====================================================== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
====================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri hasil PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Perlu Kebijakan Berani
Komoditas Beras Bisa Menjadi Pelajaran Berharga 
Perlu ada kebijakan berani dari pemerintah untuk menghentikan impor bahan 
pangan secara bertahap. Tanpa itu, selamanya Indonesia, berkubang dengan impot 
pangan. Dalam kasus ini, komoditas beras bisa dijadikan pelajaran berharga.
“Kalau tidak ada keberanian dan pemerintah, apalagi kalau hanya saling 
menyalahkan antar menteri maupun departemen, dalam lima tahun ke depan tidak 
akan tercapai keinginan untuk swasembaga pangan,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang 
dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, Senin (24/8) di Jakarta.
Indonesia kini tergantung cukup dalam pada impor pangan. Lebih dari 5 miliar 
dollar AS atau setara Rp 50 triliun Iebih devisa dikeluarkan untuk mengimpor 
pangan. Indonesia, yang punya panjang pesisir 95.181 kilometer dengan luas 
perairan 5,7 juta kilometer persegi dan luas total sekitar 8 juta kilometer 
persegi, bahkan harus mengimpor 1,58 juta ton garam per tahun senilai Rp 900 
miliar. 
Keberanian itu, kata Hidayat, bisa dalam bentuk penghentian kebijakan impor 
bahan pangan secara bertahap. “Atau dengan memberikan disinsentif terhadap 
importir. Kalau itu dilakukan, tahun-tahun mendatang, saya yakin satu demi satu 
swasembada akan tercapai,” katanya.
“Saya ingat ketika bangsa kita ada masalah dengan impor beras. Kemudian kita 
bertekad impor distop dan Bulog diberi kewenangan penuh (membeli beras dalam 
negeri). Ada upaya bersama antar departemen dan akhirnya berhasil swasembada 
dan ekspor,” katanya.
Hidayat juga mengungkapkan rasanya malu sebagai negara maritim Indonesia harus 
mengimpor garam dan ikan. Padahal, laut terbentang luas dan kalau mau, kita 
mampu melakukannya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPB, Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana 
Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kondisi pangan 
dalam negeri tidak separah yang diberitakan.
Menurut Sri Mulyani, hal itu karena pemenintah sudah memiliki sejumlah program 
prioritas yang dilakukan untuk mengamankan pasokan dan memperkuat industrinya, 
yakni untuk komoditas daging sapi dan kedelai.
“Pemerintah sudah memiliki program mendorong produksi daging sapi dan kedelai 
menjadi prioritas di Departemen Pertanian. Lain pemberian subsidi bunga kepada 
peternak sapi dan petani kedelai. Itu adalah kebijakan pemihakan. Memang pada 
saat harga di luar tinggi, petani akan bersemangat bertahan di komoditas ini. 
Namun, pada saat harga turun, para petani juga memiliki persepsi risiko 
terhadap harga itu,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, program peningkatan populasi sapi dilakukan dengan 
memberikan bantuan subsidi bunga kredit. Anggaran yang diberikan Rp 145 miliar. 
Adapun impor daging dan jeroan sapi pertahun mencapai Rp 4,8 triliun.
Begitu pula target peningkatan produksi kedelai. Departemen Pertanian pada 
tahun 2008 dan 2009 tidak pernah tercapai. Nilai impor kedelai per tahun 
mencapai 595 juta dollar AS atau setara Rp 5,95 triliun.
Guru besar ekonmi pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin, 
mengungkapkan, Indonesia tidak tepat mendesain kebijakan politik pertanian 
selama ini
Sejak gerakan revolusi hijau dimulai, negara-negara di dunia, termasuk 
Indonesia, tahun 1970-1980, mengadopsi desain kebijakan politik pertanian 
negara lain dengan alih teknologi yang melupakan kearifan lokaL
Di satu sisi Indonesia berhasil meningkatkan produksi beras secara tajam, 
tetapi rupanya adopsi teknologi tak pernah sampai di level paripurna. Saat 
negara maju sampai di level aman karena kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari 
dalam negeri, Indonesia tak sanggup mewujudkannya. Strategi mekanisasi produksi 
pangan tidak sesuai dengan keanifan lokal bangsa yang mengutamakan sistem 
kekerabatan. Akibatnya, Indonesia tentu tertinggal.
“Cara mereka (negara maju) agak sulit dipaksakan di sini. Sehingga kita sulit 
menyamai negara-negara yang sudah aman dalam pangan. Karena itu, kita tak bisa 
melepaskan masalah-masalah yang dirancang dan kacamata mereka,” ujar Bustanul.
