http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=70456

01 Juli 2009



Atas Nama Nalar Memilih Presiden
Oleh L Murbandono Hs

DALAM pilpres 2009 beberapa hari mendatang rakyat Indonesia sebagai bagian 
insan semesta diuji kemuliaannya. Salah satu pengukur kemuliaan insan adalah 
kejujuran menggunakan nalar. Dengan ini kita dihadapkan pada tiga kata yang 
khas untuk manusia: kemuliaan, kejujuran, dan nalar. Sehe-bat apa pun 
makhluk-makhluk nonmanusia semisal hewan-hewan menjalankan kehidupannya, bahkan 
dengan nalar pada tarafnya sendiri (suo modo), mereka tak pernah sampai pada 
kemuliaan dan kejujuran.

Jadi, nalar adalah syarat paling mutlak agar manusia bisa mulia dan jujur. Jika 
beberapa waktu lalu kita mempersoalkan debat yang bukan debat, maka dalam 
rangka pilpres ini kita bisa berdukacita tentang manusia yang bukan manusia 
(mustahil dibayangkan) atau paling kurang manusia yang bisa dipersoalkan 
kemanusiaannya karena tidak jujur menggunakan nalar sebagai penanda 
kemuliaannya. 

Ini bukan soal "manusia atas" atau "manusia super" dalam salah satu aliran 
filsafat atau superego di dalam psikologi, melainkan mengenai manusia biasa 
umumnya: makhluk yang hidup (mati)nya antara lain dan terutama berkat nalarnya.

Bebas 
Nalar itu bebas. Tapi justru karena bebas, nalar tidak bergerak sendiri, tapi 
digerakkan unsur-unsur luar. Pada taraf paling rendah dalam otak ia digerakkan 
getar-getar biologis dan secara komunikatif merupakan hasil pertemuan dengan 
nalar orang-orang lain. Rentang panjang peradaban adalah sejarah perkembangan 
nalar individual yang meniscayakan nalar sosial secara kolektif dan dialektis. 

Di dalamnya terbentang rentet panjang transformasi seluruh bidang kehidupan. 
Yang terpenting adalah transformasi keinsanan. Ini memuat banyak sekali 
keniscayaan. Misalnya, sebab nalar individu berkorelasi dengan nalar 
orang-orang lain dengan mutu beraneka ragam, manusia lalu mengenal banyak hal 
di luar dirinya. Hal-hal di luar diri itu ada yang bisa dicerna nalarnya. 
Tetapi banyak juga yang tetap berada di luar jangkauan nalarnya.

Demi kepentingan pembangunan catatan kecil ini,  buku Within Reason (1999) 
karya Donald B Calne yang diterjemahkan Parakitri T Simbolon menjadi Batas 
nalar  (KPG, Jakarta 2004), antara lain menyajikan dua acuan penting.

Pertama, manusia tahan menanggung hidup (sekaligus mati) karena terus-menerus 
mengembangkan nalar. Dan nalar yang sama ini dalam banyak kasus telah ikut 
membuat lembar-lembar sejarah berlumur darah. Tetapi nalar yang terlibat dalam 
1001 kejahatan itu adalah nalar yang bertindak di bawah tekanan. 
Nalar realistik ini selalu mahir menggunakan banyak kedok: nalar membumi yang 
selalu terjepit dalam batas-batasnya. Karena itu menyamakan tingginya kekejian 
manusia dengan meningkatnya perkembangan nalarnya adalah berbahaya.

Kedua, nalar memiliki batas tak tertembus sehingga bukan saja tak bisa dimintai 
tanggung jawab, tetapi juga mematok mentok perkembangan manusia. Kehidupan (dan 
sekaligus Kematian) harus dipertahankan terus-menerus, apa pun caranya, apa pun 
korbannya, dengan utak-atik nalar.

Berdasar dua acuan tersebut, kita lalu bisa memaklumi ketika ternyata nalar 
kita selalu sudah terbingkai dalam situasi nyata yang kompleks. Penggunaannya 
tidak pernah berlangsung di sebuah ruang-waktu yang hampa. Ketika digunakan 
demi kepentingan memilih presiden, maka nalar kita sudah terkungkung oleh 
banyak faktor yang bermain di dalam realitas politik pilpres tersebut. 

Keterkungkungan itu makin dahsyat ketika proses pilpres, meski legal dan 
prosedural, di sana-sini memuat cacat dalam rangka hakikat. Meski demikian, 
jika nalar digunakan dengan jujur, sang pengguna akan tetap bisa memilih yang 
baik dari yang buruk. Bisa memilih yang benar dari yang salah. Bisa membedakan 
mana basi dan mana segar.

Justru di sinilah masalah kita yang sebenarnya! Masalah lebih pelik muncul 
justru saat penalaran kita berlangsung dengan baik dan benar, itulah saat 
ketika nalar telah tercerahkan menjadi akalbudi. Maka kejujuran dan kemuliaan 
di awal tulisan akan menuntut keterpenuhan parameternya. Jika tuntutan ini 
dipenuhi secara konsekuen, akibatnya, bagi kita jangan-jangan hanya tersedia 
kemungkinan memilih jelek atau lebih jelek, salah sedikit atau salah banyak, 
dan rusak sedikit atau sekadar rusak? Wah! Jika begitu halnya, ya gampang, 
tinggal ndak usah milih! Klaar!

Begitukah? Sesederhana itukah? Dalam logika normatif yang kaku dan matematis, 
sikap itu tentu saja benar. Tapi kenyataan kehidupan kadang-kadang menuntut 
logika yang lentur, pragmatis dan realistis (kaum rasionalis garis keras tidak 
akan menggubris alasan macam ini). Apalagi, jika kita berani masuk ke ranah 
individu pada tingkatan yang terdalam dan menyeluruh. Barangkali memang tak ada 
manusia yang benar-benar jahat sehingga tak mungkin kita bisa menilai sejarah 
secara hitam putih. Hitler, Nero dan Amangkurat II juga mengandung kemuliaan 
dan kejujuran mereka sendiri. Nah, dalam rangka ini maka para capres dan 
cawapres masih mungkin dikatrol. Misalnya, salah menjadi tidak teliti. Buruk 
sekali menjadi tidak merepotkan. 
Memang. Yang terjadi adalah degradasi nilai kemanusiaan. Tapi degradasi itu 
dalam rangka sistem pikir kita yang sekarang bisa dikatrol juga: degradasi 
dikit ndak papalah asal tetap demi Tanah Air! Nah, bagaimana? (80) 

-L Murbandono Hs, jurnalis, Doktor Filsafat Pendidikan, 1983-2008 tinggal dan 
bekerja di Belanda 

Kirim email ke