Alam Semesta?


:Nilna Iqbal






Bintang itu
berapa sih banyaknya? Kalau kita mampu dan mau betah berjam-jam
menghitungnya, maka dengan mata telanjang, bintang yang dapat kita
lihat berjumlah sekitar 5.000.

Dengan pertolongan
teleskop yang punya garis tengah 10 cm saja, jumlahnya berlipat ganda
menjadi dua juta bintang! Apalagi bila digunakan teleskop raksasa
bergaris tengah 5 meter, seperti di Mount Palomar, jumlah bintang
yang bisa diamati lebih dari semilyar (ingat, nolnya saja sudah 9).

Konon lagi bila
dipakai teleskop 100 meter, wah…!

Memang sampai saat
ini, “seberapa besar” jagad raya belum bisa diketahui. Apalagi
kalau ditanya, “tepi alam semesta dimana” atau yang lebih susah
lagi, “kalau alam ini ada pinggirannya, lalu diluar pinggir itu
apa?”

Sebenarnya
matahari yang menyinari hidup kita setiap hari ini, ia adalah sejenis
bintang juga, sama seperti bintang lain yang terlihat pada malam
hari. Kenapa ia tampak lebih terang? Sebab ia memang relatif lebih
dekat ke bumi kita, yakni 150
juta kilometer
atau sekitar 8,3 menit perjalanan cahaya (padahal kecepatan gerak
cahaya saja sudah 300.000 km/detik).

Bintang lain yang
juga paling dekat dengan kediaman kita ini adalah Alfa
Centauri,
yang jaraknya 4,4 tahun perjalanan cahaya. Kendati kita menyebutnya
bintang paling dekat … sebenarnya ya jauh juga. Bayangkan saja,
jaraknya itu 279.000 kali jarak matahari-bumi.

Bintang-bintang
itu pun tidak hidup sendiri-sendiri. Mereka berkelompok membentuk
gugusan bintang yang disebut galaksi. Matahari (berarti juga bumi)
bersama bintang lainnya termasuk ke dalam kelompok galaksi Bima
Sakti.

Jumlah bintang
dalam galaksi ini ditaksir mencapai 200 milyar bintang! Bentuknya
seperti cakram dan mempunyai garis tengah 100.000 tahun perjalanan
cahaya. Matahari terletak pada posisi 30.000 tahun cahaya dari pusat
galaksi. Artinya jika kita terbang dengan kecepatan cahaya (300.000
km/detik lho), kita baru akan sampai ke pusat galaksi setelah 30.000
tahun lamanya.

Padahal galaksi
Bima Sakti ini bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta
ini. Ada milyaran galaksi lain bertaburan di dalamnya.

Bila kita andaikan
setiap galaksi mengandung jutaan atau milyaran bintang, subhanallah!
sungguh tak terbayangkan betapa besar alam semesta ini. Sulit sekali
untuk memperkirakan berapa luasnya alam semesta milik Allah itu.
Sungguh menakjubkan. Allah Maha Agung, Allahu
akbar!

Adakah bumi dan
makhluk hidup lain di bintang sana?
Timbul
pertanyaan, apa tidak mungkin diantara bintang-bintang itu ada
bintang yang sifatnya sama dengan Matahari kita? Yang juga mempunyai
bumi, seperti bumi kita, yang punya tingkat kehidupan, yang
berpenghuni, apapun makhluknya?

Memang saat ini,
belum bisa kita pastikan adanya tanda-tanda kehidupan di luar sana.
Tapi tentu, kita tak bisa lantas meng-claim “Tidak Ada”, hanya
karena teknologi kita belum mampu melacaknya, hanya karena kita tidak
tahu kepastiannya. Inilah tantangan buat kita.

Namun, ada satu
hal yang amat menarik kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran,
yaitu banyak hal-hal yang dibicarakan di dalamnya mengenai
fenomena-fenomena alam yang justru lebih difahami maknanya pada abad
modern ini, baik tentang hukum-hukum fisika, hukum sejarah, sains dan
teknologi, maupun dinamika sosial dan budaya.

Memang Quran tidak
seperti buku fisika, penuh detail-detail hukum alam. Karena Quran
sifatnya global, garis besar, yang disajikan dalam makna simbolis.
Hal ini dimaksudkan, agar supaya manusia (dan jin) mengasah
potensinya, menangkap “realitas” yang terkandung di dalamnya.
Dalam usaha inilah manusia sering gagal, lantaran ilmunya masih
minim, dan kemampuan teknologi belum memadai.

Satu diantaranya
adalah apa yang sedang kita bahas ini, yang memang harus diakui
sampai sekarang masih terselubung misteri. Namun Al Quran, 14 abad
yang lalu, telah mensinyalir kemungkinan-kemungkinan itu tadi.

Sekalipun begitu
pemahaman kita tetap saja baru sebatas “teori”, mengingat
banyaknya kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia, di dalam
memahami “realitas” yang dimaksudkan oleh Al Quran. Tetap saja
ada “jurang” antara ‘realitas absolut’ yang dimaksudkan Allah
(absolute
reality)
dengan ‘realitas’ yang tertangkap oleh “antena penerima”
kita, atau daya potensi kita (relative
reality).

Kita ambil saja
satu ayat dalam surat 65 (Ath Thalaaq) ayat 12:
“Allah-lah
yang telah menciptakan ‘tujuh’ langit, dan seperti itu pula bumi.
Hukum Allah (hukum alam menurut para ilmuwan) berlaku padanya, agar
supaya kamu (wahai manusia) sadar bahwasanya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu (apapun jua)…”

Para ahli tafsir
sepakat bahwa simbol ‘tujuh’, dalam ayat itu (dan beberapa ayat
lainnya), merupakan lambang yang menunjukkan arti “banyak”, yang
belum dapat ditentukan. Apakah ini juga berarti, “bumi pun banyak”.

