http://cetak.kompas.com:80/read/xml/2009/02/27/00352177/mitos.neososialisme

Jumat, 27 Februari 2009 | 00:35 WIB 

Mitos Neososialisme
Mario Rustan



Dua pekan lalu halaman Opini ini memuat tiga artikel mengenai neososialisme. 
Ada tiga sebab mengapa neososialisme, paling tidak menurut interpretasi para 
penulis itu, cukup populer di Kompas.

Penyebab pertama adalah populernya ideologi kiri populis dalam politik Amerika 
Latin (kawasan yang menarik bagi kaum kiri Katolik di Indonesia), terutama 
pemerintahan Venezuela, Brasil, dan Bolivia. Alasan kedua adalah kaitan 
historis antara sosialisme dan pemikiran Katolik di Indonesia. Alasan ketiga, 
dan ini cukup mengkhawatirkan, adalah logika "musuh dari musuhku adalah 
kawanku".

Ketidaksukaan sebagian intelektual kiri Indonesia kepada Barat dan kaum 
menengah ke atas Indonesia berakibat pada kekaguman mereka kepada rezim 
otoriter di Rusia, China, Iran, dan Amerika Latin. Jelas hanya Venezuela dan 
Bolivia yang bisa disebut sebagai negara penganut neososialisme.

Keadaan sebenarnya

Namun, istilah itu sendiri salah. Baik Venezuela maupun Bolivia secara resmi 
menyebut ideologi mereka: Bolivarianisme. Istilah itu mengacu pada pejuang 
kemerdekaan Amerika Selatan Simon Bolivar, yang praktis berarti "kontrol kuat 
negara yang dianggap mewakili kaum pribumi". Baik Hugo Chavez maupun Evo 
Morales gemar menebar cerita bahwa masyarakat mereka dikepung kekuatan jahat 
pimpinan Amerika dan pemodal kulit putih yang tak rela kekuasaannya diambil 
alih. Di permukaan, kebijakan mereka sangat menguntungkan kaum miskin dan 
mereka dekat dengan rakyat.

Keadaan sebenarnya di sana-paling tidak di Venezuela- berbeda. Hugo Chavez 
adalah seorang diktator yang ingin menjadi presiden seumur hidup. Pasukan 
pendukungnya dan militer gemar mengintimidasi dan menyerang media yang dianggap 
melawan. Banyak program pembangunan berupa janji belaka. Kemiskinan dan 
pengangguran merajalela di Venezuela. Chavez hanya bisa menyalahkan Amerika dan 
menghabiskan anggaran belanja militer.

Istilah neososialisme muncul di Perancis dan Belgia saat Depresi Besar mulai. 
Pendukung demokrasi sejati tak akan setuju dengan neososialisme ala Marcel 
Deat, yang mendukung kediktatoran. Marcel Deat dan kawan-kawan diusir dari 
forum Internasional Kedua Kaum Komunis karena dukungan mereka pada fasisme. 
Dukungan neososialisme pada fasisisme dibuktikan saat Perancis diduduki selama 
Perang Dunia II. Hasilnya, setelah 1945 paham ini dianggap jahat, bahkan oleh 
sosialis Perancis.

Jalan ketiga

Bagaimana dengan neososialisme yang lain, atau Jalan Ketiga, yang sudah 
diusulkan pastor-pastor di Indonesia sejak 1980-an? Newsweek bulan ini 
mengumumkan "Kita semua sekarang adalah sosialis" dalam menanggapi resesi 
dunia. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi dan perdagangan kembali berjalan 
di Amerika dan Australia, negara yang beberapa tahun lalu sering disebut 
sebagai pentolan neoliberalisme. Jalan Ketiga, yang dulu dijalankan oleh Bill 
Clinton dan Tony Blair, menghendaki kerja sama, bukan pengunduran diri dan 
permusuhan.

Daripada jauh-jauh menengok ke belahan dunia lain, tengoklah kawasan kita, 
Asia. Apabila kita selalu bertanya mengapa Vietnam sudah mendekati pencapaian 
Indonesia, mengapa Thailand dan Malaysia tetap dikenal walau politiknya sedang 
kacau, dan orang Indonesia senang ke Singapura, jawabannya jelas. Mereka 
mementingkan Asia lebih dulu, Pasifik berikutnya, kawasan-kawasan lain setelah 
itu.

Apa pun bentuk pemerintahan dan ideologi mereka, yang penting ekonomi harus 
selalu berjalan dan informasi tentang tetangga harus selalu aktual. Setelah 
melihat hasilnya, apakah kita tidak merasa ketinggalan zaman bila masih 
memikirkan "neososialisme" gaya Venezuela, apalagi ada pilihan Jalan Ketiga?

MARIO RUSTAN Sarjana Ilmu Politik

Kirim email ke