http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=11494
Jum'at, 21 Agustus 2009 , 13:25:00 Sudahkah Guru Kita Merdeka? Oleh : P. Adrianus Guru jutaan jumlahnya, dia ada di mana-mana, di rumah, di Sekolah, di Jalanan, di Mall yang megah itu, di trotoar dan di emperan toko. Ada yang fisiknya kecil, ada yang sosoknya besar, ada pula yang tidak kelihatan, benda mati atau benda hidup. Mengapa? Karena setiap momen dalam hidup ini adalah hasil dari pembelajaran dengan sang guru yang beragam. Bahkan ternyata, guru yang paling baik adalah pengalaman (yang tidak berwujud). Penulis membatasi guru di sini pada sosok guru di sekolah. Dalam rangka menyemarakkan peringatan enam puluh empat tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sudahkah guru-guru di sekolah merdeka?. Merdeka mengemukakan pendapatnya, ekspresinya, mengajarnya atau bahkan jiwanya sekalipun?. Iwan Fals, musikus dan penyanyi menyebut guru dengan panggilan Oemar Bakriâ, mengendarai Sepeda Unta dia pergi mengajar pelajaran ilmu pasti, gajinya kecil biasa dikebiri untuk ini-itu. Apakah guru kita di zaman ~High Tech seperti guru Oemar Bakri dulu?. Nyatanya ada banyak guru yang sudah menggunakan ~montor (istilah Jawa, artinya Motor). Mungkin saja masih ada guru yang naik sepeda ketika mengajar (atau masih ada pula yang berjalan dengan kakinya), karena pertimbangan yang sangat matang, misalnya tidak ikut-ikutan berkontribusi Karbondioksida (CO2) di atmorfer yang memang sudah telanjur banyak, apalagi di musim kemarau ada banyak orang membakar lahan untuk tujuannya sendiri-sendiri. Alasan lainnya yaitu hemat bahan bakar minyak (BBM) agar bisa menyisihkan BBM untuk anak-cucu nanti atau seribu alasan lainnya dimana sang guru tersebutlah yang tahu. Guru memang di gugu dan ditiru, jadi panutan, dicontoh. Tingkah lakunya di masyarakat diharapkan juga baik dengan pesona yang tiada taranya (memang ada pula guru yang masih kolonial dan kejam). Biasanya dipercaya masyarakat dan seterusnya. Namun, guru juga merupakan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mengapa? Karena sebenarnya jasanya sudah banyak, sehingga tidak ada tempat lagi untuk menyematkannya di baju. Apakah tingkah laku para guru sekarang ini dapat digugu dan ditiru? Apakah para guru rela disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?. Menurut UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang dimaksud Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Menyambut â?~hari jadiâ?T Republik Indonesia ke-64 ini, patut kiranya kita merefleksi lagi, makna keguruan kita, sehingga para guru dianggap sudah merdeka, seperti RI yang sudah menapaki usia yang tidak muda lagi. Intinya, apakah guru-guru kita yang mengajar di sekolah â?" yang dijuluki Pahlawan Tanpa Tanda Jasa â?" sudah merdeka? Untuk menjawab pertanyaan reflektif tersebut, ada baiknya kita mengecek beberapa hal yang sekiranya, menurut penulis paling tidak mendekati menjadi guru yang merdeka. Pertama, sudahkah guru mengajar dengan tulus? Tulus ini berkaitan dengan etos mengajar, sehingga guru dalam mendampingi murid di kelas atau di masyarakat penuh dengan roh keguruannya. Tulus juga berkaitan erat dengan loyalitas dan totalitas. Apakah para guru kita sudah mengajar dengan penuh loyalitas dan totalitas dalam mendampingi murid? Tidak asal-asalan, yang penting mengajar (transfer of knowledge) apalagi anak orang lain. â?oNgapain capai-capai â?~marah-marahâ?T ketika murid tidak mendengarkan penjelasannya, kan mereka anak orang, bukan anak sendiri?