================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari Pahlawan 10 Nopember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Benturan Naratif 
Rabu, 11 November 2009 | 02:31 WIB
Oleh : YF La Kahija 
Semua kebenaran melalui tiga tahap. Pertama, ia ditertawakan. Kedua, ia 
mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar (Arthur Schopenhauer).
Baik KPK maupun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum sedang menjalani 
masa-masa beratnya dalam mencitrakan diri secara positif. Banyak pujian telah 
menyertai kinerja kedua lembaga ini. Namun, belakangan, keduanya terlibat 
konflik yang harus segera diselesaikan.
Konflik antara KPK dan kepolisian kembali menyedot perhatian pascapenahanan 
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Bila benar kepolisian bersandar pada 
bukti kuat, tak ada yang salah dalam proses hukum ini. Sudah sepantasnya, 
sebagai penegak hukum, kepolisian berusaha mengungkap kebenaran.
Persoalan yang muncul tampaknya terkait interpretasi mengenai kemungkinan 
penggembosan kinerja KPK yang sudah mendapat persepsi positif dari masyarakat. 
Kehilangan yang dianggap baik itu pasti menggelisahkan. Karena itu, juga tidak 
salah bila muncul kecurigaan tentang motif penggembosan KPK.
Konflik naratif
Kini, hubungan antara KPK dan kepolisian bisa dilihat sebagai konflik naratif 
atau cerita. Menurut Sara Crobb, akar konflik sebenarnya amat sederhana, yaitu 
kecenderungan manusia untuk berasumsi negatif tentang pihak lain. Asumsi 
negatif ini lalu bertransformasi menjadi macam-macam cerita subyektif yang 
melebar dan meluas sehingga mengaburkan inti permasalahannya.
Dalam teori naratif, konflik selalu dilihat sebagai persaingan antarcerita. Di 
satu sisi, masyarakat mendengar cerita tentang penyalahgunaan wewenang dan 
pemerasan pimpinan KPK; di sisi lain masyarakat mendengar tentang kriminalisasi 
KPK oleh kepolisian. Cerita itu lalu diinterpretasikan lagi sehingga muncul 
cerita-cerita baru.
Fakta sosial yang terjadi adalah KPK membentuk cerita tentang kepolisian dan 
kepolisian membentuk cerita tentang KPK. Dalam konflik, kita selalu dihadapkan 
pada dua cerita. Apa pun bentuknya, setiap pihak yang bercerita pasti 
menampilkan alur cerita menurut versinya. Dalam alur itu, informasi yang 
menguatkan akan diangkat dan informasi yang melemahkan akan diredam.
Dampak terjauh dari pengekangan informasi seperti ini adalah kebuntuan atau 
polarisasi antara kepolisian dan KPK. Baik KPK maupun kepolisian seolah 
memiliki amunisi untuk saling memerkarakan. Bila ini berlarut-larut, eskalasi 
konflik akan meninggi dan kepercayaan masyarakat akan penegak hukum akan 
merosot.
Kehadiran mediator
Supaya akar konflik bisa terlihat jelas, perbedaan yang ada antara KPK dan 
kepolisian sebaiknya tidak disembunyikan, tetapi ditonjolkan sejelas-jelasnya. 
Ini mungkin terasa aneh, tetapi begitulah hukum psikologis cerita. Semakin kita 
meredam informasi, semakin banyak suara penasaran yang mengganggu. Sebaliknya, 
semakin kita memperjelas informasi, semakin banyak suara bisa diredam.
Untuk meluruskan cerita yang berkembang tentang KPK dan kepolisian saat ini, 
dibutuhkan mediator. Dari mediator ini, kita bisa mengharapkan tiga langkah.
Pertama, merancang sesi-sesi pertemuan pribadi untuk mendapatkan gambaran 
komprehensif sambil berusaha melihat keterkaitan isi cerita kedua pihak. 
Prinsipnya, ”informasi yang lengkap akan memperjelas duduk perkara”.
Kedua, mediator bertindak sebagai fasilitator, berusaha menemukan niat positif 
setiap pihak. Di sini mediator harus menjadi pendengar yang baik dengan menjaga 
netralitas dalam mendengarkan alasan-alasan yang mendasari tindakan setiap 
pihak. Prinsipnya, ”ada niat positif di balik setiap tindakan”.
Ketiga, mediator bisa menggunakan keingintahuan dan kebingungan publik sebagai 
pertanyaan-pertanyaan yang membantu kedua pihak melihat secara jernih 
tindakannya. Lewat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, harapan akan solusi yang 
ideal bisa dimunculkan. Prinsipnya, ”di balik mendung, selalu ada matahari”.
Dalam proses itu, baik kepolisian maupun KPK mungkin memperlihatkan perbedaan 
dalam dasar-dasar pemikiran mereka. Bukan masalah. Lewat proses itu, masyarakat 
bisa mendapatkan cerita-cerita baru, yaitu cerita-cerita yang sebelumnya tidak 
dimunculkan. Pada gilirannya, cerita-cerita ini dapat membantu masyarakat 
merevisi persepsinya tentang KPK dan kepolisian.
Menuju harmoni
Salah satu sumber konflik yang kerap diangkat untuk menggambarkan konflik 
kepolisian versus KPK ini adalah metafora ”buaya lawan cicak”. Sekilas, 
metafora ini menunjukkan superioritas kepolisian. Superioritas di sini 
tampaknya tidak dimaksudkan untuk arogan, tetapi untuk menunjukkan ”perasaan 
berharga” di tengah persepsi masyarakat yang negatif.
Dalam beberapa kesempatan, saya berada di kantor polisi dan merasakan adanya 
itikad baik untuk berubah. Di dinding koridor-koridor utama, misalnya, 
terpajang jelas kutipan kata-kata bijak atau imbauan untuk berlaku jujur dalam 
bekerja. Jadi, bila disobek lebih dalam, metafora itu menunjukkan keinginan 
kepolisian untuk mendapatkan penerimaan dan kepercayaan yang sama positifnya 
dengan KPK.
Alih-alih terfokus pada konflik, KPK dan kepolisian perlu melihat diri sebagai 
satu keluarga. Dalam keluarga, konflik bukanlah malapetaka, tetapi sarana untuk 
mengeluarkan racun yang potensial merusak dari dalam. Meminjam istilah medis, 
konflik adalah sarana detoksifikasi. Dengan berpikir seperti ini, ungkapan ”KPK 
lawan kepolisian” menjadi tidak relevan.
Ada baiknya bila proses hukum dibiarkan berjalan. Masyarakat tetap membutuhkan 
KPK dan kepolisian. Perjumpaan hukum antara KPK dan kepolisian perlu dilihat 
sebagai dialektika yang sebentar lagi akan melahirkan kebenaran. Setiap cerita 
punya awal, tengah, dan akhir. Apa pun hasilnya nanti, peristiwa ini akan 
menjadi proses pembelajaran tentang pentingnya kerja sama, harmoni, dan 
pencitraan diri yang positif.
Seperti yang dikatakan Schopenhauer pada awal tulisan ini, kebenaran itu 
menetas dengan sendirinya. Diakali dengan cara apa pun, dia akan tetap lahir. 
Proses persalinannya saja yang mungkin sulit. Seruan bijak itu sebaiknya 
menjadi cermin diri bagi penegak hukum untuk lebih introspektif dalam melihat 
peran dan fungsi utama sebagai sahabat kebenaran.
[YF La Kahija Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang, 
Kompas, 11/11/09]
------
Pahlawan Mahasiswa 
Hari ini, sehari setelah hari pahlawan 10 Nopember 2009, saya datang di salah 
satu universitas ternama pendukung reformasi 1998, beberapa mahasiswa aktifis 
HAM dan kemanusiaan menggelar potret dokumenter peristiwa tragedi bulan Mei 
1998. Saya berhenti sejenak melihat-lihat foto dokumenter tersebut, tiba-tiba 
mata, hati dan jiwa saya tertegun di salah satu foto nisan salah satu mahasiswa 
korban tragedi tersebut. Di atas nisan dan fotonya, biasanya tertulis tulisan 
RIP atau apa... namun ini terbaca dengan dengan jelas tulisan : “Dibunuh oleh 
bangsanya sendiri”. Sedikit terguncang, bergetar dan merinding saya mengulangi 
membaca tulisan tersebut. 
Dalam hati saya bergunam, mungkin merekalah salah satu pejuang yang gugur 
sebagai pahlawan reformasi Indonesia... Beristirahatlah dalam kedamaian abadi 
di sisi-NYA.. 
Saya menjadi ingat tentang KPK yang ingin juga dibuat sama, juga hal2 tragedi 
sejarah yang pernah terjadi atas bangsa ini, atau peristiwa ini, itu, di sana 
di situ, . . . atau kadang ada di sekitar kita, atau malah jangan2 ada di dalam 
alam bawah sadar kita.. ya berarti harus cepat2 diselamatkan, “save our soul” 
dalam segala dimensi kehidupan.  “Save our nation” para pahlawan bangsa, please!
 
Kemudian saya berjalan lagi menuju tempat yang tidak jauh dari tempat itu, ada 
tertulis pesan perjuangan kemanusian yang harus terus kita lakukan, terpatri di 
atas bongkah batu pualam, yang disampaikan oleh Santo Fransiskus dari Asisi, 
melalui doanya sebagai berikut :
 
TUHAN, jadikanlah aku alat pembawa Damai-Mu
            Penabur cinta di tengah kebencian
            Maaf, di tengah kepedihan hati terluka
Iman, di tengah kebimbangan
Harapan, di tengah keputusasaan
Terang, ditengah kegelapan
 
Guru Ilahi, bantulah agar aku lebih banyak
            Menghibur, dari pada minta dihibur
            Mengerti, dari pada minta dimengerti
            Mencintai, dari pada minta dicintai
 
Sebab, dengan memberi, kita akan menerima
            Dengan memaafkan, kita akan diampuni
            Dengan kematian, kita akan dilahirkan ke dalam kehidupan abadi.
                        [diterjemahkan oleh Frans Seda]
 
Marilah melanjutkan semangat juang, kepemimpinan dan keteladanan para pahlawan, 
bagi generasi masa depan bangsa Indonesia.
 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
 
Ikutilah :
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009] 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [ Alarm gempa ] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke