http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009110908010616

      Senin, 9 November 2009 
     
      BURAS 
     
     
     
Korupsi di Balik Formal Legalistik! 

       
      H. Bambang Eka Wijaya



      "SEPEKAN ini informasi kontroversial dari berbagai sisi terkait kasus 
kriminalisasi KPK melimpah!" ujar cucu. "Bagaimana menilai mana yang benar?"

      "Kebenaran setiap informasi tergantung bukti-bukti pendukungnya!" tegas 
kakek. "Sulit menilai mana yang benar, karena banjir informasi itu terkait 
kekuasaan, yang cenderung korup seperti kata Lord Acton! Selain korupsi juga 
merupakan kejahatan luar biasa, extraordinary crime!"

      "Contoh kekuasaan cenderung korup!" kejar cucu.

      "Dengan kekuasaan orang bisa membuat aturan untuk semua, tapi hanya 
menguntungkan diri dan kelompoknya!" tegas kakek. "Dengan itu, ketika ia 
menjalankan aturan itu secara formal legalistik, yang efektif terjadi justru 
sebuah korupsi--dengan benefit berupa apa pun itu!"

      "Korupsi sebagai kejahatan luar biasa!" kejar cucu.

      "Ketika pejabat main mata dengan pengusaha dalam proyek, misal, 
rehabilitasi jalan!" jelas kakek. "Semua aturan main formal legalistik 
dijalankan, tender, pengawasan dengan menguji di semua titik kualitas 
proyeknya! Tapi, setelah proyek selesai, jalan yang seharusnya tahan dua tahun 
saat musim hujan sudah berlubang-lubang kembali! Itu contoh korupsi kejahatan 
luar biasa, selalu ada hal-hal yang sukar disingkap di balik formal legalistik 
yang serbaberes itu!"

      "Jadi rakyat tahu ada korupsi karena jalan cepat rusak lagi, atau 
bangunan baru ambruk tanpa gempa atau badai, aparat hukum tak bisa menemukan 
kesalahan karena aturan formal legalistiknya beres!" timpal cucu. "Begitulah 
korupsi sebagai kejahatan luar biasa! Cuma, kembali ke masalah tadi, bagaimana 
jutaan orang bisa menilai lalu mendukung salah satu pihak--seperti dilakukan 
facebookers--padahal tak mudah memastikan bentuk dan sifat korupsi kekuasaan di 
balik proses formal legalistik?"

      "Kalau orang banyak begitu, penilaian bertolak dari pengalaman bersama 
bersifat umum, hingga masalah terakhir itu cuma salah satu dari semua 
pengalaman bersama yang dirasakan tentang praktek di balik proses formal 
legalistik--dalam hal ini yang dilakukan polisi!" jawab kakek. "Contoh, 
sebagian besar facebooker itu pernah mengurus SIM dengan tarif formal 
legalistik di formulir Rp52.500, tapi entah berapa yang mereka bayar! Ini 
membuat mereka bisa cepat memihak!"

      "Penilaian orang banyak itu bisa salah, jika kali ini polisi melakukannya 
dengan benar!" timpal cucu.

      "Memang!" tegas kakek. "Tapi kasus terakhir ini bagi mereka cuma pemicu, 
sedang tujuan mereka perbaikan praktek formal legalistik polisi secara 
komprehensif dan mendasar, mengubah total budaya kerja polisi yang mereka 
anggap korup! Karena itu, kalau mereka salah dalam kasus ini, tekanan opini 
mereka justru akan jadi lebih besar, karena selain penasaran, kasus terakhir 
ini juga cuma sasaran antara! Masalahnya, kenapa diberi peluang dapat 
pemicu--trigger factor!?"
     

<<bening.gif>>

<<buras.jpg>>

Reply via email to