=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.   
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Generasi Penyusu, Generasi Penumpang 
Rabu, 29 April 2009 | 04:48 WIB 
Oleh : AHMAD SYAFII MAARIF 
Salah satu gejala sosiologis politik yang luput dari perhatian publik adalah 
munculnya generasi penyusu atau generasi penumpang. Apa itu, siapa itu? 
Tidak lain dari sosok si anak, adik, atau kemenakan yang maju sebagai calon 
anggota legislatif dengan menyusu atau menumpang pada kewibawaan dan 
popularitas orangtua atau keluarga dekatnya, sementara dia sendiri secara 
politik masih belum punya apa-apa untuk ditawarkan kepada bangsa dan negara. 
Generasi yang ”dipaksa” tampil ini tentu tidak dapat diharapkan agar menjadi 
politisi dengan mental merdeka dan mandiri untuk bersaing secara wajar dan 
sehat dengan warga negara yang memang dari awal muncul atas kemampuan dan 
kekuatan sendiri tanpa bayangan orangtua atau keluarganya. Anda bisa bayangkan 
akan betapa rapuhnya kultur politik kita pada masa depan jika pemimpin yang 
tampil adalah para penyusu belaka. 
Semifeodal 
Generasi penyusu jika tidak cepat dan sigap melepaskan diri dari pengaruh 
patronnya sudah dapat dipastikan akan menjadi sasaran bisik-bisik 
berkepanjangan. Dan itu pasti menyakitkan. Publik yang siuman akan mengatakan 
bahwa fenomena perpolitikan Indonesia ternyata sampai batas-batas tertentu 
masih melekat pada kultur dinastik semifeodal, sesuatu yang dulu ingin 
dilumpuhkan oleh cita-cita pergerakan nasional dan revolusi kemerdekaan. Dalam 
perkembangan sejarah, unsur-unsur semifeodal itu masih bertahan, justru 
mendapat perlindungan dari mereka yang mengaku sebagai demokrat dengan kibaran 
panji-panji egalitarianisme. Demokrasi sejati tidak mungkin tegak secara sehat 
dalam kepungan sisa-sisa budaya feodalisme dinastik itu. 
Saya tidak perlu menyebut identitas mereka itu sebab orang yang aktif membaca 
pergerakan peta politik Indonesia akan dengan mudah memahami ke mana ujung 
tombak tulisan ini mengarah. Kita punya beberapa contoh terbuka tentang mulai 
merebaknya kemunculan generasi penumpang ini. Bagi saya, orang tidak perlu 
terlalu risau dengan gejala ini. Sebab, siapa pun yang muncul ke panggung 
politik, dalam perjalanan waktu pasti akan dibenturkan pada ujian-ujian sejarah 
yang adakalanya sangat kejam. Dalam ujian itu nanti akan terlihat mana yang 
emas mana pula yang tembaga. 
Generasi penyusu jika tidak awas dalam menyiapkan diri menjadi politisi 
merdeka, lebih baik siap-siap dari sekarang untuk hanya mengejar posisi 
tembaga. Biarkanlah warga lain yang dari semula memang tidak bergantung pada 
patron mana pun, tidak juga pada orangtuanya. Mereka inilah yang diharapkan 
untuk memimpin Indonesia pada masa depan: generasi merdeka dan mandiri! 
Budaya pragmatisme 
Sistem demokrasi yang sehat pasti akan melahirkan masyarakat meritokratik: 
posisi terhormat hanya diberikan kepada mereka yang memang layak untuk itu 
dengan sederet persyaratannya. Sebenarnya gerakan reformasi sejak 11 tahun lalu 
punya slogan yang bagus dalam format anti-KKN. Ironisnya, dalam perjalanan 
waktu yang belum lama justru telah disiapkan pula generasi penyusu yang 
menorpedo cita-cita mulia reformasi itu. Dengan demikian, demokrasi Indonesia 
yang memberikan peluang sama kepada semua warga dalam politik masih harus 
dihadapkan pada tantangan-tantangan aneh yang sengaja disu- supkan oleh 
pertimbangan-pertimbangan pragmatisme politik tunanilai dan tunavisi. 
Selama beberapa tahun pada era pascaproklamasi, tercatatlah beberapa partai 
politik yang anti-feodalisme dalam teori dan praktik, tetapi semuanya telah 
menghilang dengan suratan tangannya masing-masing. Partai-partai itu adalah 
Masyumi, PKI, Partai Katolik, dan PSI. Adapun keturunan mereka yang telah putus 
rantai dengan pendahulunya akan menemukan kesulitan besar untuk meneruskan 
sikap antifeodalisme itu karena dua kemungkinan sebab. Pertama, mereka memang 
sudah tidak berminat lagi membuka lembaran sejarah pendahulunya. Kedua, budaya 
pragmatisme telah menutup mata kalbu mereka untuk tidak merasa malu melahirkan 
generasi penyusu dengan segala akibat buruknya di kemudian hari. ”Sungguh, pada 
kisah-kisah mereka,” tegas Al Quran, ”terdapat pelajaran moral (’ibrah) bagi 
mereka yang punya visi tajam.” (Surat Yusuf: 111) 
Dalam kultur yang serba instan, tentu suara Langit ini tidak banyak lagi yang 
menghiraukan. [Ahmad Syafii Maarif  Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah - Kompas] 
------- 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Reply via email to