Jawa Pos
 Rabu, 17 Desember 2008 ] 

Risiko Fatwa Agama untuk Politik 
Oleh: Akh. Muzakki *

Kegelisahan patut dibangkitkan. Sebab, ada kecenderungan publik, siapa pun 
mereka, dengan gampangnya meminta fatwa kepada MUI atas problem yang sedang 
dihadapi. Setelah ramai-ramai soal rokok, kini publik meminta fatwa haram 
golput kepada MUI. 

Tak tanggung-tanggung, figur sekelas Ketua MPR Hidayat Nurwahid meminta MUI 
untuk mengeluarkan fatwa haram atas praktik golput yang dipandang belakangan 
semakin menguat. 

Sebagai latar belakang lebih jauh, Hidayat Nurwahid memandang bahwa angka 
golput dalam sejumlah pilkada terbukti rata-rata lebih dari separo jumlah 
pemilih sah (Jawa Pos, 13/12/2008). Gagasan Hidayat itu kemudian diikuti oleh 
PPP dengan anggukan persetujuan yang sama atas perlunya fatwa haram golput 
(Jawa Pos, 15/12/2008). 

Dalam argumentasi kalangan yang profatwa haram atas golput di atas, terbaca 
bahwa agama yang direpresentasikan oleh lembaga fatwa didesak untuk menjadi 
pilar alternatif bagi demokrasi. Konkretnya, agama didorong dan dipaksa menjadi 
pilar keenam demokrasi. 

Fatwa Agama 

Dalam diskursus demokrasi, selama ini dikenal lima pilar sebagai penyangga 
tegaknya pemerintahan yang demokratis. Yakni, yudikatif, legislatif, partai 
politik, media massa, dan masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh lembaga 
swadaya masyarakat (LSM). Kualitas demokrasi di sebuah tatanan masyarakat akan 
ditentukan oleh berdaya atau tidaknya lima pilar di atas. Jika terdapat 
kepincangan pada salah satunya, demokrasi juga akan berjalan secara timpang. 

Namun, dalam banyak kasus, di tengah bobroknya performa yudikatif, legislatif 
dan partai politik, posisi media massa dan masyarakat sipil yang 
direpresentasikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi kekuatan dan 
benteng terakhir bagi penegakan demokrasi.

Di Amerika Latin, sebagai contoh yang mirip dengan Indonesia, kekuatan 
masyarakat sipil yang didorong oleh media massa menjadi penjaga gawang terakhir 
bagi penciptaan moralitas politik yang demokratis (Bresser-Pereira, 2000:18). 
Sementara itu, keyakinan atau agama justru menempatkan dirinya dalam posisi 
sebagai inspirasi dan penyemai semangat kebajikan publik yang menjadi dasar 
pergerakan lima pilar di atas. Dalam posisinya yang demikian, agama justru 
memperkuat terciptanya bangunan lima pilar demokrasi di atas. 

Posisi agama semacam ini justru sangat luhur. Namun, dalam kecenderungan 
terakhir masyarakat kita, agama yang semestinya menjadi inspirasi bagi tegaknya 
masing-masing dari lima pilar demokrasi di atas justru dicoba untuk digeser 
lebih jauh. Agama digeser untuk tidak saja menjadi sumber inspirasi dan 
semangat kebajikan publik, tapi juga bagian dari rangkaian pilar itu sendiri 
melalui lembaga fatwa. Dengan begitu, agama melalui lembaga fatwa dicoba untuk 
menjadi pilar keenam bagi penguatan demokrasi. Bentuk konkretnya adalah melalui 
instrumentasi fatwa atas fenomena dan ekspresi politik. 

Problem Pilar Keenam 

Kalau memang benar demikian, agama melalui lembaga fatwa seperti pada kasus 
golput di atas akan didesak menjadi pilar keenam demokrasi. Maka, ada sejumlah 
problem yang menyelinap dan tak bisa dihindari. Pertama, mengingat fatwa tidak 
memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) bagi seluruh masyarakat, 
lahirnya fatwa sangat mungkin dilawan dengan pengeluaran fatwa tandingan. Kalau 
hal seperti ini terjadi, agama bisa akan menjadi tontonan publik semata. 
Apalagi, masing-masing simpul kekuatan Islam memiliki lembaga fatwa. 

Pada satu sisi, publik akan merasa bahwa elite agama dan politik telah membuat 
agama centang perenang melalui ekspresi dan instrumentasi fatwa hukum agama 
yang dihasilkan secara bertolak belakang satu sama lain. Pada ujung yang lain, 
publik juga dibuat bingung oleh elite agama dan politik mereka atas ekspresi 
agama melalui instrumen fatwa yang bertolak belakang dan centang perenang 
dimaksud.

Kedua, jika perang fatwa terjadi, agama akan terfragmentasi dengan sendirinya. 
Justru dalam konteks ini, posisi agama semakin tidak memiliki kekuatan apa-apa 
terhadap penyemaian kualitas demokrasi. 

Agama melalui produk fatwa yang centang perenang di atas akan semakin membuat 
kekuatan masyarakat terfragmentasi pula sebagai sebuah pilar penting, bahkan 
dalam sejumlah kasus menjadi pilar terakhir bagi penegakan demokrasi. Apalagi, 
jika sebuah fatwa agama dinilai oleh publik sarat kepentingan politik praktis, 
cibiran dan respons negatif publik tak bisa dihindari. Maka, konsekuensi 
lanjutannya, kontribusi agama semakin lemah bagi penciptaan demokrasi. Justru, 
agama terancam mandul dan lumpuh ketika fatwa sebagai perwujudan 
instrumentalnya tak efektif sama sekali sebagaimana maksud awalnya.

Belajar dari Pengalaman 

Kita harus belajar dari pengalaman. Ketika fatwa haram terhadap tayangan 
infotainment yang berorientasi penggunjingan dikeluarkan oleh NU melalui forum 
Musyawarah Nasional Alim Ulama di Surabaya pada 3 Agustus 2006, banyak harapan 
tersembul dari masyarakat. Terteguhkannya kontrol terhadap semangat pendidikan 
pada program tayangan televisi adalah salah satu contohnya. Namun, praktiknya, 
fatwa tersebut tak berjalan efektif. Buktinya, terciptanya fatwa tersebut tak 
mengubah apa-apa atas infotainment itu.

*. Akh. Muzakki, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat PhD bidang Political 
History di The University of Queensland, Australia 


Reply via email to