================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Mempertanyakan Fungsi Parpol Selasa, 31 Maret 2009 | 03:12 WIB Pada tahun 1970-an terbit dua buku yang menelanjangi profil anak bangsa. Mochtar Lubis menyebut tak bertanggung jawab, munafik, hipokrit, suka iri, dan seterusnya. Koentjaraningrat bilang mentalitet bangsa ini tidak siap untuk membangun (mental menerabas). Media massa kemudian dipenuhi opini penolakan terhadap kedua buku itu, Mochtar Lubis dimaki habis. Sebulan polemik di harian Kompas, sampai pemimpin redaksi terpaksa menghentikannya. Tapi, tak satu pihak pun yang menangkap (termasuk pemerintah) bahwa mereka mewartakan sesuatu yang mahapenting. Benarkah mutu sumber daya manusia bangsa (termasuk di bidang politik) serendah itu? Atau, SDM Indonesia sungguh bermutu tinggi, ukurannya apa, tes IQ, EQ, SQ, atau ada yang lain lagi? Ukuran itu mutlak dibutuhkan untuk membuat perencanaan tepat guna, SDM (man behind the gun) selalu menjadi unsur utama untuk keberhasilan manajemen apa pun. Perubahan oleh siapa? Negara ini milik orang banyak, dibutuhkan ukuran. Manipulasi terhadap ukuran SDM akan membuat perencanaan menjadi terlalu elok dan selalu muncul masalah dalam pelaksanaan. Lalu dalam pembahasan selalu mencuat istilah ”seharusnya” begini begitu, dan buntutnya melahirkan kambing hitam kebersamaan. Yang penting bukanlah saya yang salah, soal manajemen dan keberhasilan menjadi tidak penting lagi. Demikian ulang-berulang, tak ada output yang pantas dicatat dalam sejarah Indonesia selain karya Pendiri Negara dan pejuang TKR/TNI yang mengusir penjajah. Kini, saat semua calon presiden mengampanyekan ”perubahan”, bangsa bertanya, ”apanya yang akan diubah?” Ternyata tidak satu calon presiden pun yang akan mengubah SDM dan perilakunya. Ini menyedihkan. Terbayang untuk sekian tahun ke depan, manajemen negara ini masih tetap ditangani oleh man behind the gun berkualitas rendah. Kita masih akan bergantung pada SDM (dan manajemen/value/investasi) asing. Pertanyaan berikut adalah siapa yang harus melakukan perubahan terhadap perilaku manusia Indonesia? Mampukah seorang presiden, atau parpol, atau Tuhan? MPR mewakili utusan golongan, utusan daerah dan parpol/DPR dapat melakukan perubahan dengan bermusyawarah mufakat (UUD 1945). Sedangkan UUD 2002 yang berorientasi pada demokrasi, maka parpol di DPR yang harus mengubah. Bagaimana dengan DPD? Pada era demokrasi yang diperlihatkan dalam Pemilu 2009, tidak jelas siapa subyeknya. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap sistem. Parpolkah, presidenkah, KPU-kah, MK-kah, MA-kah, atau manusia jalanan, termasuk golongan putih yang jumlahnya semakin besar? Atau, dibiarkan mengambang agar preman bisa merajalela dan bisa melayani kepentingan asing secara bebas? Cuma kendaraan politik Ricuh Pilkada Maluku Utara dan Jawa Timur menjelaskan. Saat Maluku Utara, KPU pusat langsung mengambil alih persoalan yang tak bisa ditangani KPU daerah. Ternyata KPU pusat juga tak mampu, lalu diambil alih MA yang juga gagal, lalu ditangani Menteri Dalam Negeri baru ”bisa selesai”. Rupanya cara itu tak berlaku untuk Jawa Timur, tiba-tiba MK yang menangani. Mana yang akan dipakai, bila pemilu pada 9 April nanti macet? Tidak terlihat fungsi parpol dalam kasus-kasus pilkada. Lalu, apa fungsi parpol dalam permasalahan bangsa, khususnya pasca-9 April? Saat ini masyarakat melihat parpol seolah cuma kendaraan politik untuk berburu kekuasaan semata. Selebihnya tak ada. Artikulasi terhadap aspirasi rakyat, penjaga ideologi bangsa, pembentuk pemimpin, upaya perbaikan manajemen negara, pendidikan politik, semuanya tidak dirasakan masyarakat. Pemilu 2009 terjadi dalam kondisi bangsa tanpa nilai, sarat dengan kebencian. Berarti rawan ricuh sampai dengan terjadinya deadlock politik. Istilah deadlock politik harus diadakan agar ada kendali kerawanan untuk mencegah kekagetan politik, tiba-tiba kita sadar, ”lho, negeri ini kok sudah berantakan”. Kekagetan politik pernah terjadi ketika Camdessus bersedekap (sedakep) menyaksikan Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF. Deadlock politik harus dirumuskan deskripsinya lewat musyawarah antarparpol untuk dimufakati bersama dan dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat. Kebangkitan parpol dalam musyawarah mufakat akan memberikan harapan kepada seluruh rakyat akan masa depan bangsa. Pertama yang harus dibenahi adalah mengubah mental anak bangsa supaya menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. [Roch Basoeki Mangoenpoerojo Mantan Sekretaris Balitbang PDI-P (1993-1999)-Kompas] ------- Menuju Indonesia sejahtera, maju, aman dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3