Impor Ikan kembung
Selain mengimpor garam, Indonesia dengan luas laut 5,7 juta kilometer persegi 
juga masth mengimpor ikan kembung. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy 
Numbeni, Jumat, mengakui, industri perikanan di Indonesia mengimpor beberapa 
komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi oleh pelaku usaha di dalam negeri, di 
antaranya ikan kembung. Padahal, Indonesia juga mencatat sebagai pengekspor 
komoditas serupa
“Pasti ada kebutuhan-kebutuhan terhadap produksi. Memang kita harus share 
(impor) juga, tetapi seberapa jauh impor harus kita pertanyakan juga,” ujar 
Freddy.
Besaran impor, ujar Freddy, harus dipantau untuk tetap menjaga pasar dalam 
negeri. Karena itu, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan instansi, di 
antaranya Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan.
“Pembatasan impor produksi perikanan perlu memikirkan dampak terhadap industri 
dan tenaga kerjanya. Khan itu, di perlukan solusi yang paling tepat,” ujar 
Freddy.
Impor produk perikanan menunjukkan trend meningkat Tahun 2008, volume impor 
produk perikanan 280.179,34 ton dengan nilai 268 juta dollar AS. Nilal impor 
itu naik 68 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 160 juta dollar AS 
dengan volume impor 120.000 ton.
Kenaikan impor perikanan antaa lain dari produk ikan segar dan beku yang naik 
150 persen dibandingkan dengan tahun 2007.
Tahun 2008, produk ikan kernbung yang diimpor dan Pakistan yang beredar di 
pasaran domestik terbukti mengandung formalin.
Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut 
Hutagalung, pemerintah hingga kini belum rnenerbitkan aturan tentang impor 
produk perikanan sebagai katup pengendali impor. (MAS/OIN/LKI) KOMPAS 25/8/2009
---------
Pilar Ekonomi Bangsa
Ketika negara dihadapkan dengan tujuan utama bangsa Indonesia menurut UUD 1945, 
diantaranya adalah untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat. Apakah kemudian 
kita kelaparan dan sengsara apabila hidup hanya dengan sedikit terigu, mie, 
cake, ice cream, cheese, daging, ikan, bahkan garam dan berbagai makanan 
komoditi impor? Sedangkan banyak sumber daya ekonomi bangsa dari berbagai 
komoditi siap untuk dikonsumsi: sebagai bahan pokok pangan bangsa Indonesia, 
dari beras, daging, susu, tempe, sagu, singkong, ubi, jagung, kedelai, dsb. 
Apakah makan harus dengan daging Impor, susu impor, udang impor, jagung impor, 
kedelai impor, gula impor, garam impor, minyak impor, ikan impor, ...sampai 
pada bahan baku impor dan suku cadang impor..?! 
Kalau hal ini memang hanya menghamburkan devisa negara, hingga memacu 
ketimpangan distribusi ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak merata, mungkin 
ke depan negara diharapkan segera bertekad untuk menerapkan kebijakan yang 
berani untuk diwujudkan. Atau kalau memang tega pada rakyat, dengan cara 
membuang waktu, kesempatan, tenaga, sumberdaya dan devisa begara, ya silahkan 
diteruskan, dikembangkan dan dilanjutkan saja....! huuh!
Apapila keadaan ini dibiarkan terus menerus, kapan petani, buruh pertanian, 
para penggiat usaha pertanian, agro, peternakan, perikanan dapat maju dan 
berkembang? Karena sesungguhnya realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistim 
yang berjalan dan berkembang selama ini hanyalah menciptakan untuk dan bagi 
para pedagang (treaders) saja. Tentu dengan praktik halus ’memeras’ 
kesejahteraan ekonomi rakyat, menekan ’devisa’ ekonomi rakyat – dengan praktik 
sistim distribusi ekonomi pasar bertingkat – tentu dengan tujuan untuk mendapat 
keuntungan dari selisih harga yang harus ditanggung rakyat, kadang sama sekali 
tanpa perlu menambah nilai, kualitas dan produktivitas komoditi tersebut. 
Praktik ini sudah berlangsung puluhan dekade, seumur dengan lahirnya ekonomi 
pasar, lebih-lebih beberapa dekade terakhir di Indonesia telah terbukti. 
Kenyataan membuktikan, sektor perdagangan inilah yang paling pesat berkembang, 
dan sangat menguasai ekonomi rakyat.
 Padahal bisa jadi ini merupakan praktik penghisapan ekonomi rakyat dengan 
halus, legal dan serba melenakan semua pihak dan bagi siapapun – bak terjerat 
candu ekonomi perdagangan. 
Bagaimana pemberdayaan ekonomi rakyat ini terus diperjuangkan oleh rakyat, 
negara dan diwujudkan oleh para penggiat ekonomi yang berorientasi kerakyatan. 