â?, ungkap sang guru yang telah hilang keguruannya. Masih perlukah guru yang merdeka itu menanamkan kejujuran dalam proses pendidikan? Apakah guru buang muka ketika melihat anak muridnya menyontek? Kedua, apakah guru telah menjadi guru biofili bukan nekrofili? guru biofili memungsikan diri sebagai fasilitator dan mitra belajar yang saling menghormati dan menghargai demi kemajuan bersama, merancang pembelajaran yang menyenangkan. Guru tidak hanya berfungsi mentransfer ilmunya (to have), tapi menjadi guru (to be). Guru biofili memiliki hubungan proaktif dan win-win solution, jiwa yang hidup dan bila seorang guru senantiasa belajar dengan mensinergikan otak kiri-otak kanan, pancaindera dan hatinya untuk memeroleh sumber ilmu yang hakiki. Guru nekrofili sebaliknya. Ketiga, apakah guru telah yakin dengan masa depannya? Apakah telah memiliki jaminan hidup yang layak untuk saat ini dan untuk saat nanti?. Tidak baik memang mencari perbandingan dengan negara lain, misalnya di Prancis, perbedaan gaji guru dengan pegawai lain mencapai 157%, di AS 128%, Australia 116%, Selandia Baru 185%, dan Belanda 111%, bila dibandingkan dengan rata-rata gaji pegawai di sektor industri, gaji guru SD dan sekolah lanjutan jauh lebih tinggi lagi, di Swedia 235%, di Jerman Barat (sebelum reunifikasi) 213%, Belanda 126% dan Australia 155% (Sudalim Gymnasthiar, Pikiran Rakyat, 22/11/2005). Ini hanya perbandingan saja, bukan memohon agar gaji guru Indonesia seperti negara lain itu, tapi kalau bisa kenapa tidak? Lalu, apakah gaji guru yang besar lalu guru akan sejahtera? Hemat penulis yang lebih baik adalah gaji guru itu cukup. Maksudnya, cukup untuk makan sehari-hari, cukup untuk uang sekolah anak-anaknya, cukup untuk membeli pakaian untuk sekeluarga, cukup untuk beli buku dan akses informasi global agar terus dapat mengupdate pengetahuannya, cukup untuk liburan dengan keluarga, cukup untuk membeli kendaraan yang diinginkan, cukup untuk biaya berobat ke rumah sakit dan cukup untuk biaya hidup ketika tidak sanggup lagi mengajar (biaya pensiun), sehingga guru tidak berhutang sana-sini, "gali lubang tutup lobangân". Keempat, apakah guru kita sudah merasa tenang dalam menjalani hidup?. Memang di jaman sekarang ini tidak ada lagi desingan peluru, gemuruh suara roket mengejar target buruan, tidak lagi perang, tapi mungkin ada pula guru yang sering mendengar letusan bom di Tanah Air kita. Mengajar dengan tenang, tidak diburu-buru setoran perkakas rumah tangga oleh rentenir, atau kreditan lainnya. Ngos-ngosan memikirkan asap dapur masih bisa ngebul ndak besoknya. Wah memang berat tantangan hidup para guru, tapi juga pasti bapak-ibu, saudara/i lainnya juga dapat merasakan hal ini. Jadi, para guru harap tenang karena barangkali ada juga yang mengalami perasaan seperti itu. Kelima, apakah para guru kita saat ini sehat-sehat saja? Ada cukup uang untuk berobat, makan yang sehat seimbang, ada cukup waktu untuk berolahraga, agar bugar saat mengajar. Ataukah, guru kita tidak cukup waktu untuk berolahraga karena waktu dihabiskan untuk mengajar sana-sini, ngeles sana-sini, privat sana-sini?. Menjaga kesehatan itu perlu, makan harus seimbang. Bukankah ada nasehat bijak, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula. Keenam, apakah guru sudah bebas berkata-kata, berekspreasi, bisa mengemukakan, bilang ya bila ya, sebaliknya, bisa berteriak bila digencet, menjerit bila disakiti, mengatakan yang benar, jujur, berani berkata tidak bila tidak sesuai dengan hati nuraninya? Akhirnya, jika sudah menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan di atas dengan baik (ya), hemat penulis, dapatlah para guru tersebut menjadi guru yang merdeka, sehingga kata, â?Merdeka, Merdeka, Merdeka!!!â? membumi di tengah-tengah guru. Mudah-mudahan. (*)