http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=215744


Pelaksanaan Pancasila dan Demokrasi
(Bagian pertama dari dua tulisan)
Oleh Subiakto Tjakrawerdaja 


Jika kita menengok ke belakang-melihat sejarah perjuangan bangsa-jelas bahwa 
pada saat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama 
bangsa Indonesia, kita telah memiliki Pancasila sebagai dasar falsafah negara 
(philosofische grondslag). Kita juga telah memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) 
1945 sebagai dasar hukum negara kita. 

Namun, kita melihat betapa sulitnya para pemimpin negeri ini mewujudkan amanat 
para pendiri negara yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 
Untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut, selain diperlukan dedikasi yang 
tinggi, semangat kepeloporan, dan kesadaran sejarah, juga diperlukan suatu 
kemampuan kepemimpinan untuk mengerahkan seluruh potensi dan sumber daya 
nasional melalui rangkaian pembangunan jangka panjang. 

Tantangan terbesar dalam melaksanakan Pancasila sebagai konsensus politik yang 
menjadi dasar negara adalah bagaimana mewujudkan dasar negara tersebut dalam 
suasana kemerdekaan. Khususnya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh 
rakyat Indonesia sebagai tujuan. Sampai saat ini pun-setelah lebih dari 60 
tahun menjadi bangsa yang merdeka-tujuan itu belum dapat kita capai. Dalam pada 
itu, kita juga mencatat tantangan yang tidak kecil dalam melaksanakan UUD 1945. 

Meski secara resmi UUD 1945 digunakan antara tahun 1945 dan 1949 dan antara 
1959 dan 1965, namun kita melihat pelaksanaannya tidak dilakukan secara 
konsekuen. Bahkan, tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, UUD 1945 tidak 
dilaksanakan sebagaimana yang seharusnya. UUD 1945 yang menganut sistem 
presidensial, misalnya, kita ganti dengan sistem parlementer. Para menteri 
tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi pada BPKNIP yang merupakan 
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Demikian pula setelah Presiden Soekarno 
mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 pada tahun 1959. 

Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen baru dilaksanakan pada masa 
pemerintahan Orde Baru, khususnya setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Hal ini 
dapat dimengerti karena visi Orde Baru adalah untuk mewujudkan tatanan 
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang ingin melaksanakan Pancasila dan 
UUD 45 secara murni dan konsekuen. 

Kita juga mencatat betapa sulitnya pemerintahan Orde Baru dalam mewujudkan 
visinya tersebut. Memang, untuk mewujudkan amanat para pendahulu kita dan para 
pendiri negara ini tidaklah mudah. 

Pada permulaan pemerintahannya, pemerintahan Orde Baru juga menghadapi 
masa-masa yang teramat sulit. Keamanan sangat rawan, bahkan di beberapa daerah 
masih terjadi berbagai kerusuhan. Ada situasi politik yang panas dan tidak 
menentu. Keadaan ekonomi pun teramat buruk. 

Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, langkah pertama yang dilakukan Orde 
Baru adalah mewujudkan situasi keamanan yang dapat mendukung pemerintahannya. 
Langkah berikutnya adalah menyusun dan memfungsikan lembaga-lembaga negara 
sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk itu diambil langkah-langkah untuk 
meningkatkan situasi keamanan dan menciptakan stabilitas, baik di bidang 
politik maupun di bidang ekonomi. 

Untuk menciptakan stabilitas di bidang politik dalam membina rasa persatuan dan 
kesatuan bangsa, membina dan memperkuat demokrasi Pancasila, serta mengusahakan 
tegaknya hukum telah dilakukan berbagai upaya. Di bidang ekonomi dilakukan 
program-program rehabilitasi dan stabilitasi. Tujuannya, antara lain, untuk 
menyelesaikan utang luar negeri, menekan laju inflasi, merehabilitasi 
infrastruktur, meningkatkan ekspor dan yang terutama menyediakan sandang dan 
pangan bagi masyarakat. Setelah upaya-upaya itu menunjukkan hasil, maka 
diadakan pemilihan umum yang berlangsung pada tahun 1971. 

Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama di bawah naungan UUD 1945. Sebagaimana 
kita ketahui bersama, Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang kita 
selenggarakan. Namun, pemilu tersebut berlangsung di bawah payung Undang-Undang 
Dasar Sementara 1950 yang mengadopsi sistenm parlementer. 

