MEMANUSIAKAN KEMBALI MANUSIA SETENGAH DEWA

 



4.2.09

.fullpost{display:none;}
Oleh: Ubaidillah Syohih
“Anak
didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani
hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan
pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran
adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman
praktis.” 

John Dewey (1859 – 1952)

Merenungi
quote John Dewey di atas, agak miris lihat kondisi pendidikan saat ini.
Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh". Bukan
lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola
pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid.
Dan semuanya hanya demi satu kata: IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah
yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Pun demikian dengan institusi
pendidikan, lembaga ini tidak ubahnya seperti pencetak mesin ijazah.
Sebagian malah beriklan layaknya iklan sebuah pusat perbelanjaan dengan
iming-iming ruangan ber-AC, free hotspot, dan lain sebagainya yang
tidak ada kaitannya dengan makna pendidikan itu sendiri.


Pendidikan
atau Education berasal dari kata educare (ex ducere), yang berarti
membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare
ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada
banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus
dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup
untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta
didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang
dicita-citakan. Di sini, atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan
peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya
sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai
bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan
sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai
narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta
didik. Lebih dari itu, luaran pendidikan harus menjadi orang-orang yang
mampu mengubah diri sendiri dan masyarakat menuju pada arah yang lebih
baik dan merdeka.
Freire pun berkata, hakikat pendidikan adalah
membebaskan. Sejiwa dengan itu, Ki Hadjar Dewantara, sang Bapak
Pendidikan Indonesia, berkata bahwa pendidikan seyogyanya memerdekakan.
Ditambahkan pula oleh Driyarkara, bahwa pendidikan sudah selayaknya
mampu memanusiakan manusia.
Bila kita membaca kembali Pasal 3 UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pendidikan nasional
“bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, terlihat bahwa tujuan
pendidikan nasional menjadi terlalu teknis-praktis, parsial, dan
temporal. Tujuan pendidikan nasional perlu dijiwai niat untuk membangun
kesadaran kritis dan memanusiakan, serta tak lekang oleh perubahan
zaman. 
Lalu, bagaimana pendidik mampu memanusiakan peserta didik bila mereka sendiri 
masih berlaku layaknya manusia setengah dewa?

Penulis adalah Aktifis Lingkungan di MATOA - Your Partner in Environmental 
Communications





    
 Baca Selengkapnya!

Iklan Kampanye dan Pembelokan Realitas


 




.fullpost{display:none;}
Oleh: Rudi Hartono

Ada
yang menarik akhir-akhir ini, terutama karena mendekatnya kontestasi
pemilu, yaitu iklan-iklan partai yang kian marak di televisi.
Kemunculan iklan ini kian gencar, hampir setiap sesi iklan di sela-sela
acara TV, dan tumpuk menumpuk dengan iklan komersil. Bedanya, jika
iklan komersil menawarkan brand image produk industri, maka iklan
politik menawarkan brand image dari kancah politik. Inilah pemasaran
politik.

Terkadang, jika dicermati, iklan-iklan ini sekedar
mengumbar janji-janji sebagai daya tarik, tetapi kurang ilmiah, kurang
objektif, dan kurang jujur dengan kenyataan. Tentu saja, hal semacam
ini tidak mengajarkan pendidikan politik yang benar kepada rakyat,
apalagi menanamkan kesadaran politik yang ilmiah dan objektif.


Rangsangan Memasang Iklan

Herbert
Schiller, seorang tokoh kritis dalam ilmu komunikasi, dalam bukunya
“Media ownership and control in the age of convergence”, menggambarkan
adanya keterkaitan antara perkembangan media dalam sistim informasi
dengan niat sejumlah korporasi yang hendak mengeruk keuntungan dari
industri media, setidaknya paska perang dunia kedua. Partisipasi
Indonesia (PI), sebuah lembaga survey berbasis di Jakarta, dalam
penelitiannya tahun 2007 menemukan bahwa 70% rakyat Indonesia mengakses
informasi dari media Audio visual. Peran dominan media dalam
mengendalikan pemirsa juga dapat dilihat pada jangkauan media TV swasta
nasional yang sudah mencapai 80% rakyat Indonesia.

Dengan
“kekuasaan besar” di tangan media, terutama dalam mengarahkan persepsi
masyarakat, maka sejumlah partai dan politisi pun tergiat memanfaatkan
hal ini. Anggaran yang digelontorkan untuk ini pun tidak sedikit.
Merujuk pada survey AC Nielsen, pada awalnya, Gerindra mengeluarkan
dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober,
biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan
terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0
persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen
dan 4,0 persen pada September dan November. (KOMPAS, December 16, 2008)

Begitu
juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008,
pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai
Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat
dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp
15,15 miliar (Oktober). 
Dari biaya iklan yang besar, melampaui
dana alat peraga seperti baliho, poster, dan selebaran, para capres dan
partai pendukungnya mendapatkan imbal –balik yang setimpal, berupa
lonjakan popularitas.

blank campaign dan pembelokan realitas

Dari
berbagai tema iklan yang diangkat partai, terdapat sejumlah
keganjalan-keganjalan baik dari isi kampanye dan program, maupun
prestasi yang disampaikan ternyata berbeda dengan fakta dan kenyataan
sebenarnya. ada dua tipe iklan partai yang perlu dikritisi; 

Pertama,
Ada iklan dengan isian kampanye yang kosong (Blank Campaign), lebih
sloganistik, dan kurang menguraikan konsep dan program jalan keluar.
Sebagai misal, iklan gerindra yang terlampau menyederhanakan persoalan,
sehingga seolah-olah kemenangan gerindra akan menyelesaikan persoalan
bangsa, tanpa mengkorfimasi apakah tawaran program dan kebijakan
gerindra memang dapat mengatasi persoalan bangsa. 

Kedua, iklan
yang disampaikan bersifat membelokkan realitas sebenarnya. Sebagai
contoh iklan partai demokrat. Sebagai partai pemerintah, Demokrat boleh
saja mati-matian berdiri membela SBY, tetapi tidak boleh melenceng dari
koridor; pembelajaran politik kepada rakyat. Iklan Demokrat mengenai
prestasi SBY menurunkan BBM dengan mengangsur tiga kali benar-benar
pembodohan. Jika SBY konsisten berpatokan pada harga minyak dunia, maka
ketika minyak dunia turun 50% lebih, maka seharusnya harga BBM juga
turun 50% menjadi 3000-an rupiah, bukan 4.500 yang dibanggakan SBY. Pun
dengan menurunkan BBM tiga kali, SBY tetap tidak bisa mengontrol harga
kebutuhan pokok yang meroket, tarif angkutan yang tetap tinggi, maupun
mencegah ancaman PHK massal terhadap 2 jutaan buruh akibat krisis
global. 

Demikian pula dengan Iklan PKS yang seolah didukung
hampir seluruh kalangan, termasuk anak punk (sub kultur), dan
lain-lain. Menurut kami, ini juga membelokkan realitas, karena PKS
tidak mungkin didukung semua sektor sosial mengingat PKS adalah partai
eksklusif. Buktinya, PKS merupakan motor utama pengesahan UU pornografi
yang memaksakan penyeragaman budaya nasional dan penafsiran tunggal
terhadap ajaran moral.

Rudi Hartono, Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin Redaksi Berdikari online. 


    
 Baca Selengkapnya!
Pak Benny dan Seni Berpolitik


 



26.1.09

.fullpost{display:none;}
Oleh: Rudi Hartono

Selama
berpuluh-puluh tahun, kehidupan politik merupakan sesuatu yang susah
diakses bagi seluruh rakyat, dan tentu saja rakyat miskin. Jika pada
masa orde baru hambatan berpolitik datang dari struktur politik yang
otoritarian, maka pada masa reformasi ini hambatannya berasal dari
kerangka politik yang market oriented. Karena itu pula, maka selama
puluhan tahun rakyat miskin ditaruh di luar kekuasaan, bahkan
dikucilkan dari arena politik. 

