http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=63211
HAM, Dilema Antara Norma dan Implementasi Oleh: M Rusydi Khalid (Guru Besar UIN Alauddin Makassar) Baru-baru ini, media massa begitu gencar memberitakan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh tiga sosok perempuan Indonesia. Beritanya begitu ramai menghiasi layar kaca, bahkan melebihi berita-berita kampanye. Kasus pelanggaran hak asasi manusia itu begitu menarik untuk disimak, bukan semata karena fakta pelanggarannya, tetapi kasus ini memiliki kandungan normatif baik dalam perspektif hukum positif maupun hukum agama. Manohara Odelia Pinot sang permaisuri jelita yang dizalimi suami dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Juga ada Prita Mulyasari yang dipenjara selama tiga minggu akibat curhatnya melalui e-mail yang menyampaikan RS OMNI Internasional telah menginjak-injak haknya sebagai pasien yang telah membayar mahal, tetapi tidak dilayani secara benar dan profesional. Hal sama Siti Hajar, TKW malang yang disiksa oleh sang majikan di Malaysia dan tidak dibayar gajinya selama 5 tahun. Mereka ini diperlakukan seperti makhluk yang tak punya hak untuk hidup layak, untuk dihargai, untuk diperlakukan setara baik sebagai isteri, sebagai pembantu, atau sebagai pasien. Euforia reformasi membuat banyak orang seperti baru lepas dari himpitan beban sehingga merasa tidak perlu lagi tunduk pada nilai-nilai luhur budaya, tradisi dan agama. Kaum seniman, di antaranya artis, penyanyi dan pemain sinetron menganggap mempertontonkan aurat, berpakaian minim di hadapan publik adalah hak asasi mereka yang tidak boleh dilarang. Mereka tidak risih memakai pakaian yang dahulu dibilang "you can see", atau rok mini. Sebagian anak muda, mahasiswa memandang demonstrasi yang mereka lakukan dengan menutup jalan, membakar ban bekas, untuk memprotes kebijakan pemerintah dan bahkan memaksa agar penguasa memenuhi tuntutan mereka secara instan mengatakan itu adalah hak asasi mereka, dan aparat keamanan tidak boleh menghalang-halangi mereka. Begitupula para politikus yang tidak mendapat jabatan empuk dalam partai yang dibelanya selama ini, seenaknya saja mendirikan partai baru sebagai perwujudan hak asasi mereka untuk mendapat kursi empuk dengan penghasilan puluhan juta sebulan. Para kandidat kepala daerah yang kalah dalam pilkada merasa bahwa mereka berhak menang. Karena kecewa kalah, mereka mengerahkan massa pendukung untuk melakukan tindakan anarkis, pengrusakan, pembakaran fasilitas, dan sejumlah bangunan yang dibangun dari uang rakyat. Implementasi HAM yang dipahami oleh masyarakat ternyata jauh dari makna normatif HAM itu sendiri, baik perspektif hukum positif, maupun norma agama. Meluruskan Paham Memberikan definisi tentang hak asasi menurut versi pikiran manusia, boleh jadi dianggap memiliki bias akibat kepentingan. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap hak asasi harus merujuk kepada teks suci sebagai satu-satunya rujukan yang dianggap mutlak kebenarannya. Dalam kaitan ini, Alquran banyak memiliki rujukan berkaitan dengan hak asasi manusia. Istilah hak asasi berasal dari bahasa Arab; al-haqq, dan al-asas, secara harfiah berarti hak mendasar. Dalam Alquran kata al-haqq dengan berbagai bentuknya disebut sebanyak 287 kali, namun sebagian besar bermakna kebenaran (sebanyak 227 kali). Derivasi dari kata ini "ahaqqu" menunjuk pada kepemilikan atau kewajiban. Dalam Islam sesuai firman Allah dan hadis Nabi, manusia adalah makhluk yang termulia dibanding ciptaan Allah lainnya. Manusia memiliki hak yang patut diterimanya dan kewajiban yang mesti dijalankannya dalam menjalani fungsi kekhalifahan di muka bumi ini. Alquran menegaskan bahwa setiap manusia memiliki hak asasi dan kewajiban sebab semua manusia baik lelaki maupun wanita apapun kebangsaan dan sukunya semuanya adalah ciptaan Allah. Yang termulia dalam pandangan Allah adalah manusia yang paling memahami dan menjalankan kewajibannya terhadap sang Pencipta dan terhadap sesamanya, dan tetap menjaga hak asasinya dan hak asasi orang lain dengan sebaik-baiknya. Dari sejumlah ayat Alquran, dapat dilihat bagaimana Islam menjamin ditegakkannya hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk dihormati, hak persamaan, hak kemerdekaan, hak untuk belajar, hak untuk menolak tunduk pada kemaksiatan, hak untuk praduga tak bersalah sebelum pembuktian secara hukum, dan hak pribadi. Hak asasi manusia dalam Islam menurut Alquran dan Sunnah bersifat universal dan lebih komprehensif dibanding hak asasi yang dideklarasikan oleh PBB yang membatasi hak asasi dalam lingkup negara dan pemerintah yang menandatangani piagam hak asasi itu. Hak-hak manusia diatur secara lebih khusus dalam Islam seperti hak sebagai orang tua, anak, suami, isteri, saudara, kerabat, tetangga, pekerja, sebagai rakyat-pemerintah dan seterusnya. Selain itu, Islam juga tidak hanya menetapkan hak-hak manusia tetapi juga menegaskan adanya kewajiban-kewajiban manusia. Kewajiban-kewajiban pokok manusia tidak ditetapkan dalam deklarasi PBB. Islam menegaskan kewajiban manusia untuk melaksanakan amanah, menjaga hak-hak asasi sesamanya, tidak mengganggu orang lain, mengajak pada kebaikan, mencegah kemunkaran, ikhlas dalam beramal, tidak memakan harta orang lain secara batil, tidak berbuat zalim, tidak menipu, tidak berdusta, tidak menjadi saksi palsu, dan menjalankan sikap yang baik. Hak-hak asasi tidaklah terlepas dari kewajiban asasi, setiap orang memang harus dijamin hak asasinya selama dia juga menjaga hak asasi saudaranya dan tetap menjaga kewajibannya terhadap orang lain. Islam lebih tegas menjaga hak asasi ini dengan menetapkan adanya sanksi hukum yang keras bagi pelanggar hak asasi, berbeda dengan hak-asasi yang dibuat manusia yang banyak-banyak bersifat wacana, seruan moral tanpa ada tindakan tegas sanksi yang berat yang termaktub dalam piagam itu bagi yang tidak mengacuhkannya. Dalam kaitan ini Islam sangat menjaga hak untuk hidup, karena itu Islam mengharamkan pembunuhan manusia yang tak berdosa yang tidak melakukan perbuatan yang menyebabkannya harus dibunuh atau dihukum mati. QS An-Nisa:92 menegaskan ancaman bagi pembunuh yakni neraka jahanam. Di samping itu, Islam juga menjaga hak untuk memeroleh rezeki. Hak ini merupakan hak antara manusia dengan Tuhannya. Setiap orang harus diberi kesempatan untuk menikmati rezki yang merupakan milik Allah (QS al-A'raf: 22). Islam juga menjunjung tinggi hak untuk beragama. Hak ini juga merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk menganut kepercayaan atau agama yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya (QS al-Baqarah: 256). Prinsip inilah yang dipegang oleh penyebar Islam terdahulu. Sekalipun mereka telah menguasai satu wilayah yang luas, mereka hanya menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang luhur dan membiarkan penduduk yang berbeda agama/keyakinan dan tetap menjaga hidup berdampingan secara damai, untuk tetap menganut agama dan keyakinannya itu. Hak pada harta merupakan salah satu unsur hak asasi yang dihormati oleh Islam. Menurut Alquran harta benda seluruhnya pada hakikatnya adalah milik Allah, dan manusia hartawan, orang-orang kaya adalah orang-orang yang dititipi Allah untuk mengelola dan membagi harta itu secara baik. Alquran tidak membenarkan seseorang menumpuk-numpuk harta untuk memuaskan hawa nafsunya semata dan membiarkan ada orang lain di depan hidungnya hidup menderita karena tidak punya harta. (QS al-Ahzab: 59). Ada sejumlah ayat yang mengemukakan bahwa harta adalah ujian, harta adalah fitnah, dan pada harta ada syahwat ( keinginan yang menggebu-gebu). Harta benda yang tidak ditunaikan haknya yakni fungsi sosialnya untuk menyantuni fakir-miskin, pengangguran, orang yang tertimpa bencana, dapat berbalik menjadi azab bagi orang kaya dengan berbagai bentuknya di dunia ini seperti munculnya kerusuhan sosial, perampokan masal, kejahatan yang terorganisir. Dalam kaitan ini, Rasulullah mengemukakan: Dunia ini dihuni empat kelompok manusia. Pertama, manusia yang diberi harta yang banyak dan ilmu pengetahuan lalu dia tetap bertakwa kepada Tuhannya dan memperbaiki hubungan baik dengan sesama manusia serta berbuat kebenaran karena Allah. Kelompok ini paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan. Kedua, manusia yang tidak diberi harta oleh Allah dan punya niat yang tulus dengan berkata; "Sekiranya saya punya harta saya akan beramal seperti amalnya si fulan," maka niat dan pahalanya sama. Ketiga, manusia yang diberi Allah harta tapi tidak diberi ilmu, maka dia memperlakukan hartanya semaunya tanpa ilmu dan tidak takut pada Tuhan, tidak memperbaiki hubungan dengan sesama manusia, tidak menjalankan kebenaran, tidak menunaikan hak Allah pada hartanya. Kelompok ini adalah yang terjelek. Keempat, kelompok yang tidak berharta dan tidak punya ilmu yang berkata, seandainya saya punya harta maka saya akan berbuat (pelanggaran) seperti si fulan. Maka niat dan dosanya sama. Islam juga sangat concern dengan hak-hak sosial. Islam menetapkan bahwa bukan hanya hak asasi pribadi yang harus dijaga tapi juga hak asasi sosial atau masyarakat sebagai orang tua, suami-istri, anak-anak, kerabat, tetangga, teman, pelayan, pemimpin, anak yatim, tamu. Semua punya hak dan kewajiban. Hak kedua orang tua adalah harus dihormati dan ditaati perintahnya yang baik. Hak anak diberi asuhan, pemeliharaan dan pendidikan yang baik, diperlakukan secara adil. Hak istri tidak boleh dianiaya, Nabi bersabda; "Janganlah seorang suami mencambuk istrinya seperti menyiksa seorang budak kemudian menyetubuhinya di malam hari." Demikianlah Islam mengajarkan tentang hak asasi manusia yang senantiasa dilandasi atas dasar nilai-nilai humanisme, keadilan dan kepedulian. Wallahu Alam bi al-Shawab.