Tidak hanya menggema nyaring disuarakan sebagaimana pengharum saat kampanye 
menjelang pemilu saja, namun juga perlu segera diwujudkan dalam praktik dan 
teladan. Kondisi ini pun membawa rakyat akan sadar dan siap untuk memasuki 
tahap masa ekonomi prihatin, dengan tidak mengikuti gaya hidup konsumtif, 
berhemat, dan mengerem arus konsumerisme yang dilancarkan oleh arus sistem 
ekonomi pasar global. – Kemudian berusaha tidak terseret dalam pusaran arus 
pasar global dengan neraca defisit ekspor. Melainkan berusaha keras menghemat 
sebagian besar devisa negara untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan negara, 
untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia di masa depan.
Jadi kebijakan ekonomi makro dan sektor riil hendaknya segera diarahkan kepada 
industri agro; sektor pangan, pertanian, perikanan, perkebunan, kelautan dan 
sebagainya, sebagai pilar ekonomi bangsa. Kebijakan ini menjadi sangat 
prioritas untuk dilaksanakan dan diwujudkan langkah demi langkah. Segera 
kurangi drastis, bila perlu stop impor komoditi pertanian. perikanan, bahan 
pokok pangan dan segera berdayakan sumber daya ekonomi agro Indonesia, sebagai 
pilar ekonomi bangsa. Maka pada saatnya nanti kita akan melihat betapa besar 
devisa rakyat dan negara yang bisa dihemat, kemudian menggelinding kencang, bak 
bola salju, berputar-putar, menabrak apa saja yang ditemuinya, untuk; 
membangkitkan dan mensejahterakan rakyat dan bagi kemajuan negara dengan cepat. 
Tidak percaya? Silahkan dipraktikkan saja, nanti akan segera lihat buktinya!
---- 
Tari Pended
Kemudian yang menarik lagi, apabila Anda ingat tari pendet, lagu Indonesia raya 
plesetan, batik, lagu rasa sayange, reog, angklung, manohara, pulau linggitan, 
pulau ambalat dsb, maka Anda akan segera ingat negara tetangga kita Malaysia. 
Rasanya nasionalisme Malaysia kini sudah sangat Indonesia, ini sudah terbukti 
dan tidak diragukan lagi. Paling tidak dibandingkan dengan para pejabat yang 
berwenang di Indonesia sendiri, justru belum tentu perhatian seperti mereka. 
Lihat saja spirit dan nasonalisme Malaysia dalam beberapa hal tersebut, sangat 
Indonesia sekali, bukan?! Maka banyak yang setuju bila kemudian ada wacana 
nakal; sebaiknya Malaysia dijadikan propinsi yang ke-34 saja, lihat saja lagu 
kebangsaan Malaysia “Negaraku“, dan bandingkan dengan lagu “Terang Bulan“ yang 
dicipta tahun 1954, satu tahun sebelum Malaysia merdeka, sempat membuat gerah 
Lokananta, pemilik lagu tersebut. Jadi klop sudah. Toh dalam banyak hal di atas 
sudah memenuhi
 syarat, tinggal nanti ditanyakan kepada yang bersangkutan: Apakah memang mau 
dan benar2 sudah mantab?! 
Pendet, kalau dalam bahasa Jawa berarti ‘ambil’. Ya sudah bagaimana kalau 
gantian Malaysia di pendet (diambil) saja. Toh, calon gubernur provinsi ke-34 
nya pun juga sudah siap menjabat. Yang pasti sangat reformis, performis dan 
feminis, siapa lagi kalau bukan Manohara D. Pinot. Dijamin tidak ada lagi 
seorang pun pangeran kerajaan yang akan terlantar, apalagi sampai disakiti atau 
mengalami siksaan. Demikian juga para TKW dan TKI-nya. Nah bagaimana dengan 
Anda, setujukah dengan propinsi ke-34 tersebut?! Toh, untuk hal yang satu ini 
kita harus menjunjung tinggi dan tidak boleh melanggar hak dan martabat bangsa 
lain.
Saya membayangkan seandainya mendiang Mbah Surip masih hidup, pasti akan 
berdendang dan berkomentar : “Ayo tak gendong, enak tho, mantep tho… ayoo mau 
kemana..?! dari pada ribut terus…nanti kepanasan…!  Ha ha ha ha….! “
I LOVE YOU FULL…MALAYSIA! yang telah membuat kami Indonesia bangun 
terus…..tidur lagi! Bangun lagi…tidur lagi! Kemudian bangun….sadar dan segera 
bangkit untuk maju!  
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
Mau mencoba?! 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
Ayo mencoba !




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke