http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=63067


Tragedi TKI, "Sinetron" yang Selalu Terulang
Oleh: Wiwin Suwandi




Merebaknya kasus penganiayaan yang menimpa TKI utamanya Tenaga Kerja Wanita 
(TKW) kita di Malaysia ibarat sinetron yang selalu terulang tanpa diketahui 
ending ceritanya. Keseluruhan naskah cerita tentang TKI ini membuktikan sang 
sutradara (baca:negara) tidak serius memberikan jaminan perlindungan hukum 
terhadap TKI.

Dalam hal perjanjian kerja, 70 persen ternyata melegitimasi eksploitasi TKI dan 
menguntungkan majikan (Tajuk Kompas, 29 Juni 2009). Dari tahun ke tahun, 
masalah TKI yang selalu terulang ini cukup mengganggu "keharmonisan" hubungan 
RI-Malaysia. 

Apa yang terjadi dalam "sinetron" TKI ini membuka mata kita akan kurangnya 
kepedulian pemerintah dalam hal perlindungan hukum terhadap TKI di luar negeri. 
Perangkat hukum yang di antaranya telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, ibarat senapan tanpa 
peluru. 

Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut jelas dikatakan bahwa penempatan dan 
perlindungan calon TKI adalah berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, 
keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti 
perdagangan manusia. 

Namun aspek hukum dan kemanusiaan dalam prosedur penempatan TKI ini tidak 
mendapatkan porsi utuh dari negara. Fakta ini sekali lagi membuktikan bahwa 
negara hanya bisa memproduksi dan menghasilkan peraturan, namun di sisi lain 
lemah pada wilayah implementasi. 

Memang sejak beberapa tahun lalu, pengiriman TKI keluar negeri dianggap salah 
satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial di 
Indonesia. Sebagai negara yang masuk kategori miskin di Asia, 

pemerintah menempuh cara penyaluran tenaga kerja di negara-negara yang 
membutuhkan tenaga kerja, seperti Malaysia dan Arab Saudi dengan harapan bahwa 
devisa yang disumbangkan dari sektor ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi 
nasional. 

Persepsi ini tidak sepenuhnya keliru, namun juga memiliki kadar risiko tinggi 
jika tidak dikerjakan dengan cara yang benar. Pemerintah hanya melihat satu 
sisi sumbangan devisa dari jasa TKI tersebut, namun sisi lain seperti 
perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan tidak dipikirkan. 

Sistem pengawasan secara penuh untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan 
para TKI juga tidak diperhatikan. Para TKI dilepas begitu saja dengan bekal 
kemampuan SDM yang masih minim. 

Perjanjian kontrak antara TKI, majikan dan PJTKI juga tidak memposisikan secara 
seimbang hak dan kewajiban masing-masing sehingga TKI berada dalam posisi 
pasif. Akibatnya, TKI kita sangat rawan dieksploitasi dan mengalami kasus 
kekerasan. 

Banyak indikator untuk mengukur lemahnya komitmen negara dalam perlindungan 
TKI. Namun di antara itu; kurangnya perangkat perlindungan, lemahnya posisi 
tawar (bargaining position), hingga tumpang tindihnya peran pemerintah menjadi 
faktor penyebab utama penanganan TKI di luar negeri terbengkalai. 

Dalam hal perangkat perlindungan, secara domestik, perangkat hukum terlihat 
jelas tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara TKI, majikan 
dan PJTKI. TKI cenderung dijadikan objek pemerasan dan ladang eksploitasi 
majikan dan PJTKI. 

Sedangkan dalam Pasal 7 UU No 39/2004 dikatakan bahwa negara wajib menjamin 
terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksanaan 
penempatan TKI, 

maupun yang berangkat secara mandiri; mengawasi pelaksanaan penempatan calon 
TKI; membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar 
negeri; melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan 
perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; memberikan perlindungan pada 
TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna 
penempatan. 

Dalam aspek politik, lemahnya posisi tawar (bargaining position) pemerintah 
dalam melakukan upaya diplomasi untuk sinkronisasi bahasa hukum regulasi 
nasional antara kedua negara (Ina-Malaysia) dalam hal prosedur penempatan dan 
perlindungan terhadap TKI juga menjadi masalah serius. 

Antara pihak-pihak terkait, Deplu dan Depnaker seyogianya proaktif membuat 
formulasi bahasa hukum perjanjian kerja yang bisa disepakati kedua negara. 
Sinkronisasi bahasa hukum antara kedua negara tentang perjanjian kerja dan 
perlindungan hukum terhadap TKI ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya 
tindakan kekerasan terhadap para TKI. 

Namun upaya ini tidak mendapat perhatian serius, sehingga saban hari KBRI 
Malaysia terus disesaki laporan tentang kasus kekerasan yang menimpa TKI. Belum 
lagi kasus Manohara dan sengketa Blok Ambalat antara kedua negara yang 
sementara ramai diperbincangkan. 

Padahal jika dikaji dari segi kadar kebutuhan, Malaysia termasuk negara yang 
sangat bergantung pada stok tenaga migran asal Indonesia. 

Industri perkebunan dan rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan tenaga 
kerja lokal sehingga sangat bergantung pada stok tenaga asal Indonesia yang 50 
persen tenaga kerja migran di Malaysia berasal dari Indonesia (Kompas 30 Juni 
2009). 

Fakta ini seyogianya bisa dijadikan amunisi dan alasan hukum untuk "menekan" 
pemerintah Malaysia dalam hal perlindungan terhadap TKI. 

Erosi Wibawa 

Maraknya kasus kekerasan yang menimpa TKI di Malaysia ibarat jarum jam yang 
selalu berulang. Dalam masalah TKI ini wibawa dan kedaulatan negara sedang 
diuji dan dipertaruhkan. Wibawa negara mengalami pengikisan (baca: erosi) 
akibat keteledoran aparaturnya. 

Keteledoran yang terlampau percaya dan yakin pada keampuhan undang-undang 
tetapi kurang mempertimbangkan dan menghargai aspek kemanusiaan dalam prosedur 
penempatan TKI. 

Sekian lama, ada kesalahan berpikir yang kemudian menjadi sebuah stigma bahwa 
TKI di luar negeri adalah orang-orang bodoh, tak berpendidikan (mayoritas 
demikian), yang mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara dan menyandang 
status sebagai "anak bangsa yang terbuang" sehingga tidak perlu diurusi, tanpa 
kepedulian dan perlindungan hukum yang memadai dari negara. 

Dari aspek kemanusiaan, persepsi ini sepenuhnya keliru dan bertentangan dengan 
prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang menekankan kesetaraan derajat dan 
martabat manusia. UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 11 Tahun 
2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, 

sosial dan budaya/Ekosob (ICESCR) dan beberapa peraturan lainnya telah 
menekankan bahwa hak hidup merupakan hak asasi setiap orang untuk mendapatkan 
kehidupan yang layak demi kemanusiaan. 

Terlepas dari mampu atau tidaknya negara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi 
warganya, maka setiap orang tidak boleh diganggu atau dibatasi kemampuannya 
dalam mencari nafkah. Negaralah sebagai organisasi pengayom yang kemudian 
berkewajiban menyediakan pranata hukum untuk perlindungan terhadap akses 
ekonomi dan hukum bagi warganya. 

Kasus kekerasan terhadap TKI adalah bagian kecil dari keseluruhan tragedi 
kemanusiaan yang menimpa pahlawan devisa di negeri orang. Upah yang minim, 
beratnya pekerjaan yang berbanding terbalik dengan kemampuan fisik, 

jam kerja yang padat dan kurangnya waktu istirahat adalah kompleksitas masalah 
TKI di luar negeri di samping masalah lainnya yang kurang mendapatkan perhatian 
serius dari pemerintah. (**) 

Reply via email to