Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm

Catatan A. Umar Said


                Buku Letjen (Pur) Sintong Panjaitan

                yang membikin heboh



Diterbitkannya buku “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” tentang
berbagai pengalaman Letjen (Pur) Sintong Panjaitan,yang diluncurkan 11 Maret
2009, merupakan peristiwa yang menarik sekali dalam sejarah kemiliteran di
Indonesia pada khususnya dan  sejarah bangsa pada umumnya.

(Letjen Sintong Panjaitan adalah mantan Panglima Kodam Udayana, yang sesudah
dicopot oleh presiden Suharto sekitar tahun 1991 kemudian menjadi penasehat
militer di staf khusus Presiden Habibi).   Buku setebal 520 halaman yang
ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto bukan merupakan biografi Sintong
Panjaitan, dan juga bukan otobiografi. Melainkan serangkaian pengungkapan
berbagai masalah yang terjadi di kalangan TNI, khususnya Angkatan Darat,
yang berkaitan dengan  sejumlah peristiwa politik penting di negeri kita.



Dari berbagai reaksi publik (lewat pers atau Internet) setelah terbitnya
buku ini maka nampak dengan jelas bahwa munculnya buku ini di masyarakat
merupakan peristiwa yang “shocking” (mengejutkan), yang buntutnya bisa
panjang dan mempunyai dampak yang tidak kecil  di kalangan militer pada
khususnya.



Sebab, buku ini bukan saja telah membeberkan sebagian dari kekeliruan atau
pelanggaran berat yang telah dilakukan kalangan militer di masa Orde Baru,
tetapi juga sebagian dari tindakan-tindakan atau posisi mantan Komandan
Jenderal Kopassus Letjen (Pur) Prabowo Subianto, antara lain  sekitar
keterlibatan Tim Mawar yang telah melakukan penculikan dan penghilangan
(dalam tahun 1997-98) terhadap sejumlah aktivis-aktis PRD, kasus penembakan
besar-besaran terhadap demonstran-demonstran di makam Santa Cruz (Dili,
Timor Timur), tragedi  Mei 1998 di Jakarta yang mengakibatkan banyak korban
di kalangan Tionghoa.



Apa yang dikemukakan oleh Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam buku ini
mengenai berbagai kasus Prabowo menjadi makin menarik, dihubungkan dengan
pencalonan diri Prabowo sebagai presiden RI dalam pemilihan yang akan
datang.  Apa sajakah dampak terbitnya buku ini  terhadap diri Prabowo,
marilah sama-sama kita ikuti perkembangan selanjutnya.



Selama 32 tahun hanya sedikit dibongkar kesalahan ABRI


Buku yang berisi pandangan-pandangan kritis Sintong Panjaitan tentang
berbagai masalah Angkatan Darat, menunjukkan adanya perkembangan yang
menarik di kalangan pensiunan petinggi militer. Sebab, kita semua ingat
bahwa selama ini tidak banyak, atau belum banyak,  tokoh-tokoh di kalangan
militer sendiri (baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif) yang
berani atau bisa menyuarakan  --secara tegas dan terang-terangan -- hal-hal
yang kritis tentang kesalahan, pelanggaran, atau peyalahgunaan kekuasaan
oleh kalangan petinggi militer rejim Orde Baru  (dan sesudahnya).



Padahal, seperti yang dialami sendiri oleh banyak orang, selama 32 tahun
rejim Orde Baru telah terjadi banyak sekali kejahatan besar atau pelanggaran
serius di bidang politik, ekonomi, sosial, Ham, termasuk korupsi yang
merajalela di kalangan militer, yang kebanyakan dilakukan di bawah naungan
Dwifungsi ABRI. Namun,  selama 32 tahun itu (dan ini jangka waktu yang lama
sekali, sekitar separoh dari umur Republik kita !), hanya sedikit sekali di
antaranya yang dapat dibongkar atau diselesaikan secara hukum dan keadilan.
Rejim militer telah berusaha  -- dengan segala daya dan cara  -- untuk
menutupi, atau menyembunyikan, atau melindungi segala kebobrokan di kalangan
militer. Dan ini berlangsung sampai Suharto dipaksa turun dari jabatannya.



Mengingat besarnya dosa-dosa para petinggi militer dan luasnya
kejahatan-kejahatan atau pelanggaran serius yang dilakukan selama puluhan
tahun itu,maka apa yang diungkapkan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam
buku ““Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” adalah sumbangan yang
sangat penting dan berharga sekali dalam menegakkan kebenaran mengenai
sejumlah peristiwa-peristiwa dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Setidak-tidaknya, ungkapan-ungkapannya itu bisa merupakan pelengkap untuk
menilai berbagai persoalannya dari sudut pandang yang berbeda-beda.



Militer dibikin Suharto menjadi musuh rakyat



Bagi kita semua adalah amat penting dan sangat perlu untuk bisa melihat
persoalan militer Indonesia dengan kacamata yang jernih dan pandangan yang
luas dalam rangka sejarah bangsa dan demi kepentingan anak cucu kita. Sebab,
adalah hal yang patut diprihatinkan atau disedihkan oleh kita semua bahwa
militer Indonesia pernah dijadikan oleh Suharto beserta para jenderalnya
musuh bagi rakyat Indonesia selama 32 tahun. Dengan pengkhianatan
besar-besaran dan terang-terangan terhadap Bung Karno, tokoh besar
anti-imperialis yang jarang tandingannya di dunia,  Suharto beserta para
jenderalnya telah memisahkan kalangan militer dari ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno, bahkan memusuhinya. Dan adalah jelas sekali bahwa
memusuhi ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah pada hakekatnya
memusuhi dan mengkhianati kepentingan rakyat banyak.



Dalam sejarah bangsa kita, generasi kita yang sekarang dan juga yang akan
datang, perlu mencatat bahwa militer Indonesia di bawah Suharto sama sekali
bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan, atau dihormati, atau dihargai, atau
disayangi oleh sebagian terbesar rakyat kita. Seperti yang sudah disaksikan
oleh banyak orang selama puluhan tahun, militer di bawah Suharto bukanlah
pengayom rakyat, bukan pembela kepentingan rakyat, bukan pelindung rakyat.
Perlu sekali ditulis dalam sejarah bangsa Indonesia, untuk bisa dilihat oleh
anak-cucu kita di kemudian hari, bahwa diktatur militer Suharto adalah aib
terbesar bangsa kita dan dosa terberat  yang tidak boleh terulang lagi untuk
kedua kalinya.



Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah dan Saurip Kadi



Dari sudut pandang inilah nampak pentingnya peluncuran buku yang berisi
sebagian pandangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan tentang berbagai persoalan
Angkatan Darat termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan segi-segi
“gelap” kasus Prabowo, yang pernah menjadi komandan pasukan Kopassus dan
panglima KOSTRAD. Berbagai ungkapannya tentang Prabowo ini merupakan bahan
tambahan yang berguna bagi kita semua untuk melihat sosoknya sebagai capres
dan tingkah lakunya dari macam-macam segi.



Sumbangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan juga menambah deretan  pengkritik
kesalahan-kesalahan pimpinan militer di bawah Suharto, yang pernah
diajukan – dalam kadar yang berbeda-beda dan latar-belakang yang
berlain-lainan pula – oleh antara lain alm Letjen Agus Wirahadikusumah
(mantan Panglima KOSTRAD) dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi  (asisten teritorial
KSAD).



Letjen Agus Wirahadikusumah dipandang oleh banyak kalangan sebagai reformis
di bidang militer, berfikiran kritis tentang kesalahan dan kekurangan ABRI,
dan menyuarakan soal-soal yang dianggap taboo oleh kebanyakan
jenderal-jenderal lainnya. Bersama-sama dengan petinggi militer lainnya,
antara lain Mayjen Saurip Kadi, dalam tahun 2000 ia telah membikin heboh di
kalangan tingkat tinggi militer dengan adanya pertemuan-pertemuan di
rumahnya yang melahirkan “Dokumen Bulak Rantai”.  Kegiatan Letjen Agus
Wirahadikusumah dan Mayjen Saurip Kadi untuk mengadakan reformasi di
kalangan TNI ini ditentang oleh banyak jenderal lainnya yang setia dan patuh
kepada segala perintah atau politik Suharto.



