Please Vote my Blog at SINI

Menangkan total hadiah 15 juta

Kitab Amsal adalah manual pendisiplinan anak dari Tuhan. Kita telah
melihat bahwa kitab ini dituliskan bagai “anakku” dan “anak-anakku.”
Kitab ini berisi banyak sekali petunjuk untuk membantu orang tua
mendidik anak-anak, dan juga menunjukkan mereka bagaimana caranya
menerapkan rotan pendisiplinan ketika diperlukan. Ada lebih banyak
informasi yang benar tentang membesarkan anak dalam satu kitab kecil
Amsal ini dibandingkan semua buku “psikologi anak” yang pernah ditulis.
Saat ini kita tidak akan membahas pendidikan anak secara umum, tetapi
secara khusus tentang pendisiplinan anak dan pemakaian rotan.

1. ALASAN UNTUK MELAKUKAN DISIPLIN ANAK
Rotan atau tongkat adalah obat yang keras. Apakah memang diperlukan?
Alkitab tidak membiarkan kita menebak-nebak mengapa kita perlu
mendisiplinkan anak-anak kita dengan cara yang keras.
ALASAN PERTAMA UNTUK DISIPLIN ADALAH SIFAT DARI ANAK (”Kebodohan melekat pada 
hati orang muda,” Amsal 22:15).
Ia memiliki sifat orang berdosa dan secara alami akan tidak taat dan
mengikuti jalan kebodohan dari pada jalan hikmat (Ams. 22:15). Filosofi
dan teknik pendidikan anak yang benar dimulai dengan mengerti sifat
dari seorang anak. Psikologi anak modern dimulai dengan ide bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik dan mencoba untuk mengembangkan
kebaikan dasar itu. Alkitab mulai dengan poin bahwa manusia memiliki
sifat jatuh dalam dosa dan bermaksud untuk membawa mereka kepada
pertobatan dan kelahiran kembali melalui instrumen Hukum Allah dan
Injil Yesus Kristus, dan memacu mereka kepada pertumbuhan rohani
melalui alat-alat seperti persekutuan, penyerahan diri, ketaatan, dan
pemisahan.
Alasan lain untuk disiplin adalah karena apa akan terjadi jika seorang anak 
tidak didisiplinkan.
Anak-anak yang tidak mendapat didikan disiplin yang benar akan
berlanjut dalam arah kebodohan yang secara alami ia miliki (Ams.
22:15). Kebodohan hanya dapat diusir dengan pendidikan yang saleh dan
penerapan tongkat didikan.
Anak-anak yang tidak didisiplinkan dengan benar akan mendatangkan
duka dan malu kepada orang tuanya (Ams. 17:21, 25; 29:15). Tidak banyak
hal yang lebih menyakitkan dan membuat putus asa para orang tua
dibandingkan seorang anak yang menyimpang dan memberontak.
ALASAN LAIN KITA HARUS MENDISIPLINKAN ANAK-ANAK KITA ADALAH KARENA APA YANG 
AKAN TERJADI JIKA SEORANG ANAK DIDIDIK DENGAN BENAR
Anak-anak yang didisiplinkan dengan benar akan berjalan di jalur hikmat dan 
bukan kebodohan (Ams. 22:6)
Janji Allah dalam Amsal 22:6 adalah bahwa anak yang dididik
sedemikian rupa, tidak akan menyimpang dari didikan tesebut dan dari
jalan yang benar ketika dia menjadi dewasa. Ini tidak berarti bahwa
anak yang dididik sedemikian tidak akan pernah memberontak terhadap
didikannya dan tidak pernah menyimpang. Hanya berarti bahwa jika ia
memberontak, ia akan bertobat dan kembali kepada hikmat “ketika ia
tua.” Juga tidak berarti bahwa setiap anak yang dididik sedemikian rupa
akan menjadi hamba Kristus yang berapi-api, karena kita tahu bahwa
tingkat dedikasi seseorang kepada Kristus adalah masalah keputusan
pribadi. Tetapi kita yakin bahwa ayat ini memang berarti bahwa seorang
anak yang dididik sedemikian tidak akan tersesat dan menolak kasih
karunia Yesus Kristus dan iman kepada Allah yang hidup. Allah berkata
tentang Abraham: “Sebab Aku telah mengenal dia, supaya diperintahkannya
kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut
jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan,
dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya
kepadanya” (Kej. 18:19). Kita tahu bahwa anak Abraham, Ishak, berjalan
menurut jejak iman ayahnya dan tidak berpaling kepada berhala-berhala.
Ada sebagian orang yang tidak percaya bahwa Amsal 22:6 adalah sebuah
janji, tetapi kita tidak dapat mengerti bagaimana mungkin ini bukan
suatu janji, dan suatu janji yang sedemikian menguatkan bagi orang tua
yang secara serius mendidik anaknya. Tetapi, bagaimana denagn orang tua
yang sepertinya membesarkan anaknya dalam jalan Kristus, tetapi mereka
memberontak dan pergi kepada dunia, dan tidak pernah berhubungan dengan
Kristus? Kita semua mungkin pernah tahu kasus-kasus yang demikian.
Apakah artinya Amsal 22:6 bukanlah sebuah janji yang sejati? Jawaban
saya terhadap tantangan seperti ini adalah bahwa ada banyak cara orang
tua Kristen dapat gagal walaupun tampak dari luar mereka membesarkan
anaknya dengan benar, dan kegagalan-kegagalan tersebut dapat
menghancurkan efek dari pendidikan mereka. Kurangnya kasih,
keduniawian, kemunafikan, tidak memakai tongkat didikan, dan mengasihi
dunia adalah lima hal utama yang dapat “merusakkan kebun” sehingga buah
dari rumah tangga itu pahit, bukannya manis, dan pendidikan anak-anak
gagal.
Setelah orang tua yang bijaksana melakukan yang terbaik untuk
mendidik seorang anak dalam jalan yang seharusnya, maka imannya
bukanlah pada pendidikan yang ia berikan, tetapi kepada Allah penuh
belas kasihan dan karunia yang mengerjakan segala sesuatu untuk
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia dan yang dipanggil sesuai
dengan rencanaNya (Rom. 8:28).
Anak-anak yang didisiplinkan dengan benar luput dari neraka (Ams.
23:13-14, terjemahan Indonesia “dunia orang mati”). Ayat ini mengandung
janji yang berharga, dan tentunya Firman Tuhan dapat dipercaya.
Tentunya ini tidak berarti, bahwa seorang anak dapat diselamatkan di
luar Injil Yesus Kristus. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa orang
yang percaya pada Kristus memiliki hidup yang kekal, dan mereka yang
tidak percaya dalam Kristus tidak akan melihat hidup (Yoh. 3:36). Tuhan
Yesus mengatakan kepada Nikodemus yang beragama bahwa kecuali seorang
dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah (Yoh. 3:3).
Apa yang diajarkan oleh Ams. 23:13-14, dalam terang kebenaran
Perjanjian Baru, adalah bahwa orang tua Kristen berhikmat yang
mendisiplinkan anak-anaknya dengan benar dan mengajarkan pada mereka
Injil, akan memiliki sukacita melihat mereka diselamatkan. Hal ini
mirip dengan janji dalam Kis. 16:31, ketika Paulus dan Barnabas
memberitahu kepala penjara Filipi, “Percayalah kepada Tuhan Yesus
Kristus dan engkau akan selamat, engkau DAN SEISI RUMAHMU.” Keluarga
seseorang tidak secara otomatis diselamatkan ketika ia sendiri
diselamatkan, tetapi dengan percaya pada Kristus, seorang individu
berada dalam posisi siap memaparkan keluarganya kepada Injil.
Disiplin yang benar dan pemakaian tongkat didikan mempersiapkan anak
untuk keselamatan dengan cara mengajar padanya pertobatan dari dosa dan
hormat kepada otoritas.
Anak-anak yang didisiplinkan dengan benar akan memberikan
ketentraman dan sukacita kepada orang tuanya (Ams. 29:17). Hal ini
seharusnya menjadi motivasi yang kuat bagi para orang tua untuk
melakukan apapun yang perlu dilakukan demi mendidik anak mereka dalam
jalan Tuhan. Tidak ada yang dapat lebih menentramkan hati orang tua
Kristen dan menyukakan mereka selain tahu bahwa anak-anak mereka
berjalan dengan Kristus, dan tidak ada pengorbanan yang terlalu besar
untuk itu.
2. CARA YANG BENAR PENDISIPLINAN ANAK
DISIPLIN HARUS DIMULAI AWAL (Ams. 13:24; 19:18). Kata “pada
waktunya” Amsal 13:24 berarti sejak awal. Lihat Kejadian 26:31 dan 2
Tawarik 26:15. Disiplin harus dimulai sejak seorang anak dapat mengerti
apa yang hendak dikomunikasikan oleh orang tuanya, dan ini biasanya
dalam bebarapa bulan pertama. Jika disiplin tidak dimulai awal, maka
bisa menjadi terlambat, dan anak tidak anak merespon dengan benar. Sang
anak harus didisiplinkan “selama ada harapan.” Waktu yang terbaik untuk
mendidik seorang remaja adalah ketika dia masih kanak-kanak.
DISIPLIN HARUS DIPAKAI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN YANG BENAR (Ams. 22:6)
Koreksi dan penggunaan tongkat hanyalah sebagian kecil dari
pendidikan seorang anak. Orang tua harus melancarkan program pendidikan
penuh waktu untuk mendidik seorang anak dalam jalan yang seharusnya,
dan dalam konteks pendidikan yang demikian, jika seorang anak tidak mau
taat, maka ia harus dikoreksi dengan tongkat. Tetapi bukan hanya
pengoreksian seorang anak yang akan membuat dia berjalan di jalan yang
benar ketika ia dewasa, tetapi adalah mendidik dia dalam jalan
tersebut, dan ini termasuk semua yang terlibat dalam pendidikan,
contohnya, mengembangkan hubungan yang dekat dengan dia, mengajarinya
Alkitab, membangun dalam dirinya karakter yang bermoral, menjangkau
hatinya dengan kebenaran, mendidik dia tentang bahaya-bahaya yang
menantinya di dunia, dll.
Pendidikan harus membawa seorang anak dalam jalan yang benar. Ia
harus diajar “dalam jalan yang patut baginya.” Hal ini tidak mengacu
pada jalan alami seorang anak, tetapi kepada jalan Tuhan. Kata Ibrani
yang diterjemahkan “didiklah” (hanak) berarti “mempersempit.” Hal ini
mengacu pada tindakan mempersempit jalan seorang anak sehingga
berpadanan dengan jalan Allahyang sempit dan membatasinya dengan Firman
Allah sehingga ia tidak masuk ke jalan yang lebar yang menuju kepada
kebinasaan (Mat. 7:13-14).
DISIPLIN HARUS MEMPERGUNAKAN TONGKAT DENGAN EFEKTIF (Ams. 23:13-14, 24; 29:15).
Tongkat disebut empat kali dalam Amsal dalam hubungannya dengan
disiplin seorang anak. Benda ini adalah instrumen disiplin yang patut
dalam Alkitab. Sebuah tongkat bukanlah tangan orang tua, dan juga bukan
ikat pinggang, bukan cambuk, juga bukan sebuah tinju, bukan
tempelengan, bukan tendangan, bukan makian, juga bukan ancaman. Kamus
Webster tahun 1828 mendefinisikan sebuah `tongkat’ (rod dalam bahasa
Inggris) adalah “cabang atau batang panjang dari tumbuhan kayu manapun;
sebuah cabang, atau akar dari semak-semak….” Lihat Kej. 30:37 dan Yer.
1:11. Generasi Amerika yang dulu menyebut tongkat ini “tree switch.”
Nenek dari pihak ibu saya menggunakan rotan dari pohon-pohon yang
tumbuh sekitar rumah dia di Florida tengah, dan rotan-rotan itu
sedemikian efektif sehingga semua anak-anaknya menyatakan iman dalam
Kristus saat dewasa dan semua memiliki keluarga yang sukses tanpa
perceraian.
Tongkat tidak boleh ditahan-tahan (”Siapa tidak menggunakan tongkat,
benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia
pada waktunya,” Ams. 13:24). Ini berarti takut menggunakan tongkat.
Tongkat tidak digunakan ketika ia ditinggalkan sama sekali. Banyak
orang tua yang menggantikan tongkat dengan trik-trik manipulasi
psikologi. Alkitab mengatakan bahwa orang tua yang demikian sebenarnya
tidak mengasihi anak-anak mereka.
Tongkat tidak dipakai dengan semestinya ketika ia tidak diterapkan
ketika seharusnya dipakai. Ada orang tua yang sudah mulai menggunakan
tongkat didikan dengan benar, tetapi kemudian mereka mengendur. Ada
juga yang memakai tongkat sesekali, tetapi mereka tidak melakukannya
dengan konsisten setiap kali hal itu diperlukan. Jangan tertipu. Firman
Allah berkata, “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya…”
Ada banyak hal yang akan menggoda orang tua untuk tidak menggunakan
tongkat, seperti tangisan anaknya (Ams. 19:18), keletihan fisik,
ketidaksabaran dengan kemajuan disiplin yang pelan, interferensi dari
teman maupun keluarga yang bermaksud baik tetapi salah, dan frustrasi
mental, tetapi jika tongkat tidak digunakan ketika seharusnya ia
digunakan, anak tidak akan mendapat disiplin yang patut.
Tongkat tidak digunakan dengan seharusnya ketika ia tidak digunakan
kepada sebagian anak-anak. Cukup sering terjadi bahwa orang tua lebih
tegas terhadap anak pertama dibandingkan anak-anak yang lahir
setelahnya. Cukup sering bagi orang tua yang mendapat anak pada umur
lanjut untuk tidak menggunakan tongkat.
Tongkat harus digunakan ketika anak itu memberontak (Ams. 22:15;
23:13). Tongkat yang alkitabiah adalah tongkat pengoreksian. Tongkat
tidak boleh dipakai semata-mata karena orang tua frustrasi dengan sang
anak; ia dipakai untuk mengoreksi seorang anak yang menolak untuk
mendengarkan perintah-perintah dan instruksi verbal. Ia dipakai untuk
menekankan pentingnya ketaatan yang sejati dan yang cepat. Ia dipakai
untuk mengoreksi ketidaktaatan dan pemberontakan.
Tongkat harus dipakai dengan kekuatan yang cukup agar memberikan
koreksi pada anak (Ams. 23:13). Tongkat adalah untuk tujuan memukul.
Seharusnya ada rasa sakit, dan seharusnya rasa sakitnya cukup untuk
menyampaikan pesan yang diinginkan dan menghasilkan penyerahan hari
yang nyata. Jika tongkat telah dipakai tetapi anak masih tetap dalam
ketidaktaatan, maka artinya ia belum dipakai dengan kekuatan atau
persistensi yang cukup. Orang tua sering gagal dalam poin yang satu
ini. Mereka menggunakan tongkat sedikit, tetapi tidak cukup untuk
membawa hasil yang diinginkan, dan mereka lalu berpikir bahwa metode
ini tidak bekerja. Problemnya bukan pada tongkat; problemnya adalah
penyalahgunaannya, dan penggunaan yang inkonsisten dan setengah hati.
Saya masih ingat teman Kristen yang memiliki seorang anak lelaki dua
tahun yang ekstra besar dan ekstra pemberontak. Ibunya akan “merotan”
dia dengan memberikan beberapa pukulan pada popoknya yang tebal dengan
tangannya, dan anak itu secara literal tertawa dan berlanjut pada
kenakalan dan pemberontakannya. Tidak heran, ketika anak itu mendekati
umur remaja, ia tidak dapat dikendalikan lagi. Penggunaan yang
alkitabiah akan tongkat tentunya dapat menghentikan pemberontakan yang
menakutkan itu dari awalnya dan menyelamatkan keluarga tersebut dari
banyak sakit hati dan juga menyelamatkan anak itu dari banyak
kesedihan. Kebodohan yang terikat pada hati seorang anak harus diusir,
dan hal ini memerlukan kekuatan yang benar, dan ketetapan yang teguh
dan ketekunan yang mantap (Ams. 22:15).
Tongkat harus dipakai daripada memberikan perintah dan ancaman
berulang-ulang. Banyak orang tua yang masuk ke dalam perangkat
memberitahu anaknya “jangan” berulang kali, dan memperingatknnya dan
mengancamnya, daripada dengan tenang dan cepat dan konsisten
menggunakan tongkat untuk mendidik anak agar taat pada perintah yang
pertama. Jika ia tidak taat setelah SATU perintah, ia harus dipukul
dengan rotan hingga ia taat. Jika ia diberikan banyak perintah sebelum
ia dipukul dengan rotan, maka sebenarnya ia diajar untuk TIDAK taat,
dan ia sedang mendidik orang tuanya, bukan sebaliknya. Ia belajar bahwa
orang tuanya tidak benar-benar sepenuh hati ketika mereka memberinya
perintah, atau bahkan ketika mereka memperingatkannya, karena mereka
membiarkan dia melakukan banyak aksi ketidaktaatan.
DISIPLIN HARUS DILAKUKAN DENGAN ALASAN YANG BENAR DAN DENGAN SEMANGAT YANG 
BENAR (Ams. 3:11-12; 13:24: 22:6).
Jika orang tua tidak memiliki motivasi dan semangat yang benar
ketika menggunakan tongkat, maka ia tidak akan berhasil dan dapat
menghasilkan kebalikan dari ketaatan yang saleh. Motivasi yang benar
adalah keinginan untuk mendidik anak tersebut, sehingga ia akan berada
di jalan yang benar, dan semangat yang benar adalah semangat mengasihi.
Jika motivasi dan semangatnya adalah amarah, atau dendam, atau iri
hati, atau frustrasi, atau keinginan untuk mencelakai atau hal-hal
kedagingan lainnya, tongkat akan lebih berbahaya daripada bermanfaat.
Saya menyesal saya tidak mengerti hal-hal ini dengan lebih baik ketika
saya masih orang tua muda dan anak-anak saya masih kecil, tetapi kini
saya memahaminya karena kasih karunia Allah, dan saya mendorong para
orang tua muda untuk melaksanakan disiplin anak dalam semangat yang
benar. John G. Paton, misionari tersohor ke kepulauan Hibrida Baru,
yang menderita amat sangat demi Kristus dan memenangkan banyak pemburu
manusia kepada Kristus, dalam biografinya menggambarkan pendidikan dan
disiplin yang ia terima sebagai seorang anak. Ia tumbuh besar di rumah
tangga yang bahagia tetapi sangat rohani, dan disiplin sangat efektif
dalam hidup setiap dari sebelas anak di rumah tangga itu. Setelah
menggambarkan bagaimana keluarga menghabiskan hari minggu mereka dan
bagaimana anak-anak dengan hati-hati diajarkan doktrin Alkitab
sepanjang minggu, dan bagaimana ayahnya menggunakan tongkat didikan
ketika diperlukan, ia mengamati: “Tentu saja, jika orang tua tidak
saleh, dan tulus, dan penuh kasih, – jika seluruh kejadian itu dari
kedua pihak hanyalah sekedar suatu pekerjaan, atau lebih buruk lagi,
sesuatu yang munafik dan palsu, – hasilnya pastilah jauh berbeda! Tuhan
kiranya menolong rumah tangga di mana semua hal ini dilakukan hanya
dengan kekuatan semata dan bukan dengan kasih!” (John G. Paton:
Missionary to the New Hebrides, 1891).

DISIPLIN SEHARUSNYA DILAKUKAN SAMBIL BERPIKIR TENTANG KEKEKALAN
(”maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan
itu,” Ams. 22:6; “engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati,”
Ams. 23:14).
Orang tua tidak boleh berpikiran pendek. Dengan memikirkan masa
depan, orang tua dapat melihat melampaui air mata sang anak dan
melampaui keletihan dan ketidaksabarannya sendiri, melihat kepada hari
saat anak telah dewasa dan bahkan melampaui itu kepada hari sang anak
meninggalkan dunia ini dan masuk ke surga atau ke neraka.

(Disadur dari Way of Life)

Dede Wijaya
TOKO BUKU ROHANI DIGITAL
http://dedewijaya.blogspot.com




      

Kirim email ke