Quote: ".. *Bila tak diperhatikan, praktik yang bermula dari hal-hal sederhana itu dikhawatirkan akan menjebak duet ini pada penyalahgunaan wewenang di Pilpres 2009* *.."
*Mungkin ini salah satu sebab 'SBY Berbudi' diganti.. karena (kalangan mereka sadari) tidak pantas 'mengklaim' seperti itu?? :-p CMIIW.. -- Wassalam, Irwan.K "Better team works could lead us to better results" http://irwank.blogspot.com http://pemilu.inilah.com/berita/2009/05/18/107883/sby-boediono-hadapi-ranjau-hukum/ 18/05/09 12:59 *SBY-Boediono Hadapi Ranjau Hukum* R Ferdian Andi R INILAH.COM <http://inilah.com/>, Jakarta – Dibandingkan dua pasangan lainnya, duet SBY-Boediono terkesan lebih sering melakukan kesalahan sistem ketatanegaraan. Bila tak diperhatikan, praktik yang bermula dari hal-hal sederhana itu dikhawatirkan akan menjebak duet ini pada penyalahgunaan wewenang di Pilpres 2009. Sadar atau tidak, capres incumbent SBY sering terjebak dalam praktik-praktik yang terkesan cenderung merusak sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kondisi ini tak terlepas dari posisinya yang kini masih menjabat sebagai Presiden RI. Langkah itu mestinya dapat dihindari dengan memahami sistem ketatangeraan secara lebih komperhensif sambil menyelami sikap kenegarawanan. Kesan itu tercermin mulai dari kehadiran ketua dan sejumlah anggota KPU di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, saat pelaksanaan pencontrengan pemilu legislatif 9 April. Kehadiran KPU jelas memberi dampak tersendiri atas keberlangsungan pemilu. Sebuah pemilu yang diharapkan semua pihak berjalan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) sekaligus jujur dan adil (jurdil). Kehadiran ketua dan sejumlah anggota KPU memancing reaksi keras dari berbaga pihak. Kesan yang sama juga dilakukan Ketua KPU dan sejumlah anggotanya disaat penyambutan pendaftaran capres SBY-Boediono di KPU akhir pekan lalu. Penyambutan serupa tak terjadi pada pasangan capres-cawapres lainnya, pasangan JK-Wiranto maupun Megawati-Prabowo. Tak kalah ekstremnya, di saat ramai-ramai pemilihan cawapres SBY beberapa waktu lalu, beberapa pihak menyebut, penentuan cawapres adalah hak prerogatif SBY sebagai capres. Kelompok ini diwakili oleh Partai Demokrat dan sejumlah partai pendukung. PKS adalah salah satu partai yang menyoal hak prerogatif SBY sebagai capres. Menurut Wakil Sekjen DPP PKS Fahri Hamzah, hak prerogatif presiden belum melekat pada figur SBY sebagai capres. “SBY keliru, dalam konteks Pemilu 2009, dia sebagai capres, belum menjadi presiden,” katanya kala itu. Meski, belakangan, PKS tak menyoal soal hak prerogatif SBY sebagai capres dalam penunjukan Boediono. Menurut pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, terjadi pemahaman keliru baik pada SBY maupun Demokrat perihal hak prerogatif yang melekat pada diri SBY sebagai calon presiden. “Sebagai capres, hak prerogatif tidak melekat pada SBY. Nanti kalau terpilih baru dia punya hak prerogatif presiden, seperti memilih menteri dan lainnya,” ujarnya. Kesalahan tak berhenti sampai di situ. Saat pendeklarasian pasangan SBY-Boediono, Jumat (15/5) akhir pekan lalu, cawapres SBY Boediono sepertinya turut serta menyumbangkan kesalahan berpikir dalam ketatanegaraan di Indonesia. Di awal orasi politiknya, Boediono menyebut SBY sebagai Bapak Presiden. Di tengah pidato Boediono juga menyebut SBY sebagai presiden. Sepertinya, Boediono lupa dan lalai, malam itu adalah malam deklarasi SBY-Boediono sebagai capres-cawapres. Bukan deklarasi kemenangan capres-cawapres SBY-Boediono. Apalagi forum kenegaraan. Malam deklarasi yang mewah itu pun menyisakan ragam tanya. Sejumlah pejabat daerah seperti gubernur turut hadir di forum itu. Bahkan, pembacaaan deklarasi pasangan capres- cawapres SBY-Boediono dilakukan oleh Gubernur Sumatera Barat Fauzi Gamawan. Meski, Fauzi mengaku, kehadirannya di malam deklarasi dalam kapasitas pribadi, karena dirinya saat ini tengah cuti sebagai Gubernur Sumatera Barat dari 13-24 Mei 2009. “Saya membacakan deklarasi tersebut sebagai rakyat Indonesia, bukan sebagai Gubernur Sumbar. Jadi jangan dipolemikkan,” katanya. Sebelumnya, Koordinator Poros Pemuda Indonesia Hasanuddin mengkritik langkah sejumlah gubernur yang turut hadir dalam acara deklarasi SBY-Boediono. Dalam pandangan Hasanuddin, kehadiran gubernur tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang pejabat publik. SBY-Boediono dan para pendukungnya dalam menghadapi Pemilu Presiden 2009 kelak harus benar-benar menjauhkan diri dari upaya politisasi birokrasi dan pelibatan aparatus negara untuk kepentingan Pemilu 2009. Harapan rakyat, kesalahan berpikir sistem ketatanegaraan yang dilakukan oleh SBY, Boediono, dan partai pendukungnya, tak berlanjut pada penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik. [P1]