http://202.169.46.231/spnews/News/2009/02/05/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Menimbang Untung Rugi Pemekaran Wilayah
Oleh Tony Wardoyo dan M Aminuddin 

 

Isu pemekaran membawa korban. Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat 
meninggal, diduga dikeroyok demonstran yang menuntut pembentukan Provinsi 
Tapanuli. Ini untuk ke sekian kalinya muncul gelombang massa mengangkat isu 
pemekaran, yang sebelumnya muncul di beberapa daerah, seperti, Papua, Riau, dan 
Lampung. 

Melihat meningginya intensitas gesekan politik yang muncul dari masalah 
pemekaran wilayah, ada baiknya persoalan ini dikaji lebih serius, menyangkut 
manfaat dan kerugian apabila keran pemekaran wilayah terus dibuka lebar, 
seperti beberapa waktu yang lalu. Meluasnya tuntutan masyarakat untuk melakukan 
pemekaran melalui pemerintahan daerah sendiri dipicu euforia politik termasuk 
otonomi daerah setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan 
Daerah lahir. Spirit UU itu kemudian dilanjutkan melalui Pasal 4 ayat (3) 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Disebutkan bahwa "Pembentukan daerah dapat 
berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau 
pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih". Selanjutnya dalam 
Pasal 4 ayat (4), disebutkan "Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah 
atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai 
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan." 

Akibat terbukanya keran pemekaran, tuntutan pemekaran terus mengalir. Menurut 
catatan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), sejak 1999 hingga 2004 telah 
terbentuk 148 daerah pemekaran baru dengan rincian 8 provinsi, 114 kabupaten, 
dan 27 kota. Kemudian pada 2005 terdapat 33 provinsi dan sekitar 444 daerah 
setingkat kota atau kabupaten (Depdagri, 2005). 

Dulu anak-anak SD hafal jumlah provinsi di Indonesia 27 dengan sekitar 330 
kabupaten/kota. Sekarang, seusai lepasnya Timor Timur, jumlah provinsi 
membengkak menjadi 33 dan jumlah kabupaten/kota sudah tembus angka 500-an. 
Apakah anak sekolah masih dengan mudah menghafal nama-nama provinsi dan 
kabupaten/kotamadya di Indonesia? 


Biaya Tinggi 

Melihat menggelembungnya daerah pemekaran di Indonesia mudah ditebak, 
menimbulkan high cost atau biaya tinggi dan pemborosan, karena semakin besarnya 
biaya yang harus dikeluarkan membiayai perputaran roda birokrasi. Tetapi, 
sebegitu jauh tetap saja keinginan pemekaran daerah masih tinggi. Dari 
surat-surat resmi yang mengajukan pemekaran ke DPR dan DPD alasan normatif yang 
diajukan adalah: pertama, aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan 
pemerintahan daerah lebih mudah tersalur. Dengan adanya pemekaran wilayah, maka 
cakupan pemerintahan baru menjadi lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga 
pelayanan semakin dekat, yang pada gilirannya aspirasi masyarakat dalam 
penyelenggaraan pemerintahan daerah akan lebih mudah tersalurkan. Kedua, 
pemerataan belanja pemerintah daerah. Pemekaran wilayah akan menjadikan suatu 
pemerintahan daerah menjadi terbagi dua, sehingga beberapa daerah akan terbagi 
ke dalam dua pemerintahan. Alokasi anggaran pemerintahan pun tentunya akan 
terbagi ke dalam dua pemerintahan tersebut. Maka diharapkan pemerataan belanja 
pemerintah daerah dapat lebih baik, sehingga masyarakat yang dinaungi oleh 
pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah hasil pemekaran menjadi lebih 
sejahtera, karena alokasi anggaran telah merata. Ketiga, peningkatan 
pengelolaan pelayanan pemerintahan dan pembangunan daerah. Salah satu tujuan 
utama dari pemekaran wilayah adalah mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, 
sehingga diharapkan pengelolaan pemerintahan dapat berjalan lebih efektif dan 
efisien, pelayanan kepada masyarakat lebih baik dan pembangunan daerah dapat 
berjalan lancar. 

Keempat, belanja rutin dan pembangunan makin merata. Pemekaran wilayah akan 
berdampak langsung pada pemisahan pemerintahan daerah induk dan pemerintahan 
daerah hasil pemekaran. Dengan kondisi ini, diharapkan terjadi pemerataan 
antara belanja rutin dan pembangunan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan 
daerah, sehingga pada gilirannya distribusi anggaran lebih adil antara satu 
daerah dengan daerah lain. 

Tetapi, benarkah alasan normatif itu merupakan motif pokok menguatnya tuntutan 
pemekaran di beberapa daerah? Ternyata, jawaban mayoritas adalah tidak. Dalam 
kenyataan di lapangan mayoritas penggerak pemekaran memiliki agenda personal. 
Pemekaran pemerintah daerah baru bila berhasil akan menghasilkan sumber-sumber 
kekuasaan dan ekonomi baru di daerah yang akan dinikmati segelintir elite baru 
yang berpeluang menduduki jabatan kepala daerah, DPRD, dan DPD yang mewakili 
daerah setempat. Ini belum lagi jabatan-jabatan baru di birokrasi yang 
dibentuk. 

