Muso dan Hartono Mati Dibunuh Oleh Dalang Yang Sama Muso adalah Dubes RI di Soviet, dan Hartono adalah Dubes RI di Korea Utara. Keduanya dipaksa pulang untuk kemudian dibunuh ditanah airnya dalam judul kemelut politik yang berbeda. Tidak banyak diceritakan sejarah bahwa Muso diangkat sebagai dubes RI di Russia secara rahasia oleh Bung Karno yang bertujuan untuk menyingkirkan Muso sementara sebelum dijebak dengan peristiwa Madiun. Setelah PKI-Madiun berhasil ditumpas, barulah Muso dipaksa pulang seperti halnya Hartono. Kemudian keduanya bernasib sama yaitu sama2 mati dibunuh.
Sebagai tokoh politik pasti Muso juga paham kalo dia seharusnya tidak boleh pulang, tetapi memang kepulangan Muso itu bukanlah kemauan sendiri melainkan dipaksa dibawah todongan pestol. Sama nasibnya Kolonel KKO-AL Hartono yang menjadi duta besar di Korea Utara yang juga dipaksa pulang dibawah todongan pestol untuk dibunuh setibanya di Indonesia. Baik Hartono maupun Muso termasuk korban yang matinya dengan cara yang sama dan sebab2 yang sama dalam kericuhan politik yang juga sama, bahkan dalangnya juga sama, yang beda cuma waktunya saja. > "selarasmilis" <selarasmi...@...> wrote: > PERISTIWA Madiun, 19 September 1948, > masih menyisakan sejumlah tanda tanya. > Hingga kini masih terjadi pro-kontra > tentang hakikat peristiwa itu. Partai > Komunis Indonesia (PKI) menyatakan itu > bukan pemberontakan atau kudeta, tetapi > terpancing manuver Amerika Serikat yang > ingin menghancurkan gerakan komunis di > Indonesia. Sudah pernah saya tulis, bahwa sebenarnya Amerika menolak Sukarno jadi presiden karena dianggapnya sebagai simpatisan Komunis. Tetapi Sukarno memang ahli negosiasi yang akhirnya disetujui juga oleh Amerika. Dalam Negosiasi ini, Sukarno setuju permintaan Amerika untuk memperalat PKI untuk disusupkan ke Cina dan informasi spionase itu kemudian dijual kepada Amerika. Tentu enggak mungkin PKI bisa diperalat karena ketuanya bukanlah antek2 Sukarno dan ketua PKI waktu itu enggak bisa didikte semaunya Sukarno. Itulah sebabnya, Sukarno dibantu oleh Amerika untuk dijebak se-olah2 memberontak, se-olah2 mau kudeta dan dengan alasan ini PKI dilindas hancur lebur, tapi bukan untuk dikubur melainkan untuk dibangun PKI baru dengan ketuanya DN Aidit yang sangat setia dengan Bung Karno. Kemudian setelah waktunya Sukarno harus mengundurkan diri, dia malah memaksakan mengangkat dirinya jadi presiden seumur hidup seperti yang dilakukan Sadam Hussein. Tentu saja, perbuatan Sukarno ini merusak dan mengacau balaukan strategi management spionagenya di Asia. Akhirnya, PKI yang jadi macan pengawal Bung Karno juga akhirnya dijebak dengan cara2 sama seperti PKI dibawah Muso dulu. Jadi PKI Muso dulu dijebak dengan cara2 persis sama seperti PKI Aidit dijebak oleh Amerika, bedanya, kalo PKI Muso itu tetap dihidupkan kembali dengan diperalat oleh ketuanya yang baru yang jadi mata2 Amerika untuk mengintip Cina, maka PKI Aidit ini dikubur mati tak perlu dihidupkan kembali karena sudah tidak dibutuhkan lagi karena Cina sdudah jatuh ketangan Amerika melalui kudeta berdarah "Revolusi Kebudayaan". Begitulah kerangka utama dari berbagai rekayasa berdirinya PKI di Indnesia, tidak sama sekali jelimet, segalanya sederhana, terbuka, dan tidak ada lagi yang dirahasiakan oleh para dalang2nya, apalagi Bung Karno juga dijadikan korbannya seperti Muso yang juga dikorbankan oleh Bung Karno. Permainan begini sih sudah umum didunia politik maupun didunia intelejens, enggak perlu di-cari2 siapa yang salah karena yang lebih perlu diketahui cuma siapa yang kalah. Pada hakekatnya, Amerika berkepentingan melindungi hegemoninya diwilayah Asia Tenggara, sebaliknya negara2 di Asia Tenggara yang jelas2 tidak memiliki hegemoni, tentu lebih berkepentingan melindungi masing2 kepentingan pejabatnya dalam mempertahankan jabatannya selama mungkin. Dua kepentingan inilah yang saling bertemu untuk bekerja sama sehingga terciptanya "Pemberontakan Madiun" maupun juga "Tragedi G30S PKI". Sampai disini, bisa disimpulkan bahwa diskusi apapun juga yang menyangkut siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus Peristiwa Madiun dan kasus G30S menjadi tidak relevan sama sekali untuk dibicarakan, justru yang lebih relevan itu cukup dibicarakan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Bukan kesalahan yang harus di-cari2 kambing hitamnya, karena lebih penting dicari kepentingan apa dan kepentingan siapa yang berhasil membonceng dari kejadian2 tsb., sederhana sekali bukan ???? Ny.Muslim binti Muskitawati.