Jawa Pos

[ Jum'at, 19 Desember 2008 ] 

Didik Anak Beribadah, Tak Kenal Kata Demokratis 

Muhammad Taufik menyebut dirinya sebagai orang tua yang demokratis. Bagi dia, 
kelima buah hatinya boleh mempertanyakan, boleh tak setuju, maupun mendebat 
balik mengenai semua hal. Kecuali satu, ibadah. "Soal ibadah, saya akui saya 
tak demokratis. Sebab, memang ibadah merupakan harga mati," katanya. 

Salah satu contoh, anak-anaknya boleh bermain. Tapi, menjelang magrib, mereka 
sudah harus berada di rumah dan siap melaksanakan salat berjamaah. Begitu pula 
saat anak-anaknya berada di luar rumah. Ketika menelepon mereka, pertanyaan 
pertama yang dilontarkan oleh Taufik adalah "Sudah salat belum?". "Itu penting 
supaya mereka (anak-anaknya, Red) tidak lupa ibadah," terangnya. 

Taufik mengakui bahwa keluarganya memang religius dan mengenalkan agama sejak 
anak-anaknya masih berada dalam kandungan. "Sering diperdengarkan azan dan 
bacaan Alquran. Itu kebiasaan keluarga sejak lama," tutur dosen ITS tersebut. 

Sejak kecil, anak-anak Taufik digembleng ajaran agama dengan cara menarik. 
Misalnya, saat dia dan istrinya salat, anaknya yang masih kecil didudukkan di 
dekat mereka. "Sehingga, anak-anak melihat orang salat. Itu pengenalan pertama 
salat," tegasnya.

Upaya Taufik tersebut berhasil. Karena terbiasa melihat orang salat, kemudian 
sering berjamaah, anak-anaknya mempunyai kebiasaan positif. Yakni, selalu 
menangis bila tidak dibangunkan untuk salat berjamaah ketika azan subuh. Selain 
itu, Taufik membiasakan diri untuk salat berjamaah di rumah. "Kalau saya masih 
dalam perjalanan, istri pasti menunggu," ungkap kepala Laboratorium Geodesi dan 
Surveying Teknik Geomatika ITS tersebut. 

Bukan apa-apa, selain pahala 27 kali lipat, kebiasaan itu menambah kerukunan 
keluarga. "Selesai salat, pasti dilanjut dengan ngobrol. Baik yang ringan 
maupun curhat," tambahnya.

Selain bekal di akhirat kelak, manfaat rajin beribadah pun dirasakan oleh 
Taufik. "Secara batin, saya lebih siap saja untuk orang-orang yang berniat 
jahat atau mencelakai lewat hal gaib, seperti santet," paparnya. 

Kendati tergolong religius, bukan berarti Taufik kaku dan tak mempunyai 
toleransi beragama yang baik. Buktinya, lingkungan tempat tinggalnya didominasi 
warga nonmuslim. "Secara sosial, bergaul itu penting. Saya tak membatasi diri 
maupun anak-anak untuk membatasi pergaulan," urainya. (war/ayi)

Reply via email to