Sudah lama kalangan progressif
dari buruh, petani, miskin kota, dan sektor feminis tidak terdengar
dalam kancah politik nasional. Tetapi kali ini, menjelang pemilu 2009,
sejumlah aktifis progressif dari mahasiswa, buruh, tani, dan miskin
kota akan ambil bagian dalam ajang demokrasi borjuis ini. Salah satu
dari mereka adalah Benediktus Adu, seorang aktifis miskin kota yang
menjadi kandidat DPD mewakili daerah pemilihan Jakarta. Pak Benny
(sapaan akrabnya) hanya bermodalkan semangat, militansi, serta komitmen
berjuang bersama rakyat miskin, berhadapan dengan kandidat-kandidat
lain yang jelas-jelas punya dukungan dana, logistik, dan posisi jabatan
yang strategis.


Pak Benny dan Perjuangan Politik

Pada
tahun 1998, sebuah perlawanan mahasiswa dan rakyat di perkotaan
berhasil melahirkan reformasi. Pada saat itu, sebuah rejim politik
totaliter berhasil dirobohkan. Meskipun dilakukan dengan berdarah-darah
oleh aktifis mahasiswa, tetapi proses politik ini justru dinikmati dan
dimanfaatkan oleh beberapa lapisan elit dan juga beberapa spektrum
politik. Berkuasanya elit baru ini tidak merubah kerangka politik,
justru sebaliknya, mereka membalikkan tujuan reformasi dengan merangkul
neoliberal.

Sejak neoliberal begitu massif dipraktekkan, miskin
kota (urban poor) merupakan salah satu sektor sosial yang paling
menderita, selain pekerja dan petani. setelah paket privatisasi dan
liberalisasi yang menyingkirkan begitu banyak pekerja dari lapangan
pekerjaannya, sektor miskin kota juga berhadapan dengan pencabutan
subsidi sosial, penggusuran paksa, dan berbagai bentuk kekerasan
ekonomi lainnya. 

Meningkatnya serangan neoliberal terhadap
rakyat miskin, khususnya di perkotaan, telah melahirkan berbagai
komite-komite perlawanan dan serikat-serikat bagi rakyat miskin. Pak
benny adalah salah seorang yang terlahir dari eskalasi perlawanan
rakyat miskin ini. Tepatnya pada saat pemerintahan SBY menaikkan harga
BBM, kemudian karena muncul perlawanan kuat, maka SBY menyodorkan
Bantuan Sosial berupa BLT, Raskin, dan sebagainya. Ia pada awalnya
bergabung karena tuntutan ekonomis, tetapi pada akhirnya pak Benny
semakin akrab dengan aktifis mengorganisir setelah menjadi pengurus. Ia
makin sering mengikuti diskusi, kursus politik, dan
pendidikan-pendidikan politik. Dari pemahaman teoritik dan pengalaman
langsung di lapangan, menyebabkan pak benny semakin sadar bahwa factor
kemiskinan disebabkan oleh sebuah system yang disebut kapitalisme.

Akhirnya,
pak Benny bukan saja mengikuti aksi-aksi miskin kota, ia pun mulai
terlibat dalam perlawanan rakyat yang lain, seperti perlawanan buruh,
mahasiswa, dan petani. kesadaran politiknya kian ter-asah, hingga
akhirnya ia menjadi salah seorang pengurus partai politik progressif,
yaitu Papernas. Lewat partainya, pak Benny aktif mengorganisir rakyat
miskin untuk aktif berpolitik. Baginya, seperti yang disampaikan kepada
tempo hari; “berpolitik adalah harga mati bagi rakyat miskin, tanpa
perjuangan politik mustahil ada perbaikan bagi nasib rakyat miskin”.

Masuk dalam kontestasi Politik Borjuis

Pada
suatu pagi, takkala harus mempersiapkan diri ke kantor KPU, pak Benny
kelimpungan mencari-cari celana kain warna hitam yang pas buat dirinya,
karena ada hukum tidak tertulis yang menyatakan “memasuki kantor
borjuis harus menggunakan pakaian rapi dan formal”. Karena tak ada
celana pas, maka celana kawannya yang berukuran besar pun dipermak
sesuai ukurannya. Namun malang bagi pak Benny, ketika celana itu dicoba
tiba-tiba robek. Tapi itu tidak memupuskan harapannya, ia tetap melaju
ke kantor KPU.

Tidak seperti caleg DPD pada umumnya, pak Benny
masuk kedalam arena politik karena memang niat tulus hendak
memperjuangkan kaumnya; rakyat miskin. Tak heran, jika pendukung utama
di belakang pak Benny adalah rakyat miskin. Ketika mendatangi basis
rakyat miskin, ia tidak menggunakan mobil pribadi dan bagi-bagi
sembako, melainkan dengan sepeda motor dan membawa selebaran dan
manifesto perjuangan pemilu SRMI. Bahkan di tengah kesibukannya
mempersiapkan kampanye pemilihan, ia juga masih tetap sibuk mendampingi
rakyat miskin yang butuh pengobatan gratis di rumah sakit-rumah sakit
di Jakarta. 

Ketika kutanyakan mengenai metodenya perjuangannya
ketika terpilih. Ia kontan menjawab; “di parlemen boleh jadi saya nanti
minoritas, tetapi kekuatan massa yang besar menopang saya dari luar
gedung parlemen, tentu saya merasa kuat”. Aku langsung teringat dengan
strategi politik Demokratic Labour Party (DLP) Korsel, sebuah partai
kiri progressif di negeri itu yang menerapkan garis “minoritas yang
besar” (The Great Minority Line). Dengan garis ini, DLP mencoba
mengkombinasikan antara politik parlementer (minoritas) dengan
mobilisasi dari gerakan sosial (mayoritas). Benar-benar hebat pak Benny
ini, pikirku!
Di Jakarta, begitu banyak poster, baliho, hingga
umbul-umbul kandidat yang mengotori kota, bahkan menempel di fasilitas
umum. isi dan pesan yang dimunculkan dari alat peraga tersebut relatif
hampir sama; kampanye kosong (blank campaign). Bahkan, ada begitu
banyak poster, baliho, hingga umbul-umbul yang menuliskan “mohon do’a
restu”. Tetapi metode pak Benny benar-benar berbeda. Ia tidak mohon
do’a restu, tetapi mengajak rakyat berpolitik bersama-sama. Pak Benny
justru menghidupkan “vergadering” di kampong-kampung, sebuah metode
perjuangan pada jaman pergerakan pada tahun 1920-an. Lewat vergedering,
Pak Benny dan kawan-kawan separtai menyampaikan orasi politik; mengecam
system neoliberalisme, mengungkapkan kebusukan pemerintahan SBY dan
partai pendukungnya, serta menjelaskan program-program jalan keluar
secara gamblang.
Sadar dengan Hambatan

System
demokrasi liberal bukan system politik yang berdiri bebas dan netral.
Demokrasi liberal, meminjam pengertian Andrés Pérez Baltodano,
merupakan sebuah kerangka atau mekanisme yang memastikan kekuasaan
negara berjalan untuk menfasilitasi kepentingan segelintir elit
(korporasi dan oligarki) dan menjaga agar standar, prinsip dan
nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal.
System ini memang didesain untuk melestarikan pemerintahan kanan pro-
neoliberal, dan guna mencegah kelompok-kelompok kiri maupun nasionalis
progressif mengambil bagian.

Karena penuh hambatan, maka seperti
dikatakan Enriquo Rubio, tantangan terbesar yang kita hadapi adalah
menemukan cara untuk 'memaksimalkan keuntungan bagi kekuatan
revolusioner dan meminimalkan hambatan/keterbatasan. System politik
borjuis ini, jika tidak diantisipasi, bisa menjadi jalur bagi pengejar
“karirisme”, “oportunisme”, dan terkooptasi hingga sama persis dengan
politisi dari partai-partai sayap kanan. 

Pak benny benar-benar
menyadari hal ini. Sehingga, dalam menghadapi hambatan-hambatan ini,
pertama, ia akan menekankan bentuk kampanye yang mendidik kesadaran
politik rakyat, terutama mengenai isu-isu anti neoliberalisme. Pak
Benny menghindarkan bentuk kampanye seperti pemasaran, tetapi lebih
mendorong bentuk kampanye yang massal dan politis melalui rapat-rapat
akbar terbuka, selebaran politik, hingga pada aksi massa. Ia juga
mengenalkan metode gerakan dalam mendekati, mengajak, dan memobilisasi
massa pada masa kampanye ini, sesuatu yang tak dilakukan oleh
partai-partai lain.
Kedua, menampilkan bentuk perilaku dan tindakan
berpolitik yang berbeda dengan partai-partai lain. Pak Benny akan
terus-menerus menjelaskan keterbatasan-keterbatasan dari demokrasi
keterwakilan dalam menuntaskan seluruh persoalan rakyat. Ia mengajarkan
“tradisi kritisisme dan kerakyatan” dalam kerja-kerja legislator,
seperti mendorong partisipasi rakyat dalam penyusunan kebijakan
legislatif, memprioritaskan penggunaan anggaran untuk rakyat, hingga
bentuk-bentuk control lansung terhadap mandat rakyat.