“Mitslahunna”
dalam ayat tersebut lebih mempertegas kesimpulan ini, sebab ‘hunna’
dalam bahasa Arab berarti mereka (yang jumlahnya lebih dari 2). Dus,
mitslahunna
artinya serupa mereka (dalam hal ini langit).

Apa itu langit?
Kata ini berasal dari terjemahan kata sama’,
yang sering diartikan secara umum, langit. Padahal arti ‘sama’
itu banyak sekali, ada yang berati atmosfer (lihat QS. 6:99), ada
juga berarti tata surya (lihat QS. 29: 22), Jagad Raya, Universe
(lihat QS. 21: 104), dsb.

Tengoklah betapa
mengagumkan ayat-ayat itu. Jadi banyak kemungkinan yang bisa timbul.
Dia mungkin saja berarti, bukan hanya bumi yang banyak, bahkan bisa
pula diartikan lebih jauh lagi “alam semesta (universe) ini pun
banyak!!!?” dan di sana juga berlaku hukum-hukum Allah pada alam
(sunatullah).

Tinggal sekarang
manusia mencoba menggali, menyibak lebih dalam lagi, hingga akan
sampai pada realitas yang sesungguhnya. Jelas ini tantangan.

Lalu, kalau
begitu, mungkinkah di sana ada makhluk hidup? Seperti apa makhluk
itu, seperti manusia? Entahlah… tapi yang jelas makhluk itu ‘kan
bukan hanya manusia! Dalam Al Quran sering disebut “daabbah”,
misalnya pada ayat:
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan daabbah-daabbah yang Dia sebarkan pada keduanya (langit dan
bumi). Dan Dia (Allah) Maha Kuasa untuk mengumpulkan semuanya jika
dikehendaki”.(QS.
42: 29)

Masih banyak
memang dalam terjemahan-terjemahan Quran, daabbah diartikan “makhluk
melata”. Apa arti yang sebenarnya? Sampai saat ini sangat sulit
dipastikan. Kita tunggu saja, hasil penyelidikan para ahli, ya. Namun
yang penting kita garis bawahi di sini adalah lebih ditegaskan pada
ayat itu pernyataan tentang adanya makhluk (daabbah) di langit (masih
ingat ‘kan arti langit?), dan kemungkinan saling bertemunya
penghuni langit tersebut dengan penghuni bumi. Kapan itu? Belum
seorang pun berani memastikannya.

Dalam ayat lainnya
lagi, ada satu hal yang cukup menarik juga kita bahas, guna
memudahkan kita sampai pada kesimpulan yang benar, yaitu pada QS. 13:
15 dan QS. 16: 49; demikian:
”Hanya
kepada Allah-lah tubduk apa saja yang ada di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa…”
(Ar Ra’ad: 15)

Lalu bandingkan
dengan ayat:
“Dan
hanya kepada Allah sajalah tunduk segala apa yang ada di langit dan
semua daabbah di bumi…”
(An Nahl: 49)

Buka al-qur’an,
lalu lihat ayatnya. Perbedaan kedua ayat itu terletak pada kata-kata
“maa”
dan “man”;
yang dalam terminologi bahasa Arab saling dibedakan, walau
terjemahannya bisa berarti-sama.

Bedanya terletak
pada objeknya, yaitu kata “maa” dipakai untuk menunjukkan “benda
mati”atau materi, sedang “man” untuk “makhluk hidup”. Dalam
QS. 13: 15 dipakai kata “maa”, sedang pada QS. 16: 49 dipakai
kata “man”.

Artinya apa? Ya,
jelas keduanya benar; baik materi (benda) maupun makhluk hidup ada di
langit dan di bumi, dan (mungkin) juga diantara keduanya.

Kita buka lagi
ayat ini:
“Langit
yang ‘tujuh’, bumi dan semua yang ada padanya, ‘bertasbih’
kepada Allah… tapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka itu…”
(Al Isra’ ayat 44).

Pada ayat itu,
sekali lagi ditegaskan bahwa langit itu banyak. Kemudian untuk
menggambarkan objeknya dipakai kata “man”, artinya makhluk hidup,
dan terakhir ada kata-kata “fiihinna”,
bukan “fiihima”.
Hal ini semakin memperkuat kesimpulan di atas, sebab “fiihinna”
menunjukkan objeknya banyak, sedang “fiihima” berarti objeknya
cuma dua. Menurut bahasa Arab, bentuk jama’ minimal jumlahnya tiga
(tidak seperti bahasa lain, dua unit saja sudah disebut banyak).

“Dan hanya
Tuhanmu sajalah yang lebih tahu (persis) siapa yang (ada) di langit
dan di bumi…!”
(Al Isra’: 55)

Maha benar Allah
dengan segala Firman-Nya.


http://ariefbudi.wordpress.com   http://jalanku.multiply.com  
http://teknofood.blogspot.com
FaceBook : http://id-id.new.facebook.com/people/Arief-Budi-Setyawan/1663852032
  
"...Bila engkau penat menempuh jalan panjang, menanjak dan berliku.. dengan 
perlahan ataupun berlari, berhenti dan duduklah diam.. pandanglah ke atas.. 
'Dia' sedang melukis pelangi untukmu.."


      Pemerintahan yang jujur & bersih? Mungkin nggak ya? Temukan jawabannya di 
Yahoo! Answers! http://id.answers.yahoo.com

Kirim email ke