Dampak dari "agenda sempit" di balik aspirasi pemekaran daerah seperti itu 
adalah pemekaran tidak menggambaran kebutuhan nyata untuk peningkatan pelayanan 
dan kesejahteraan daerah. Hasil evaluasi yang masuk dari 150 kabupaten dan kota 
otonom baru, menunjukkan, hanya 30 persen yang mampu mandiri. Sementara hasil 
evaluasi versi Depdagri melalui Ditjen Otda, menunjukkan, dari 98 wilayah baru 
ditengarai 76 daerah cenderung menurun (Berita DPR, 2006). 

Beberapa faktor yang mempengaruhi tampaknya adalah beberapa daerah tidak 
memiliki cukup sumber daya dan kemampuan untuk memikul beban otonomi. Daerah 
itu tidak memiliki pendapatan asli daerah yang signifikan untuk menghidupi 
daerah itu, sehingga akhirnya sebagian daerah baru layu justru setelah 
dimekarkan. 

Tampaknya, hasil evaluasi itu mendorong pemerintah SBY-JK berusaha mengerem 
tingginya tuntutan pemekaran daerah. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
menjadi pemimpin nasional setelah Pemilu 2004 tercatat hanya 17 kabupaten/kota 
baru yang lahir. Langkah sistematis selanjutnya, Presiden SBY mengeluarkan 
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Ternyata PP ini sangat ketat dan 
tidak selonggar Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, yang memang agak 
leluasa bagi pemekaran daerah. Beberapa perbedaan yang mencolok dengan PP yang 
baru, misalnya, pada peraturan yang lama, daerah yang baru dimekarkan bisa 
langsung dimekarkan lagi. Peraturan yang baru menetapkan provinsi yang akan 
dimekarkan harus sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kota dan kabupaten 
harus sudah berusia minimal 7 tahun. Pembatasan juga dilakukan dengan 
meningkatkan syarat jumlah cakupan wilayah daerah yang dimekarkan. Tetapi, 
sayang PP baru ini belum mengakomodasi peluang pemekaran dengan alasan urgensi, 
seperti faktor geografis dan strategi untuk mempertahankan NKRI. 



Lebih Antisipatif 

Terlepas dari kelemahan, PP baru ini lebih antisipatif terhadap kelemahan pada 
masa lalu dan memberikan landasan hukum untuk melikuidasi penggabungan daerah 
yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Telah dimekarkan, 
tetapi kenyataannya "pakaian baru" itu terlalu besar untuk "badannya". Atau 
badannya memang terlalu kecil, tetapi mau dibesar-besarkan dengan memberikan 
bungkus pakaian baru. Hasilnya sama, pemekaran justru membuat daerah itu 
bangkrut dan menimbulkan ekses sosial-ekonomi di wilayah itu. 

Ada baiknya Indonesia belajar dari Jepang yang secara ekonomis lebih maju dan 
manajemen pemerintahannya lebih efektif dan rapi. Di Jepang, penggabungan 
wilayah justru sering terjadi, yang disebut dengan istilah shichouson gappei. 
Suara Pembaruan edisi 9/5/2002/ pernah menurunkan in depth news perkembangan 
penggabungan beberapa daerah di Jepang secara menarik. Di negeri "matahari 
terbit" itu justru tidak ada langkah pemekaran yang mengakibatkan bertambahnya 
provinsi atau daerah tingkat II. Hampir tidak ada istilah pemekaran yang 
menjadikan lebih banyak daerah tingkat II di sana. Sejak periode Meiji, Showa, 
sampai Heisei, saat ini, daerah tingkat senantiasa menurun. Misalnya dikutip 
dari Gyosei Kanri Kenkyuu Sentaa (Pusat Riset Manajemen Administrasi, 1996), 
pada 1883 di Jepang terdapat 71.497 daerah setingkat shi-chou-son (SCS) dan 
turun drastis pada akhir periode Meiji (1898) menjadi hanya 14.289 wilayah. 
Pada 1950 di mana dikenal sebagai periode awal pembangunan Jepang, wilayah SCS 
menjadi 10.443 buah, dan 1955 menjadi hampir setengahnya saja, yakni 5.206. 
Periode akhir economic booming (1995) wilayah SCS tercatat menjadi 3.234, dan 
berkurang hampir setengahnya dalam era desentralisasi saat ini (mulai tahun 
2000), menjadi 1.966, terdiri dari 767 kota, 978 kabupaten dan 221 desa (per 1 
Maret 2006). 

Pada tahun ini diprediksi daerah tingkat II akan menjadi sekitar 1.820. 
Sedangkan untuk tingkat provinsi, Jepang mempunyai 47 prefektur (provinsi) yang 
tidak mengalami perubahan sejak periode Meiji (1898). 

Jika diamati, ada dua kredo dari penggabungan wilayah di sana, yakni 
konsistensi sebagai visi tradisional untuk menciptakan peran strategi wilayah 
dalam pembangunan ekonomi dan efisiensi sebagai misi untuk tetap kontinu dalam 
menyejahterakan warganya. Bangsa Indonesia bisa mengambil manfaat dari 
pengalaman di Jepang. Terutama yang menyangkut aspek konsistensi, efisiensi, 
dan efektivitas dalam mengelola daerah. 

Jadi, poin penting, ada baiknya semua dampak pemekaran yang "overdosis" 
dievaluasi lebih menyeluruh, sehingga revisi UU Pemerintahan Daerah ke depan 
bisa menghasilkan formula terbaik bagi masyarakat Indonesia. 


Penulis adalah anggota DPR, Executive Director of Institute for Strategic and 
Development Studies, ISDS 


Last modified: 5/2/09 

Reply via email to