Kita juga mencatat bahwa pada Pemilu 1955 itu tidak ada satu partai politik pun 
yang menang mutlak. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang paling banyak 
memperoleh suara, hanya mendapat sekitar 22% jumlah suara. Akibatnya, terjadi 
praktik "politik dagang sapi" dalam membentuk kabinet. Dalam hal yang demikian, 
dapatlah dimengerti jika para menteri lebih banyak memihak kepada partainya 
daripada memihak kepada kepentingan rakyat banyak. 

Setelah berhasil menyelenggarakan Pemilu 1971, maka sekali dalam lima tahun 
secara teratur selalu dilakukan pemilu. Dalam pemilu di bawah naungan UUD 45 
itu, suasana kejiwaannya masih diliputi oleh suasana kekecewaan terhadap 
demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. 

Karena itulah upaya Orde Baru untuk menyederhanakan struktur politik melalui 
upaya memenangkan salah satu organisasi peserta pemilu mendapatkan apresiasi 
yang positif dari masyarakat. Dengan kemenangan salah satu organisasi peserta 
pemilu, maka praktik "politik dagang sapi" dapat dihindari dan tanggung jawab 
terhadap keberhasilan atau kegagalan pemerintah dapat terlihat dengan lebih 
jelas. 

Dalam kaitan ini, kita melihat bahwa Golongan Karya-semula merupakan organisasi 
kekaryaan yang terhimpun dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya-sebagai 
organisasi politik, ternyata mampu dengan sangat cepat mengembangkan doktrin, 
kebijaksanaan, strategi, sistem, serta dukungan logistik untuk terjun ke dalam 
kancah pemilihan umum. Bahkan, karena solidnya organisasi peserta pemilu ini, 
Golkar memperoleh suara terbanyak sehingga menjadi single majority. 

Bagi Orde Baru, kedudukan sebagai single majority ini penting. Sebab, di 
samping menunjukkan besarnya dukungan rakyat terhadap program-pogramnya, Golkar 
juga menginginkan Indonesia tidak lagi menjadi ajang pertentangan ideologi. 
Dengan demikian, perhatian masyarakat dan bangsa Indonesia dapat difokuskan 
pada pembangunan.*** (Bersambung) 

Penulis adalah mantan menteri koperasi 

+++++
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=215830


Pelaksanaan Pancasila dan Demokrasi
(Bagian kedua dari dua tulisan)
Oleh Soenarto Soedarto 


Jumat, 12 Desember 2008

Setelah berhasil melaksanakan Pemilu 1971, terbentuklah Majelis Permusyawaratan 
Rakyat (MPR) yang antara lain bertugas menetapkan Garis-garis Besar Haluan 
Negara (GBHN) serta memilih presiden dan wakil presiden (wapres) yang akan 
menjalankan GBHN. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bertugas mengawasi 
jalannya pemerintahan, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberi pandangan 
dan pertimbangan kepada presiden dalam berbagai kehidupan bangsa dan negara, 
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa tanggung jawab pemerintah dalam 
membelanjakan uang negara yang telah disetujui DPR melalui undang-undang APBN, 
serta Mahkamah Agung (MA) yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, 
dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. 

Lembaga-lembaga tinggi negara itu juga telah bekerja sama dengan baik, dengan 
masing-masing tetap memegang teguh wewenangnya sesuai dengan yang digariskan 
UUD. 

MPR, DPR, presiden, dan wapres melaksanakan tugasnya selama lima tahun, untuk 
kemudian diadakan pemilu kembali. Demikian pula pimpinan BPK dan Ketua MA. 
Siklus lima tahunan pimpinan nasional ini terus dilaksanakan selama 
pemerintahan Orde Baru, yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa. 
Untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara yang ingin dilaksanakan 
secara murni dan konsekuen, maka sepertiga dari anggota MPR dan sebagian dari 
anggota DPR diisi anggota ABRI yang ditunjuk (dengan asumsi, anggota ABRI tidak 
mungkin mengganti Pancasila dengan dasar negara lain, mengingat ABRI memiliki 
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai doktrinnya). 

Untuk melanggengkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar 
hukum penyelenggaraan negara, pemeritah Orde Baru berusaha keras agar semua 
unsur lembaga negara dan lembaga pemerintah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Untuk itu, pemerintah Orde Baru menganjurkan kepada semua golongan masyarakat 
untuk mendalami Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, yang merupakan salah satu 
ketetapan majelis yang teramat penting. Melalui GBHN yang berisi rancangan 
pembangunan dalam garis besar ini, Orde Baru ingin memasyarakatkan Pancasila 
dan mempancasilakan masyarakat Indonesia. Sebab, pembangunan dianggap sebagai 
pengamalan Pancasila. 

Salah satu cara untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN adalah 
dengan mengadakan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau 
penataran P4. 

Sesungguhnya, P4 merupakan rumusan-rumasan yang sederhana untuk dipakai sebagai 
pedoman sikap hidup manusia yang ingin mengamalkan Pancasila. 

Namun, P4 ini baru bisa dilakukan setelah Orde Baru memegang tampuk 
pemerintahan sekitar 12 tahun, yaitu pada tahun 1978. Dan, diperlukan waktu 
lima tahun lagi (1983) untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas 
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dua tahun setelah itu, 
baru dapat ditetapkan undang-undang yang menetapkan kesepakatan itu sebagai 
norma hukum bagi organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi 
kemasyarakatan. 

Menarik untuk diperhatikan, sejak tahun 1978 konflik ideologis berkurang dalam 
masyarakat. Dalam hubungan ini, selama pemerintahan Orde Baru perhatian bangsa 
Indonesia yang di masa sebelumnya cenderung mengarah pada masalah-masalah 
politik, mulai beralih ke bidang pembangunan. 

Pembangunan dilakukan berdasarkan Trilogi Pembangunan, yang meliputi 
stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan serta dilakukan secara bertahap. 
Pembangunan dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan jangka panjang yang 
berjangka waktu 25 tahun. Pembangunan itu dilaksanakan dengan menjalankan lima 
kali pembangunan jangka menengah yang berdurasi lima tahunan. 

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama, misalnya, dilaksanakan pada 
tahun 1969-1974 yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Repelita II yang 
dimulai pada 1974 hingga tahun 1979, demikian seterusnya. 

Repelita dijalankan dengan melaksanakan rencana pembangunan tahunan yang 
dibiayai dengan APBN, yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR. 

Untuk mempercepat kemajuan pada bidang-bidang yang erat berkaitan dengan upaya 
meningkatkan kesejahteraan rakyat, di samping dilakukan pembangunan melalui 
Repelita, juga ditambah dengan pelaksanaan proyek inpres. 

Dengan melaksanakan pembangunan itu, hasil yang telah dicapai adalah 
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari tahun 1967 sampai tahun 
1997. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi itulah, maka Indonesia digolongkan 
dalam negara industri baru (newly industrilizing economies, NIEs) Asia Tenggara 
bersama-sama dengan Malaysia dan Thailand. Kelompok negara ini disebut sebagai 
Macan Asia. 

Antara tahun 1967 dan 1984, pendapatan per kapita riil di Indonesia meningkat 
tiga kali lipat dan terus meningkat sampai tahun 1997. Pertumbuhan yang cepat, 
stabilitas yang terjaga dengan baik, disertai dengan pemerataan, telah 
menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini antara lain terlihat pada 
peningkatan usia harapan hidup (life expectancy) yang tajam, dari 56 tahun pada 
1966 menjadi 71 tahun pada 1990. 

Dengan melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila sebagaimana yang 
digariskan MPR, tidak saja stabilitas politik dan keamanan dapat dijamin, 
tetapi juga kekalutan ekonomi yang berkepanjangan yang sudah dimulai sejak 
bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka, dapat dihentikan, dan kesejahteraan 
rakyat berhasil ditingkatkan setahap demi setahap. Bahkan, bangsa kita telah 
bersiap-siap untuk dapat memasuki tahap permbangunan baru guna meningkatkan 
kesejahteraan rakyat sesuai dengan apa yang digariskan oleh UUD. 

Dari hal yang saya kemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang 
sesuai dengan Pancasila pernah kita laksanakan pada pemerintahan Orde Baru, 
yang didukung oleh Golkar, birokrasi, dan ABRI selama lebih dari tiga 
dasawarsa. Dan, pelaksanaan demokrasi itu telah menunjukkan hasil berupa 
meningkatnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat. 

Barangkali, pada masa depan kita perlu terus berusaha mewujudkan cita-cita para 
pendiri negara ini, dengan menghilangkan kelemahan-kelemahan yang menghinggapi 
Orde Baru serta dengan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.*** (Habis) 

Penulis adalah mantan Duta Besar RI untuk
Republik Cheko, Nusantara Institut. 

Reply via email to