http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/84956/70/13/Demokrasi-dan-Tertib-Kependudukan
Demokrasi dan Tertib Kependudukan Senin, 13 Juli 2009 00:00 WIB SALAH satu masalah besar negara ini adalah buruknya administrasi negara, termasuk buruknya administrasi kependudukan. Buruk dalam penghitungan, buruk dalam pendataan, buruk dalam pencatatan, buruk pula dalam pemutakhiran data. Padahal data kependudukan itu sangat penting dalam rangka memenuhi hak-hak warga seperti hak memilih dalam pemilu. Itulah sebabnya pemilu akan selalu rawan gugatan karena ada hak demokratis warga yang dirampas dan diabaikan akibat buruknya administrasi kependudukan. Pada pemilu legislatif lalu, misalnya, gugatan terhadap daftar pemilih tetap (DPT) bermunculan di mana-mana. Bukan hanya menyangkut pemilih ganda atau mereka yang sudah meninggal tetap masuk DPT, melainkan lebih parah dari itu. Contohnya apa yang terjadi di Papua, jumlah pemilih sama dengan total jumlah penduduk. Itu keberengsekan yang luar biasa karena bayi pun berhak memilih. Ketidakberesan data pemilih terus berlanjut pada pemilihan presiden 8 Juli silam. Hasil penyisiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tim sukses calon presiden dan calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto menemukan data ganda sekitar 11,2 juta pemilih dalam DPT di Pulau Jawa. Temuan itu berupa nomor induk kependudukan (NIK) yang sama berjumlah 5,89 juta; NIK dan nama sama sebanyak 2,79 juta; kemudian NIK, nama, dan tanggal lahir sama sebanyak 1,39 juta; serta NIK, nama, tanggal lahir, dan alamat sama sebanyak 1,148 juta. Data itu berasal dari DPT di 70 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Bahkan tim sukses pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengklaim telah menemukan 49 juta penduduk yang belum terdaftar sebagai pemilih pada pemilih presiden yang tersebar di Lampung, Merauke, Jombang, Kalteng, dan Kalbar. Ketidakberesan DPT, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden, ikut menggelembungkan jumlah mereka yang tidak memilih (golput). Bila pada Pemilu 2004, total golput hanya sekitar 16%, pada Pemilu 2009 melonjak menjadi sekitar 30%, alias naik hampir dua kali lipat. Meningkatnya jumlah golput serta banyaknya gugatan dan kecaman terhadap DPT karena berengseknya administrasi kependudukan itu tidak boleh dibiarkan. Kenyataan buruk itu harus segera dihentikan dengan menata ulang sistem dan kelembagaan yang berkaitan dengan pendataan dan administrasi kependudukan. Harus diakui dengan jujur, fakta melonjaknya jumlah penduduk dari tahun ke tahun jelas tidak bisa dikelola dan ditangani dengan seadanya, apalagi dengan serampangan. Apakah jadinya negara ini bila jumlah penduduk yang pada 2004 'baru' sekitar 214 juta orang meningkat menjadi 235 juta orang pada 2009, dan diperkirakan bisa mencapai 255 juta orang pada 2015, dikelola secara serampangan? Mendata dan mengelola jumlah penduduk yang demikian besar sudah tentu membutuhkan tingkat ketertiban dan keakuratan administrasi yang tinggi yang hanya dapat dipenuhi birokrasi pemerintahan dalam negeri yang profesional, berdedikasi, dan apolitis. Selain itu, koordinasi antarlembaga, seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan Badan Pusat Statistik serta Departemen Dalam Negeri, perlu ditingkatkan. Kisruh DPT pada pemilu mestinya mendorong kesadaran akan pentingnya membangun sistem administrasi kependudukan yang terpadu dan mampu dengan akurat mengikuti pertumbuhan penduduk yang tinggi serta migrasi penduduk yang dinamis. Apa pun alasannya, negara tidak boleh mengabaikan, apalagi mengebiri, hak-hak dasar warga seperti hak konstitusional untuk ikut memilih dalam pemilu. Semua yang buruk pada Pemilu 2009 hendaknya jangan sampai terulang kembali pada Pemilu 2014.