--- In forum_lingkarp...@yahoogroups.com, "ahmad ade" <ahmad...@...>
wrote:


Kerendahan Hati dan Kepekaan Sosial



KH Rahmat Abdullah

Ketua MPP PK



Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang

Berkilau di pandang orang

Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi

Janganlah seperti asap

Yang mengangkat diri tinggi di langit

Padahal dirinya rendah-hina



Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya,
Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka
lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa
datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka
begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji
memperjuangkan nasib mereka ?



Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan
para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak
terragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan
tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur
oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan.
Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap
di gerbong atau lok keadilan.



Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang
silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan
penyesalan ? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas,
tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.



Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau
aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan
sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya
lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya
sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan
sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat
domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin
yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), "Bila Anda perlu
mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu
dan kami akan antar ke rumah rawat". Mereka tak punya cukup
keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba
mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader
juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan
kita mau `melempar' mesin cuci butut atau kompor bekas yang
sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku
saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga
lainnya.



Kader Pra Pemilu



Banyak kader tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli
bangunan dan pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa
dengan lahap menenggak su-guhan teh panas di gelas mereka yang sederhana
atau melahap sepotong dua tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu
bakar atau kompor minyak yang selalu me-nyimpan ancaman terselubung
untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih punya frekuensi dan gelombang
setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang membedakan mereka
mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis dan tidak
punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader
punya `sistem' untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran
yang banyak dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan
mereka memilih dalam pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !



Apa yang diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota
parlemen ? No way ! Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi
? Tak mimpi, lah. Begitu tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan
keadilan bisa tegak di tangan para kader yang akrab dan beradab, bersih
dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat kebenaran serta lantang
mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan gugatan-gugatan. Mereka
punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa yang jujur, asal
dekat, terjangkau dan meyakinkan.



Terlalu rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da'wah,
kecuali para kader telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi.
Otak mereka terlalu sarat beban hidup, sehingga pilihan yang mudah
diingat ialah wajah yang sering datang pergi, lancung atau pendustakah
mereka.



Disini demokrasi menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih
kekuasaan dengan cara-cara licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan
untuk pada saatnya di-tukar dengan suara murah di bilik pemilu. Partai
mitos sengaja merawat kebodohan dan memupuknya dengan berbagai mimpi
kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar rakyat tetap mendukung dan tak
menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.



Rakyat Pasca Pemilu



Kecuali dari kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar
judi, bandar bakso atau pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi
itu dari partainya dengan tarif ratusan juta rupiah – selebihnya
rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus bergulir. Naik turun dalam
kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur atau menjadi
gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu
diatasnamakan.



Terkadang muncul penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena
kondisi rumah yang tak kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk
menebus anak yang di tangkap polisi atau memasukkan anak-anak ke panti
rehabilitasi mangsa narkoba.

Yang hanif tetap dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud.
Hal yang tak berubah dari mereka; dukungan.



Mereka sangat sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa
terhadap partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja
komentar bisa sangat getir:

- "Ah, lehernya sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi"

- "Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong
kami"

- "Mereka orang-orang steril, alergi ketemu rakyat"

- "Ah, kita kan cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung
kami, ya sudah, tinggal senang-senang saja"

- "Dulu, waktu masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering
datang, sekarang 3 lebaran lewat, la salam wala kalam"

- "Dulu sih, kita masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan
partai lain. Kadernya sombong-sombong"

- "Apa yang berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang
kita dengar ramai, itu klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya
makin gemerlap. Mainan anaknya makin norak. Sudah itu mobil dinas
dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar bin Abdul Aziz mematikan
lampu karena tamunya tamu pribadi"





Kedekatan adalah Bahasa Paling Fasih



Tidak benar rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin.
Ya, roman-tisme siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan
kesederhanaan, terlebih bila itu keluar dari diri dan keluarga kader,
pemimpin dan da'i.



Tidak perlu buang energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam
suara-suara begini. Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan
kesederhanaan, lalu berbagai prasangka segera menguap.



Bukan pergelaran dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau
pura-pura peduli. Mereka siap dibohongi asal nampak logis.



Tetapi itu mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong.
Banyak orang panik menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti,
sebagiannya harapan dan selebihnya `kenaifan' analogi sejarah.



Bagaimana mungkin pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam
untuk mengintai ibu-ibu yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?



Kini di siang hari mereka telah menggodog kucing, untuk
`menenangkan' mereka. Kadang naluri `birokrat' bekerja
dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik, padahal jawabnya
tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader. []



[pks.or.id]



[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke