu 
terulang sehingga rakyat makin frustasi serta lesu darah dalam setiap "pesta 
demokrasi" karena yang sejatinya pesta hanya untuk penguasa. Sedangkan rakyat 
hanyalah penonton pesta. Setelah pesta usai, maka rakyat akan kembali pada 
kondisi nyata hidup dalam kemelaratan, kepapaan dan kebodohan. Visi misi yang 
diusung tidak lagi menjadi penting untuk ditepati. Yang penting kursi empuk 
kekuasaan telah kurengkuh demikianlah mungkin logika para elite hari ini. 

Terkejut kita dibuatnya, betapa tidak ketika verifikasi faktual telah 
dilakukan, KPU Pusat mengumumkan bahwa Partai Politik peserta pemilu berjumlah 
34 buah. Suatu angka yang membuat kita mengurut dada. Partai politik peserta 
pemilu tersebut sebenarnya bukanlah sepenuhnya partai baru, namun rata-rata 
merupakan partai bentukan oleh orang-orang yang disingkirkan di partainya. 

Walaupun dilihat dari aspek hak asasi manusia kebebasan berserikat dan 
berkumpul adalah hak setiap warga Negara, namun niat untuk membangun bangsa 
perlu kita curigai dari sisi berpikir partai-partai tersebut. Kalaulah kita 
telusuri dari aspek ideologi, sebenarnya partai-partai yang ada terdapat dua 
kelompok besar. Setidaknya yaitu partai yang berideologi nasionalis serta 
partai yang berideologi agama. Andaikata pengurus partai-partai tersebut mau 
sedikit legowo, mungkin jumlah partai yang mengikuti pemilu 2008 tidak sebanyak 
sekarang ini. Dengan kondisi partai sebanyak itu tentu akan membuat rakyat 
menjadi bingung, ditambah lagi cara-cara politik partai-partai masih 
mengandalkan pendekatan pembodohan tanpa melakukan upaya pencerdasan politik 
kepada rakyat. 

Reformasi yang diusung mahasiswa memang telah berhasil memperbaharui banyak 
aspek yang dulu dianggap tidak demokratis sekarang lebih demokratis. Namun 
secara substansinya demokrasi di republik ini belum juga dapat dirasakan oleh 
rakyat. Harapan sederhana rakyat untuk mendapatkan perubahan kesejahteraan 
seharusnya dapat ditangkap pemimpin yang dilahirkan dari rahim demokrasi. 
Sampai saat ini kondisi sulit rakyat tidak bergeming malah terasakan makin 
menyesakkan, diperparah dengan kebijakan pemerintah berkuasa dengan mencabut 
subsidi BBM, maka makin lengkaplah penderitaan rakyat. 

Sejak pemilihan secara langsung telah disepakati, maka beberapa tahun 
belakangan ini rakyat disuguhkan suatu arena suksesi yang sangat banyak, mulai 
dari Pemilihan Kepala desa mungkin, bupati dan wakil bupati, walikota serta 
wakilnya, gubernur juga dengan wakilnya dan tidak lama lagi pemilihan anggota 
legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Semuanya dilakukan 
secara langsung. Suatu fenomena tersendiri yang dahulu pada era orde baru tidak 
mungkin dirasakan rakyat. Suatu hal yang patut dicermati adalah apa yang 
dilakukan melalui sistem pemilihan secara langsung tidak berbanding lurus 
dengan kondisi rakyat. Sehingga kemudian yang muncul adalah kejenuhan di 
kalangan rakyat, tingkat partisipasi makin lemah. 

Pendidikan politik yang dipertontonkan oleh calon pemimpin tidak lebih 
dangdutan, artis cantik, jalan santai, bagi-bagi baju kaos, bagi-bagi nasi 
bungkus. Sehingga tidak salah jika kemudian rakyat berpikir sangat 
materialistik pada moment suksesi, karena yang diajarkan elitenya adalah 
contoh-contoh pembodohan. Kontan saja pelaksanaan pemilu memakan anggaran yang 
tidak sedikit ratusan milyar bahkan mungkin bisa mencapai trilyunan rupiah. 
Angka yang fantastis karena proses suksesi hari ini sudah dimaknai sebagai 
marketing politic, sehingga kekuatan capital sangat menentukan kemenangan. 
Logika untung rugi jelas merupakan logika para pengusaha. Ketika kultur 
berpikir tersebut juga merembes pada aspek politik akan makin parahlah Negara 
ini. Karena sejatinya yang memiliki Negara ini bukan lagi rakyat atau 
pemerintah tapi PASAR. 

Ketika terpilih dari sistem demokrasi, maka siap-siap saja pemimpin tersebut 
untuk memberikan daerahnya, negaranya untuk pemilik modal yang berorientasi 
kepada keuntungan. Dalam suasana keterikatan perjanjian dengan pemilik modal 
dapatkah pemimpin daerah atau pemimpin Negara enjalankan kerja-kerja 
kepemimpinannya secara independent? Jawabannya adalah tentu tidak! Yang lebih 
memprihatinkan apabila kekuatan-kekuatan capital yang bermain adalah pihak 
asing, sehingga kita bisa menyaksikan sumber daya alam strategis bangsa ini 
dikangkangi perusahaan asing, sehingga anak bangsa hanya jadi penonton di 
rumahnya sendiri. Sedangkan pemimpin yang telah berkolaborasi dengan pengusaha 
asing dapat "jatah" atas dukungannya dalam melapangkan jalan merebut sumber 
daya alam tersebut. 

Hal tersebut fakta, namun mengapa tidak ada kesadaran pada seluruh anak negeri 
untuk mewaspadai gerakan-gerakan tersebut. Yang paling harus menyadarinya 
adalah calon-calon pemimpin bangsa, mulai dari tingkat yang paling bawah sampai 
yang paling atas bahwasanya rakyat yang makin menderita. Apakah kita rela hidup 
mewah diatas gelimpangan mayat anak negeri. Dari nasi yang kita makan ada darah 
dan keringat petani, dibalik ikan yang kita makan ada darah dan keringat 
nelayan, dibalik kursi yang kita duduki ada teriakan yang lantang dari rakyat 
yang tidak lagi punya uang untuk makan. Naudzu billah min dzalik. ** 



ยท Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum Internal Badko HMI Kalbar, Ketua Pusat 
Kajian dan Study Pemberdayaan Masyarakat Kalbar. 



Reply via email to