Pentingnya karya-karya kritis para petinggi militer



Karena besarnya desakan para jenderal pendukung Suharto inilah akhirnya baik
Letjen Agus Wirahadikusumah maupun  Mayjen Saurip Kadi “dikotakkan” (dicopot
dari jabatannya). Letjen Agus Wirahadikusumah kemudian wafat (dalam tahun
2001) dengan mendadak di rumahnya, sedangkan Mayjen Saurip Kadi menekuni
pengamatan bidang politik dan kenegaraan. Karya Mayjen Saurip Kadi yang
terkenal adalah bukunya “TNI-AD, dahulu, sekarang dan masa depan” yang
diterbitkan oleh Grafiti (Pusat Studi Masalah-masalah militer) dalam tahun
2000. Dalam buku ini ia telah mengungkap dengan cukup berani banyak
kesalahan atau pelanggaran TNI-AD selama Orde Baru.



Akhir-akhir ini (tahun 2008) Mayjen (Pur) Saurip Kadi menerbitkan buku
“Mengutamakan rakyat” (228 halaman, cetakan huruf kecil), yang merupakan
karya penting seorang mantan petinggi militer yang kritis terhadap berbagai
praktek Orde Baru dan juga banyak mengajukan fikiran-fikiran baru mengenai
pengelelolaan negara dan pemerintahan, yang  menguntungkan kepentingan
rakyat banyak. Dibandingkan dengan karya-karya para mantan petinggi militer
lainnya, karya Mayjen (Pur) Saurip Kadi ini  termasuk yang paling berani,
paling menyeluruh mengenai banyak persoalan penting negara dan bangsa kita
dewasa ini. Buku ini disajikan dalam bentuk wawancara (interview) panjang
dengan seorang sahabatnya yang bernama Liem Siok Lan.



Terbitnya buku “Perjalanan seorang prajurit Para Komando” (oleh Letjen
Sinntong Panjaitan) dan pernyataan-pernyataan Letjen Agus Wirahadikusumah
dan buku-buku yang diterbitkan oleh Mayjen Saurip Kadi merupakan sebagian
kecil sekali (tetapi sangat penting) dari usaha bersama untuk menelaah atau
membongkar kesalahan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan,  korupsi
,kejahatan terhadap HAM, yang pernah dilakukan bertubi-tubi dan selama
puluhan tahun pula oleh para petinggi militer di bawah pimpinan Suharto.



Di bawah Suharto, militer adalah musuh rakyat



Selama ini, sampai sekarang, tidak banyak atau belum banyak, petinggi
militer (yang aktif maupun yang sudah pensiun) yang berani dengan tegas atau
terus terang mengkritik berbagai kesalahan atau dosa-dosa Suharto beserta
Orde Barunya. Padahal, sejak lama selama puluhan tahun, melalui kediktatoran
militernya yang sangat kejam, bengis, dan kadang-kadang menyerupai fasis,
Suharto dan para jenderal pendukugnya telah melakukan berbagai kejahatan
serius atau pelanggaran besar di bidang politik, sosial, ekonomi  yang
membikin sengsaranya sebagian terbesar rakyat Indonesia.



Kejahatan, pengkhianatan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan oleh Suharto
beserta para jenderal pendukungnya tidak saja dilakukan terhadap Bung Karno
berikut pendukung-pendukungnya (terutama golongan kiri, termasuk PKI)
melainkan juga terhadap semua orang  yang berani menentang atau tidak setuju
dengan politik dan tindakan-tindakannya.



