http://batampos.co.id/TERKINI/Arif_Harsana_43_Tahun_Menunggu_Panggilan_Mengabdi_ke_Indonesia


      Arif Harsana, 43 Tahun Menunggu Panggilan Mengabdi ke Indonesia  
      Minggu, 27 Juli 2008|14:36:03WIB  
       
      Sarjana Elektro Itu 7 Tahun Kerja di Bengkel Taksi 

      Pada 1970-an, status kewarganegaraan Arif Harsana dicabut rezim Orde 
Baru. Meski kini sudah punya pekerjaan mapan di Jerman, pria asal Sleman itu 
merasa punya "utang" kepada rakyat Indonesia. Dia siap menjalankan tugas.

      ZULHAM A. MUBARAK, Jakarta 

      ISTANA Negara Jakarta awal 1965. Hari itu Arif Harsana bangga bisa 
berdiri di antara 40 mahasiswa yang dipanggil dan disalami Bung Karno, 
presiden. Saat itu mahasiswa UGM asal Sleman, Jogjakarta, tersebut berusia 19 
tahun sehingga disebut sebagai calon penerima beasiswa termuda yang dikirim 
untuk sekolah ke luar negeri.

      ''Tiga hari sebelum berangkat saya tidak bisa tidur membayangkan apa yang 
akan saya lakukan di sana," kata Arif mengenang hari yang membahagiakan itu. 
Saat itu, aktivis Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) dan Gerakan Mahasiswa 
Nasional Indonesia (GMNI) itu mendapat jatah sekolah di Moscow State 
University. 

      Pada September 1965, Arif dikirim ke Moskow, Uni Soviet (kini Rusia). 
Sesuai rencana, dia diterima di jurusan teknik mesin dan elektro di universitas 
milik pemerintah Uni Soviet. Ketika berangkat, ke-40 calon mahasiswa diberikan 
ikatan dinas oleh Bung Karno dan dijanjikan sebagai calon pegawai negeri sipil 
(PNS). "Dalam pidatonya, Bung Karno berpesan agar kami menyiapkan diri untuk 
kembali dan menebus utang kepada rakyat,'' kata pria berkacamata itu sambil 
menerawang.

      Baru beberapa minggu menempuh studi di Moskow, pecah peristiwa 30 
September 1965. Suasana belajar mahasiswa Indonesia yang belajar di Negeri 
Beruang Merah itu mulai tidak kondusif. Berita-berita bermunculan tentang 
kondisi politik tanah air yang memburuk. "Konsentrasi belajar para pelajar 
mulai terpecah. Belajar menjadi prioritas kedua, selain ikut aktif menyuarakan 
agar kekerasan dihentikan dan terus berkomunikasi dengan Indonesia," katanya.

      Para pelajar Indonesia di Rusia lalu mendeklarasikan mengutuk G 30 S PKI 
karena membunuh para jenderal. Namun, kekerasan berlanjut sehingga merenggut 
para korban -diperkirakan jutaan jiwa. Para pelajar juga membentuk Persatuan 
Pelajar Indonesia (PPI) yang mendeklarasikan kutukan terhadap pembantaian 
tersebut. 

      ''Berita yang kami dengar di luar negeri simpang siur. Yang mengejutkan, 
tiap minggu kami menerima kabar jumlah korban kekerasan yang bertambah hingga 
menembus satu juta jiwa,'' kata lelaki kelahiran 1945 itu.

      Arif kian tertantang terus menuntaskan proses belajar. Lalu, lima tahun 
kemudian (1970), dia pun meraih gelar strata satu dan dinyatakan lulus dengan 
predikat cum laude. ''Ketika itu, saya mengambil tesis tentang mesin berbahan 
bakar gas. Saya terinspirasi dari cadangan gas alam yang terdapat di luar 
Jawa.'' 

      Sesuai dengan sumpah yang diucapkan di hadapan Bung Karno sebelum 
berangkat ke Moskow, Arif pun berharap segera kembali ke tanah air. Mimpi buruk 
pun terjadi. Putra ketiga dari tujuh bersaudara itu dan puluhan mahasiswa WNI 
lain disodori surat oleh Kedutaan Besar RI (KBRI Moskow). Isinya, mereka siap 
setia dan patuh kepada Soeharto, pemegang mandat Supersemar yang juga pemimpin 
tertinggi negara. 

      Merasa bahwa Bung Karno-lah yang menjadi penanggung jawab keberangkatan 
mereka ke Moskow, Arif mempertanyakan tujuan penandatanganan surat kesetiaan 
tersebut. Alih-alih mendapat tanggapan, pemerintah Indonesia langsung memblokir 
paspor mereka. Bahkan, kewarganegaraan para calon ilmuwan muda Indonesia 
tersebut dicoret.

      ''Ketika itu kami mendengar peristiwanya dari luar negeri. Tidak jelas 
siapa meng-kup (kudeta) siapa. Kami tak menyangka bahwa bantahan itu ternyata 
berbuah blokir paspor,'' kata Arif lagi.

