Refleksi : "Calon non-muslim masih sulit diterima oleh sebahagian besar 
masyarakat Indonesia", karena prinsipnya telah ditetapkan oleh Allah.  Al Quran 
ayat 5:51 antara lain menyatakan: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu 
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);.. 
Dengan nada yang sama hal ini terdapat diluis juga pada  ayat 3:28 yang antara 
lain sebagai berikut : "Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang 
kafir menjadi wali *...."  [ Penjelasan *  = wali jamaknya auliyaa: berarti 
teman yang akarb, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong].  

http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=70315

PEREMPUAN

01 Juli 2009
Kiprah Ibu Negara dan Kepemimpinan Bangsa


GEGER jilbab istri capres dan cawapres sempat menyita perhatian publik. 
Perempuan berjilbab dipersonifikasikan sebagai individu yang baik dan taat 
agama. Jika ibu negara berjilbab, konon bangsa ini akan lebih baik. 

Namun, gagasan ini juga bukan tanpa kritik. Banyak aktivis berpandangan, 
berjilbab dan tidak itu urusan individu, tidak ada kaitannya dengan masalah 
kenegaraan. Selain soal jilbab, istri salah seorang kontestan Pilpres 2009 juga 
diisukan beragama Katolik. Sontak hal ini sedikit mengendurkan mitra koalisi.  
Isu agama, bagi masyarakat Indonesia, masih sangat sensitif. Basis agama sering 
dijadikan alasan dalam memilih calon pemimpin. Calon nonmuslim -maaf- masih 
sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin pula 
dari hasil penelitian Ari Anshori dkk (Presiden Pilihan Umat, 2009). 

Penelitian kualitatif yang dida-sarkan hasil wawancara sejumlah tokoh agama itu 
dengan jelas mengisyaratkan pemimpin Indonesia (presiden dan wapres) harus 
se-orang muslim. Alasan yang dominan adalah karena faktor kepatutan, bahwa 
mayoritas penduduk di ne-geri ini adalah muslim.

Ibu Negara
Terlepas dari polemik di atas, marilah kita menilik sejarah panjang bangsa 
Indonesia yang telah memiliki enam presiden, dan lima ibu negara. Bagaiman 
peran dari masing-masing ibu negara tersebut, inilah yang lebih penting 
daripada berdebat soal jilbab atau tidak berjilbab.

Pertama, Ibu Fatmawati. Fatma-wati tentu bukan orang sembarangan. Ia sosok yang 
kuat dan teguh dalam pendirian. Ketika Sukarno dalam masa sulit semasa memimpin 
revolusi di negeri ini dan sering dipenjara, Fatmawati selalu setia menunggu 
dan mendukungnya. 

Tanpa dukungan dan kesetiaan Fatmawati, mungkin Sukarno tidak akan mampu 
memimpin revolusi kemerdekaan negeri ini. Di era kemerdekaan, Fatmawati tetap 
menunjukkan dirinya sebagai Ibu Negara. Ia rela menjahit bendera Merah-Putih 
sebagai simbol pemersatu bangsa. Ia pun teguh dalam pendirian dan tidak mau 
dipoligami, meski risikonya harus bercerai. 

Di masa Orde Baru, kita mengenal Ibu Tien Soeharto. Banyak literatur 
menyatakan, Ibu Tien merupakan "separo nyawa" Soeharto. Bahkan, dia menjadi 
bagian dari pemerintahan Soeharto itu sendiri. Artinya, Ibu Tien telah menjadi 
pendamping hidup dan penasihat spiritual yang ampuh bagi Soeharto.

Kiprah Ibu Tien dalam pemerintahan tidaklah sedikit. Ia inisiator Taman Mini 
Indonesia Indah (TMII). Meski diwarnai pro-kontra, TMII telah menjadi simbol 
ragam budaya Nusantara yang adiluhung. Keragaman budaya Nusantara inilah yang 
menjadikan bangsa ini kuat. Lebih dari itu, multikulturalisme bangsa telah 
menopang tegaknya NKRI hingga sekarang.

Kiprah Ibu Tien dalam pemberdayaan perempuan tercermin dari program PKK. Meski 
hanya serupa organisasi paguyuban ibu tingkat RT/RW, PKK mampu memberdayakan 
perempuan Indonesia. Pekerjaan ibu rumah tangga tidak sertamerta dimaknai 
sebagai pekerja rendahan. Dengan program ini, perempuan Indonesia mampu 
menyalurkan potensi dan bakatnya guna masa depan keluarga dan bangsanya.

Babak Baru
Setelah rezim otoritarian Soeharto tumbang, bangsa ini memasuki babak baru 
dalam berbangsa dan bernegara. Dimulai dari gerakan reformasi 1997/1998, bangsa 
ini melahirkan "pemimpin baru", sebagai pelaksana tugas pengganti Soeharto, 
yaitu BJ Habibie.

Habibie memerintah dalam situasi serbasulit. Tapi dalam waktu singkat, dia 
mampu mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Ini 
terbukti dengan meningkatnya nilai tukar rupiah dari Rp 16.000 menjadi Rp 9.000 
per dolar AS.

Kiprah Habibie tentu tidak lepas dari pendampingnya, Ibu Ainun Habibie. Dengan 
pembawaan kalem dan tenang, wanita yang berasal dari Purwodadi itu sanggup 
mengikuti ritme dan mengendalikan suasana hati suaminya. 
Selanjutnya, bangsa ini dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pembawaannya yang 
nyentrik, dengan aneka gagasan besar mengenai kebangsaan dan keagamaan, mampu 
sedikit mengendurkan urat saraf dan kepenatan bangsa Indonesia. 

Terobosan Gus Dur yang melampaui batas tradisi menjadi titik awal tumbuhnya 
demokratisasi dan kebebasan berekspresi di negeri ini. Pembawaan ini 
berpengaruh terhadap istrinya, Ibu Shinta Nuriyah Wahid. 

Ibu Shinta Nuriah dikenal sebagai aktivis gender dan hak asasi manusia (HAM). 
Ia seringkali mendampingi korban tindak kekerasan, baik dalam rumah tangga 
maupun buruh migran. Hingga kini, kiprahnya dalam memperjuangkan HAM dan gender 
masih bisa kita lihat, seperti penolakkannya terhadap UU Antipornografi.

Kita tidak bisa melihat kiprah Megawati Soekarnoputri sebagai ibu negara, 
karena dia adalah presiden. Pun demikian dengan Ibu Ani Yudhoyono, yang tak 
bisa dinilai karena masa tugasnya sebagai ibu negara belum berakhir. Dari 
paparan tersebut, sangat jarang isu agama mewarnai perjalanan kenegaraan para 
ibu negara. Mereka tampil apa adanya. Ibu Fatma, sesuai dengan zamannya, hanya 
mengenakan kebaya tahun 1950-an dan berselempang kerudung di lehernya. Ibu Tien 
juga sering berpakaian Jawa. Demikian pula de-ngan Ibu Ainun dan Ibu Shinta 
Nuriyah. 

Pada akhirnya, seorang pendamping (istri) merupakan bagian tak terpisahkan dari 
sebuah kepemimpinan bangsa. Ia adalah panutan bangsa. Ia dipandang ada bukan 
karena faktor agama yang menonjol, melainkan kiprahnya dalam mewarnai sejarah 
panjang bangsa itu sendiri. (Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN 
Sunan Kalijaga Yogyakarta-32) 

Reply via email to