Ketiga,
untuk mengubah parlemen menjadi “pengeras suara” bagi persoalan
ketertindasan, kesewenang-wenangan, dan kebijakan penguasa yang
menyengsarakan rakyat, maka kalangan progressif harus memanfaatkan
keberadaan media massa. Masalahnya, control elit berduit terhadap media
seringkali menjadi hambatan media memberikan liputan pada aksi-aksi
perwakilan rakyat miskin di parlemen. Untuk ini, perwakilan rakyat
miskin harus kreatif menciptakan peristiwa-peristiwa politik yang tidak
mungkin diacuhkan media massa, seperti menggelar aksi unik di dalam
rapat-rapat dan pengambilan suara. “kalau perlu, kita akan melempar
sepatu ke pimpinan sidang seperti yang dilakukan wartawan Irak itu
terhadap Bush”; ungkap pak Benny bercanda.

Keempat, independensi
dalam pendanaan. Menurut pak Benny, tanpa dukungan logistik memadai
maka sulit memainkan peran leluasa dalam kampanye pemilihan. Tetapi,
menurutnya, masalah logistic masih bisa diatasi dengan militansi,
kreatifitas, dan metode-metode murah dan massal. Bagi pak benny, yang
terpenting dari masalah pendanaan kampanye adalah independen, karena
banyak kandidat terpilih karena donasi para pemodal atau elit kaya
harus membayar pamrih. Mereka yang di danai korporasi, elit kaya,
ataupun kelompok-kelompok bisnis tertentu tidak akan mempunyai
kebebasan menjalankan politiknya, apalagi berpihak kepada rakyat miskin.

Dana
harus di gali sendiri, dan tentu saja dengan jalur-jalur yang sah dan
legal. Pak Benny sendiri sudah menghimpun diri dalam “gerakan menabung
seribu rupiah untuk melawan politik uang”. Dengan gerakan ini, para
caleg menghimpun dana secara sukarela dari rakyat, dan yang terpenting
adalah menciptakan kesadaran politik bagi rakyat bahwa mereka harus
berkorban guna mewujudkan politik kerakyatan. 

Pesan Pak Benny Kepada Seluruh Rakyat Miskin Indonesia

Pemilu
2009 tinggal menghitung hari. Pada saatnya nanti, perjalanan nasib
bangsa Indonesia kedepan ditentukan oleh pilihan rakyat pada saat
pemilihan nanti; apakah tetap memilih partai dan calon yang sudah
terbukti gagal, ataukah memilih calon aktifis yang sudah terbukti
berjuang bersama dengan rakyat. Pak Benny menganjurkan agar rakyat
miskin tidak golput, tetapi harus aktif menggalang dukungan kepada
caleg-caleg aktifis kerakyatan. Menurutnya, tindakan golput kurang
relevan pada situasi sekarang karena problemnya bukan teknis demokrasi,
melainkan bagaimana cara menghimpun kekuatan untuk mengalahkan
pendukung neoliberal dalam pemilihan. “ini ada dua kekuatan yang sedang
mau berhadapan (baca: pro-imperialisme dan anti imperialism), jadi
tidak bisa kita netral”; tegas Pak Benny.

Bagi pak Benny,
pertempuran dalam arena elektoral punya makna penting dalam mengangkat
partisipasi politik rakyat. Sama pentingnya dengan segala bentuk
perjuangan untuk menaikkan rakyat miskin pada kekuasaan. Karena tanpa
kekuasaan rakyat miskin, maka tak ada demokrasi dan keadilan sosial.

Rudi Hartono, Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin Redaksi Berdikari Online.



    
 Baca Selengkapnya!
Kunjungi Website kami di http://www.arahkiri2009.blogspot.com



      

Reply via email to