      ''Waktu itu (pejabat) yang mengeluarkan surat pemecatan dan blokir paspor 
adalah Manai Sophiaan (ayah artis almarhum Sophan Sophiaan),'' sambungnya.

      Sejak saat itu, kondisi di Moskow pun berubah. Para pelajar Indonesia di 
sana juga mengalami pembersihan. Suara para pelajar pun terbelah. Ada yang 
memilih menandatangani surat kesetiaan dan ada yang menolak. 

      ''Banyak nama rekan saya yang kala itu menandatangani surat kesetiaan 
kepada Soeharto dan sekarang sudah menjadi tokoh nasional. Namun, saya lebih 
baik tidak membicarakan hal tersebut secara vulgar karena itu menyangkut nama 
baik seseorang,'' jabarnya.

      Akibat blokir paspor tersebut sangat besar. Arif pun menjadi salah 
seorang di antara sekian puluh mahasiswa Indonesia yang terpaksa menjadi buruh 
kasar di Uni Soviet. Hingga tujuh tahun, para mahasiswa tersebut terpenjara di 
area kota Moskow dan tidak boleh keluar. ''Mereka tak memiliki paspor dan 
menjadi stateless,'' katanya. 

      Arif sendiri kemudian bekerja pada sebuah bengkel taksi. Saat yang sama 
dia merasa terbebani dosa kepada uang rakyat yang digunakan untuk membiayai 
pendidikannya di Moskow. ''Saya merasa malu karena ilmu yang saya pelajari 
gagal berguna bagi rakyat di tanah air. Pekerjaan yang saya tekuni kala itu 
sejatinya tak layak di-handle seseorang dengan keahlian seperti saya,'' 
tuturnya. 

      Harapan terbit kembali pada 1977. Saat itu pemerintah Uni Soviet 
memberikan kesempatan bagi para stateless untuk menyeberang ke Jerman Barat. 
Arif dkk pun menyeberang dan segera mendapat surat jalan dari pemerintah Uni 
Soviet. ''Surat itu hanya sekali jalan dan tidak boleh digunakan untuk 
kembali.''

      Para pelajar Indonesia pun melihat itu sebagai peluang untuk meninggalkan 
Soviet. Berbekal paspor yang sudah tidak berlaku lagi, mereka menyeberang ke 
Berlin Barat (Jerman Barat), yang saat itu memang tak memberlakukan aturan 
visa. ''Sejak saat itu, saya tinggal dan mengajukan diri sebagai warga Negara 
Jerman,'' ujarnya. 

      Setelah menjadi warga negara dan memegang paspor Jerman, Arif mulai 
membangun mimpi untuk bisa kembali pulang ke Sleman, Jogjakarta. Dia selalu 
terbayang untuk bisa menemui kedua orang tuanya. Baru pada awal 1993 dia 
berkesempatan pulang. 

      ''Waktu itu saya hanya memiliki waktu seminggu untuk pulang. Saya 
berjumpa dengan orang tua saya yang 28 tahun saya tinggalkan. Saat itu mereka 
sudah sangat tua,'' kenangnya. Tak berselang lama kemudian, ayah ibunya 
meninggal dunia. Dia merasa beruntung bisa pulang sebelum mereka wafat. 

      Walaupun lama menetap di Eropa, Arif menikah dengan wanita asli 
Indonesia, Dian Kurnia Utami, yang secara tidak sengaja bertemu dengannya di 
Jerman. Keduanya pun memutuskan untuk tinggal di Bainingstrase, Muenster, 
hingga kini. 

      ''Sekadar mengobati kangen, setiap dua atau tiga tahun kami sekeluarga 
berkunjung ke sanak saudara di Indonesia,'' katanya.

      Selama hampir setengah abad terpisah dari Indonesia dan menjadi warga 
Jerman, kecintaan Arif kepada tanah air belum luntur. Kini dia tergabung 
sebagai anggota Suedostasien Information Stelle atau Pusat Informasi Kebudayaan 
Asia. Ayah dua putri itu juga menjadi salah sorang angggota Forum 
Eropa-Indonesia untuk Demokrasi (FEID).

      Ketika ditemui JPNN di Kantor Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), Jalan 
Kalasan Dalam, Jakarta, dia tampak terlihat lebih muda. Meski usianya telah 
menapak 63 tahun, rambutnya tampak belum memutih. Ayah Sinta Patricia, 19, dan 
Santi Nathali, 17, itu tampak berbicara dengan bersemangat. Logat Jawanya juga 
kental ketika dia berbicara dalam bahasa Indonesia. 

      Meski dia sudah lelah untuk mengajukan permohonan sebagai warga negara 
Indonesia (WNI), bukan berarti rasa nasionalismenya telah luntur. ''Saya 
bersedia jika sewaktu-waktu negeri ini membutuhkan pikiran dan tenaga saya demi 
kemajuan bangsa,'' katanya. 

<<14374large.jpg>>

Reply via email to