Karena itu, tidak salahlah kalau ada kalangan atau golongan yang mengatakan
bahwa, pada hakekatnya atau pada dasarnya, selama pemerintahan di bawah
Suharto, militer adalah penindas rakyat, atau, bahwa militer adalah musuh
rakyat. Suharto telah menjadikan militer sebagai alat penggebuk rakyat
(ingat : peran Kopkamtib, Kodim dan Korem, Babinsa, Siskamling, surat bebas
G-30S, surat bersih diri dll dll).. Militer telah dijadikan anjing penjaga
keselamatan singgasana Suharto yang ,  seperti disaksikan  oleh banyak
sekali orang di dalam dan luar negeri, penuh dengan korupsi,kolusi dan
nepotislme.



Suharto, bekas serdadu KNIL yang mengkhianati Bung Karno



Kerusakan mental di kalangan militer (terutama tingkat tingginya), dan
pembusukan jiwa kerakyatannya, atau hilangnya sama sekali jiwa
kerevolusionerannya, adalah akibat bimbingan  yang sesat dari  seorang bekas
serdadu KNIL (atau tentara kolonial Belanda) yang telah dengan cara-cara
licin dan licik telah berhasil menggulingkan kekuasaan Bung Karno.  Dilihat
dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kerusakan besar di kalangan
militer ini adalah  terutama akibat “kepemimpinan” Suharto. Sekarang tambah
nyatalah bahwa Suharto bukanlah sama sekali tokoh panutan bagi kalangan
militer,. Suharto bukanlah contoh yang pantas ditiru oleh militer yang baik.
Suharto bukanlah pahlawan pula.



Sikap Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi yang
membongkar aspek-aspek negatif dari kalangan petinggi militer (terutama
Angkatan Darat) perlu disambut dengan gembira oleh semua kalangan dan
golongan yang menginginkan adanya perbaikan di kehidupan bangsa dan negara
kita. Kita bisa berharap bahwa makin banyak muncul tokoh-tokoh militer (atau
mantan militer) yang memiliki sikap atau pandangan yang serupa atau searah,
bahkan yang melebihi mereka (Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah, dan
Saurip Kadi).



Perkembangan situasi di Indonesia dewasa ini sudah dengan jelas menunjukkan
bahwa diperlukan adanya makin banyak  tokoh-tokoh militer (atau mantan) yang
berani dengan  tegas, terang-terangan, dan jelas-jelas mengajukan kritik
tajam, atau umpatan dan hujatan, terhadap berbagai kesalahan besar atau
dosa-dosa berat yang dibikin Suharto beserta para jenderal pendukungnya.
Hal yang semacam ini sangat diperlukan, karena banyak persoalan-persoalan
parah dan gawat yang terjadi sekarang ini adalah justru bersumber pada
kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang diwarisi sampai sekarang.



Terus membongkar Orde Baru untuk mengadakan perubahan



Dewasa ini makin jelas bagi kita semua bahwa perubahan fundamental atau
perbaikan negara dan bangsa kita tidak bisa dilakukan tanpa membongkar
habis-habisan atau melenyapkan sisa-sisa berbagai politik Orde Baru yang
masih diteruskan oleh sebagian besar tokoh-tokoh, baik yang militer maupun
sipil. Perubahan atau perbaikan negara dan bangsa kita (termasuk perubahan
atau perbaikan di kalangan militer) hanya bisa dilakukan dengan  bersikap
tegas melawan segala politik yang anti rakyat, yang anti ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno, yang dijalankan oleh para pendukung Suharto selama
puluhan tahun.



Dari sudut ini jugalah kita anggap sangat penting munculnya lebih banyak
lagi tokoh-tokoh militer lainnya yang  bersedia mengutarakan pendapat yang
kritis, yang membongkar segala aspek-aspek yang negatif dari kalangan
militer, baik yang terjadi selama Orde Baru maupun sesudahnya sampai
sekarang. Ini demi untuk kebaikan kalangan militer sendiri, maupun untuk
kepentingan bangsa dan negara kita.



Paris, 23 Maret 2009







No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG.
Version: 7.5.557 / Virus Database: 270.11.23/2016 - Release Date: 21/03/2009
17:58

Kirim email ke