Galamedia
26/07/2008 
      Tiap Tahun 1,4 Juta Siswa di Jabar Putus Sekolah
     

JATINANGOR, (GM).-
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyatakan, setiap tahun di Jabar 1,4 juta 
siswa tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, 
khususnya dari SD ke SLTP dan dari SLTP ke SLTA. Hal ini menjadi tantangan bagi 
Pemprov Jabar karena pendidikan wajib saat ini sembilan tahun atau sampai SLTP. 

Pernyataan Ahmad Heryawan itu disampaikan dalam acara penutupan rapat 
koordinasi perguruan tinggi negeri dan swasta di Jabar yang diselenggarakan di 
Hotel Khatulistiwa, Jalan Raya Jatinangor, Jumat (25/7). 

Heryawan menyatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah 
kabupaten/kota untuk mengatasi masalah ini. Pemprov dan pemerintah 
kabupaten/kota akan melakukan sweeping agar anak yang putus sekolah tersebut 
bisa dibantu pemerintah. "Wajib belajar sekarang sembilan tahun atau sampai 
SLTP. Artinya, mereka masih wajib sekolah," kata Heryawan. 

Menurut Heryawan, sweeping dimaksudkan untuk mengetahui apa yang menjadi alasan 
siswa tidak melanjutkan sekolah. Dengan demikian, katanya, pemerintah bisa tahu 
apa yang harus dikerjakan dalam melaksanakan program wajib belajar tersebut. 

Ia menambahkan, masalah biaya menjadi alasan klasik bagi masyarakat. Jika 
memang ini masalahnya, kata Heryawan, pemerintah akan berupaya mendorong agar 
mereka bisa tetap sekolah. Namun, jika masalahnya karena anaknya malas, 
pemerintah juga akan berupaya memberikan advokasi kepada mereka. "Masalahnya 
tidak hanya persoalan biaya, bisa juga karena malas atau alasan lainnya," kata 
Heryawan. 

Sementara itu, dalam sambutannya Heryawan menyatakan, persoalan-persoalan 
pendidikan di Jabar demikian kompleks. Persoalan pendidikan di Jabar, katanya, 
berhubungan dengan berbagai aspek dan dimensi kehidupan masyarakat, khususnya 
masalah kemiskinan yang diakibatkan pengangguran dan rendahnya daya beli. 

Karena itu, ujarnya, dalam menyusun rancang bangun (grand design) kebijakan 
strategis pembangunan pendidikan di Jabar tidak cukup hanya melibatkan sektor 
pendidikan saja. "Harus melibatkan dimensi-dimensi lain seperti politik, 
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat," katanya. 

Dalam dimensi politik, tambahnya, dapat diwujudkan melalui political will 
pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan ketentuan alokasi 
anggaran 20% dari APBD untuk pendidikan, sesuai dengan ketentuan 
perundang-undangan. Sedangkan dalam dimensi ekonomi, pembangunan pendidikan 
harus menyentuh aspek pengembangan/pemberdayaan ekonomi masyarakat dan potensi 
daerah, sehingga memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya beli 
masyarakat. 

Ahmad Heryawan menambahkan, perwujudan pendidikan yang pro publik tidak hanya 
cukup diwujudkan melalui pemenuhan anggaran pendidikan 20% dari anggaran, namun 
harus turut melibatkan peran serta pemerintah. Peran serta masyarakat, katanya, 
dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan nonformal (berbasis 
masyarakat). Pendidikan formal tersebut harus dapat membangun budaya informal 
learning pada masyarakat. (B.83

Reply via email to