"Anggota dewan, dokter gigi, supir, makelar rumah, agen KTP, dan 
tukang jilid proposal," seru lelaki muda itu dengan mata menyipit
karena  tawa.

Aku ikut tertawa.

Di tangan lelaki itu bertumpuk proposal  dari masyarakat konstituennya
yang akan diajukannya. Belum ada proposal itu yang  dijilid. Dia yang
akan membawanya ke tukang foto kopi.

Sejak pagi dia  berkeliling kecamatan, menemui calon proyek kebajikan.
Berdiskusi, menemukan  titik temu, mencari solusi, dan memberikan
motivasi. Dia tidak mau hanya duduk  di rumah, menunggu masyarakat
mengajukan permintaan.

Hasilnya belasan  rencana kerja pelayanan masyarakat. Tangannya
memasukkan proposal itu ke dalam  tas besarnya. Sepeda motor usang
menunggu. Di bawah terik matahari, lelaki itu  melaju membawa selaut
harapan.

Rahmat Juliadi, anggota legislatif DPRD  Sumedang, ke manapun dia
datang, riang dan tawa menjadi warna harinya. Tidak ada  masalah yang
susah jika disampaikan kepadanya. Seberat apapun, dia memiliki cara 
meringankan beban.

Warga kesulitan mendapatkan KTP karena tidak memiliki  surat pindah dari
kedutaan besar luar negeri, telah berupaya ini dan itu tetapi  kendala
administrasi selalu menghalang. Rahmat lalu membawa formulir KTP itu ke 
Kepala Desa, menjelaskan masalah dan meminta saran pemecahannya. Dia
bahkan  menjadikan dirinya jaminan saat aparat desa khawatir warga yang
bersangkutan  bukan orang yang baik-baik.

Berkali-kali masyarakat membutuhkan mobil dan  supir untuk membawa ibu
hamil atau warga ke rumah sakit. Rahmat menyediakan  waktu dan dirinya.

"Satu-satunya mobil yang berani kita pinjem dan hampir  selalu ada,
ya, mobil Pak Rahmat, teh," kata ibu komplek.

Sepagi Sabtu  itu, dia mengantarkan satu keluarga ke rumah sakit. Siang
minggu dia menjemput  salah seorang ibu dari rumah sakit Al-Islam
sehabis melahirkan. Pada sore Sabtu  yang lain, dia mengantarkan
keluarga yang lain ke rumah sakit yang lain. Baru  pekan lalu dia
menawarkan diri dan mobilnya untuk mengantarkan seorang nenek  warga
Citali yang sakit parah ke RS Sumedang.

"Kata anak-anak, abi, mah,  sibuk wae," Amie, istri Rahmat,
berujar sambil tersenyum.

Di tengah  kesibukan yang berjibun, dia masih menyempatkan diri
mencarikan informasi rumah  kosong bagi yang membutuhkan. Karena dia
anggota legislatif, orang berharap dia  juga pusat informasi. Termasuk
informasi rumah kosong dan calon penghuni  rumah.

"Nggak ada masalah, lah, itu." dia mengibaskan tangan, menolak 
anggapan bahwa dia telah meringankan kehidupan banyak orang.

karena dia  dokter gigi, Rahmat teramat sering kedatangan warga yang
sakit gigi dan minta  dirawat. Walaupun tidak membuka praktek di
rumahnya, dia melakukan pertolongan  perawatan gigi darurat di sana.

"Baru dari pak dokter, nih," kata Ummu  Nizar sembari
menggendong anaknya malam itu.

"Ada apa,  ummi?"

"Nizar sakit gigi. Karena sudah malam, menelepon pak dokter saja. 
Sama pak dokter disuruh bawa ke rumah. Barusan pak dokter mencabut gigi
dik  Nizar."

"Pak dokter, ada, ya?" pikiranku ingat dengan kesibukannya yang 
luar biasa.

"Nggak ada, sih, tadinya. Tapi pas ditelpon, pak dokter  bilang akan
pulang dan meminta kita menunggu jika saat datang beliau belum 
ada."

Aku mengangguk-angguk. Berapa biaya perawatan supercepat dan  personal
ini?

"Gratis. Wah, pak dokter nggak mau dibayar. Malah dik Nizar  yang
dikasih hadiah."

Ummu Nizar lalu menceritakan pengalamannya yang  lain berobat gigi
dengan pak dokter Rahmat.

"Beliau nggak pernah mau  dibayar," tekan Ummu Nizar
bersemangat.

Hatiku terasa ringan. Ah, luar  biasa.

Baru kemarin istri Rahmat cerita. Rahmat mengajari istrinya bahwa 
pekerjaan dewan bukan "pekerjaan". Waktu di dewan adalah masa
melayani  masyarakat. Uang yang didapat dari dewan tidak dijadikan
sumber kehidupan.  Rahmat menjatah dana keluarga, dan Amie diminta
mengaturnya supaya cukup. Mereka  berdua sepakat uang yang didapat dari
pekerjaan sebagai anggota legislatif  dikembalikan kepada masyarakat
dalam berbagai bentuk.

"Pak Rahmat nggak  pernah tega mengambil uang dari masyarakat.
Begitu banyak yang membutuhkannya,"  terang Amie.

Rumah Rahmat memang dikenal masyarakat sebagai tempat  mencari bantuan.
Ada yang kehabisan uang di jalan, singgah, dan minta tolong.  Banyak
yang meminjam uang dan tidak mampu mengembalikannya. Ada yang memerlukan
uang untuk membayar sekolah. dari berbagai daerah, orang menemukan
dirinya di  depan pintu Rahmat.

"Pokoknya, mah, jika ada yang minta-minta bantuan,  kita suruh ke
rumah pak Rahmat saja," cetus seorang kader PKS.

Rumah  Rahmat banyak pengunjung.

"Bagi kita, Mun, posisi aleg bukan untuk cari  maisyah
(penghasilan). Sedapat mungkin uang dari dewan bukan untuk kepentingan 
keluarga. Pak Rahmat memberikan uang belanja kepada saya. Plus gaji
saya.  Alhamdulillah berlebih." Binar mata Amie seperti bintang.

Mata saya  berembun.

Sepeda motor itu… sudah sedemikian tua dan jelek… apalagi untuk 
seorang aleg yang dokter gigi.




                       Detail di 
:http://bukan-di-republik-mimpi.blogspot.com/
<http://bukan-di-republik-mimpi.blogspot.com/>

Kirim email ke