Banyak seminar digelar, banyak diskusi sana sini. Dengan macam-macam tema, emansipasi, demokrasi, pluralisme, dsb. Yang terkadang hanya meributkan pepesan kosong. Mengawang-awang, tak teraba dan tak terasa.
Lalu apakah yang sebenarnya dibutuhkan untuk setiap masalah? Dan Alhamdulillah masih banyak yang mau berbuat. Dengan tanpa terlalu banyak berkoar --- In CIKEAS@yahoogroups.com, "setyawan_abe" <setyawan_...@...> wrote: > > > "Anggota dewan, dokter gigi, supir, makelar rumah, agen KTP, dan > tukang jilid proposal," seru lelaki muda itu dengan mata menyipit > karena tawa. > > Aku ikut tertawa. > > Di tangan lelaki itu bertumpuk proposal dari masyarakat konstituennya > yang akan diajukannya. Belum ada proposal itu yang dijilid. Dia yang > akan membawanya ke tukang foto kopi. > > Sejak pagi dia berkeliling kecamatan, menemui calon proyek kebajikan. > Berdiskusi, menemukan titik temu, mencari solusi, dan memberikan > motivasi. Dia tidak mau hanya duduk di rumah, menunggu masyarakat > mengajukan permintaan. > > Hasilnya belasan rencana kerja pelayanan masyarakat. Tangannya > memasukkan proposal itu ke dalam tas besarnya. Sepeda motor usang > menunggu. Di bawah terik matahari, lelaki itu melaju membawa selaut > harapan. > > Rahmat Juliadi, anggota legislatif DPRD Sumedang, ke manapun dia > datang, riang dan tawa menjadi warna harinya. Tidak ada masalah yang > susah jika disampaikan kepadanya. Seberat apapun, dia memiliki cara > meringankan beban. > > Warga kesulitan mendapatkan KTP karena tidak memiliki surat pindah dari > kedutaan besar luar negeri, telah berupaya ini dan itu tetapi kendala > administrasi selalu menghalang. Rahmat lalu membawa formulir KTP itu ke > Kepala Desa, menjelaskan masalah dan meminta saran pemecahannya. Dia > bahkan menjadikan dirinya jaminan saat aparat desa khawatir warga yang > bersangkutan bukan orang yang baik-baik. > > Berkali-kali masyarakat membutuhkan mobil dan supir untuk membawa ibu > hamil atau warga ke rumah sakit. Rahmat menyediakan waktu dan dirinya. > > "Satu-satunya mobil yang berani kita pinjem dan hampir selalu ada, > ya, mobil Pak Rahmat, teh," kata ibu komplek. > > Sepagi Sabtu itu, dia mengantarkan satu keluarga ke rumah sakit. Siang > minggu dia menjemput salah seorang ibu dari rumah sakit Al-Islam > sehabis melahirkan. Pada sore Sabtu yang lain, dia mengantarkan > keluarga yang lain ke rumah sakit yang lain. Baru pekan lalu dia > menawarkan diri dan mobilnya untuk mengantarkan seorang nenek warga > Citali yang sakit parah ke RS Sumedang. > > "Kata anak-anak, abi, mah, sibuk wae," Amie, istri Rahmat, > berujar sambil tersenyum. > > Di tengah kesibukan yang berjibun, dia masih menyempatkan diri > mencarikan informasi rumah kosong bagi yang membutuhkan. Karena dia > anggota legislatif, orang berharap dia juga pusat informasi. Termasuk > informasi rumah kosong dan calon penghuni rumah. > > "Nggak ada masalah, lah, itu." dia mengibaskan tangan, menolak > anggapan bahwa dia telah meringankan kehidupan banyak orang. > > karena dia dokter gigi, Rahmat teramat sering kedatangan warga yang > sakit gigi dan minta dirawat. Walaupun tidak membuka praktek di > rumahnya, dia melakukan pertolongan perawatan gigi darurat di sana. > > "Baru dari pak dokter, nih," kata Ummu Nizar sembari > menggendong anaknya malam itu. > > "Ada apa, ummi?" > > "Nizar sakit gigi. Karena sudah malam, menelepon pak dokter saja. > Sama pak dokter disuruh bawa ke rumah. Barusan pak dokter mencabut gigi > dik Nizar." > > "Pak dokter, ada, ya?" pikiranku ingat dengan kesibukannya yang > luar biasa. > > "Nggak ada, sih, tadinya. Tapi pas ditelpon, pak dokter bilang akan > pulang dan meminta kita menunggu jika saat datang beliau belum > ada." > > Aku mengangguk-angguk. Berapa biaya perawatan supercepat dan personal > ini? > > "Gratis. Wah, pak dokter nggak mau dibayar. Malah dik Nizar yang > dikasih hadiah." > > Ummu Nizar lalu menceritakan pengalamannya yang lain berobat gigi > dengan pak dokter Rahmat. > > "Beliau nggak pernah mau dibayar," tekan Ummu Nizar > bersemangat. > > Hatiku terasa ringan. Ah, luar biasa. > > Baru kemarin istri Rahmat cerita. Rahmat mengajari istrinya bahwa > pekerjaan dewan bukan "pekerjaan". Waktu di dewan adalah masa > melayani masyarakat. Uang yang didapat dari dewan tidak dijadikan > sumber kehidupan. Rahmat menjatah dana keluarga, dan Amie diminta > mengaturnya supaya cukup. Mereka berdua sepakat uang yang didapat dari > pekerjaan sebagai anggota legislatif dikembalikan kepada masyarakat > dalam berbagai bentuk. > > "Pak Rahmat nggak pernah tega mengambil uang dari masyarakat. > Begitu banyak yang membutuhkannya," terang Amie. > > Rumah Rahmat memang dikenal masyarakat sebagai tempat mencari bantuan. > Ada yang kehabisan uang di jalan, singgah, dan minta tolong. Banyak > yang meminjam uang dan tidak mampu mengembalikannya. Ada yang memerlukan > uang untuk membayar sekolah. dari berbagai daerah, orang menemukan > dirinya di depan pintu Rahmat. > > "Pokoknya, mah, jika ada yang minta-minta bantuan, kita suruh ke > rumah pak Rahmat saja," cetus seorang kader PKS. > > Rumah Rahmat banyak pengunjung. > > "Bagi kita, Mun, posisi aleg bukan untuk cari maisyah > (penghasilan). Sedapat mungkin uang dari dewan bukan untuk kepentingan > keluarga. Pak Rahmat memberikan uang belanja kepada saya. Plus gaji > saya. Alhamdulillah berlebih." Binar mata Amie seperti bintang. > > Mata saya berembun. > > Sepeda motor itu sudah sedemikian tua dan jelek apalagi untuk > seorang aleg yang dokter gigi. > > > > > Detail di > :http://bukan-di-republik-mimpi.blogspot.com/ > <http://bukan-di-republik-mimpi.blogspot.com/> >