============ ========= ========= ========= ========= ====== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= ====== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Jumat, 24 Juli 2009  
Kaya Rasa, Kaya Makna
Oleh : Gede Prama
“Cingkul, Cungkul, cangkul yang dalam...”
Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar 
bisikan gurunya pada akhir meditasi.
Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah 
mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan kini pada saat 
ujian dijaga polisi, bahkan terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.
Sekolah yang Indah
Di banyak tempat ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena 
dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah tak ada habisnya. Ini memberi 
inspirasi, saatnya merekontruksi sekolah agar indah.
Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. 
Pada hari pertama peserta diminta membawa makanan nasi bungkus karena tidak 
disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika 
makan, peserta diminta  meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan 
peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang 
lain.
Pada hari kedua juga diminta bawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang 
dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit 
hanya membawa nasi putih saja. Teryata aturannya berubah, peserta harus memakan 
nasi yang dibawa sendiri.
Yang ingin diilustrasikan disini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya 
manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang betapa 
sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. 
Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: “Memberi, 
memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah 
rajin memberi”.
Di sekolah, guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak 
didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan 
pentingnya memberi.
Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja 
mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan 
dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.
Tiga tangga pemberian
Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita. “mau 
bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.
Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang 
memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang hahkan terbunuh 
agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam 
pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai 
memberi beasiswa anak-anak miskin.
Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, 
mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. 
Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, 
biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar 
batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, 
“Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah 
menjadi pelayan.”
Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, “Semasih ada 
ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini, agar ada 
yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”
Penggalan laga di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, 
akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga dan buah bertumbuh. Kehidupan 
manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang. “mencangkul 
hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya 
makna. Sampai di sini, guru berbisik bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.
Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan 
yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum 
terbiasa melepaskan.
Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan 
uang, tubuh pun diikhlaskan.
Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan 
padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. 
Unsur api menyatu degan api agar makhluk bisa memasak Unsur udara bersatu 
dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut 
kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. 
Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah 
memberikan.
Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. 
Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya 
sekolah, biaya berobat, biaya keadilan yang serba mahal.  [GEDE PRAMA Penulis 
buku Simfoni di Dalam Diri Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan-Kompas, 
21/7/09.]
------- 
Manusia, semua makhluk hidup, alam dan seisinya adalah unsur penting dari 
sebuah ekosistem kehidupan. Harmoni dan keseimbangan kehidupan pun terus 
dijaganya. 
Bila kemudian sebagian menangis oleh karena beban biaya sekolah, biaya 
kesehatan dan biaya keadilan. Maka bukalah lebar2 pintu telinga, cepatkan 
langkah kaki untuk mendaki, masyarakat dan pemerintahpun semakin mengerti dalam 
menentukan wujud solusi, yang tentu sangat berarti.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
Mau mencoba? 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
Mau mencoba ?




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke