Refleksi : Mengapa hanya mafia diganyang? Bukankah bagus apabila  semua 
dipermak?

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=12173

2009-12-01 
Ganyang Mafia, Perbaiki Citra Polri-Kejaksaan 


Anita Retno Lestari 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkesan sensi (senang sensasi) atau 
ingin menarik perhatian, ketika publik dan pers ramai-ramai mengutuk maraknya 
makelar kasus, dengan menggelar deklarasi ganyang mafia (GM) yang dilanjutkan 
dengan rencana membentuk satgas antimafia.

Pada satu sisi, tujuan SBY memang sesuai dengan kehendak publik. Tapi, pada 
sisi lain, SBY terkesan memosisikan Polri-Kejaksaan sebagai pihak tertuduh. 
Akibatnya, citra Polri-Kejaksaan semakin buruk. Sebab, Polri - Kejaksaan adalah 
institusi negara yang menangani setiap kasus hukum sebelum dibawa ke pengadilan.

Seharusnya SBY memilih cara elegan dalam melaksanakan GM. Misalnya, mereformasi 
Polri - Kejaksaan dalam bentuk mereposisi jabatan-jabatan di dalamnya dengan 
mempercepat sistem rotasi dan regenerasi. Ibarat ada kamar yang kotor, kepala 
rumah tangga tidak perlu gembar-gembor ingin mengajak semua orang untuk 
membersihkannya, tapi lebih baik diam-diam menyapunya sendiri hingga 
betul-betul bersih. 

Mafia hukum yang selalu mendukung merajalelanya korupsi di Indonesia bukanlah 
makhluk baru, melainkan mahkluk lama yang telah memiliki sejarah panjang. 
Ketika negara ini baru merdeka, korupsi langsung merajalela, sehingga Bung 
Hatta pernah menyatakan korupsi adalah penyakit kanker yang paling sulit 
disembuhkan, karena sel-selnya menyebar ke seluruh anggota badan (1950). 

Demikian juga upaya pemberantasan korupsi, termasuk GM, bukanlah hal baru, 
melainkan isu yang sudah basi. Dan jika upaya pemberantasan korupsi selalu 
gagal, penyebabnya selalu ketidakseriusan atau hanya merupakan gincu penguasa 
saja sebagai reaksi atas maraknya aksi-aksi massa mengutuk korupsi. 

Dengan memiliki sejarah panjang, mafia hukum selalu hidup bagaikan benalu pada 
institusi penegak hukum, khususnya Polri - Kejaksaan. Dalam hal ini, mafia 
hukum bisa saja terdiri dari kalangan mantan pejabat atau petugas di bidang 
hukum yang sangat memahami persoalan hukum. 

Jika mafia hukum selalu berkolaborasi dengan oknum-oknum di kepolisian dan 
kejaksaan, bukan berarti seluruh jajaran aparat kepolisian dan kejaksaan 
terlibat. Dan ibarat kotoran, mafia hukum hanya mengotori ruang-ruang kerja 
oknum di kepolisian dan kejaksaan. 

Maka jika memang ingin membersihkannya, harus dengan tindakan yang cermat dan 
proporsional, tanpa perlu overacting dan gembar-gembor. 


Selalu Gagal

Oleh karena itu, SBY tidak perlu meniru para pendahulunya yang selalu gagal 
memberantas korupsi. Sejarah panjang mafia hukum yang identik dengan 
merajalelanya korupsi bisa semakin panjang jika SBY tidak serius 
memberantasnya. Lebih dari itu, cita-cita reformasi yang intinya membangun 
pemerintahan yang bersih akan tinggal fatamorgana saja.

Di mata publik, deklarasi GM mengesankan adanya sikap kikuk yang ingin ditutupi 
dengan overacting atau cari muka dan cuci tangan yang kontraproduktif. Sikap 
kikuk dalam pemberantasan korupsi juga bukan hal baru, karena target yang 
hendak diberantas bisa saja teman-teman lama atau bahkan sahabat seperjuangan 
dan mantan senior yang sepatutnya dihormati.

Kini, sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem 
demokrasi, SBY sepatutnya mampu menarik garis tegas yang betul-betul konkret, 
bukan sekadar basa-basi yang akhirnya bisa menggagalkannya dalam memberantas 
mafia dan korupsi.

Sepatutnya SBY memakai kacamata demokrasi, yakni membela kepentingan yang lebih 
besar daripada membela kepentingan sejumlah orang yang betul-betul terbukti dan 
terindikasi tidak bersih lagi.

Munculnya GM dan rencana membentuk satgas antimafia harus bisa sepenuhnya 
membantu Polri - Kejaksaan tanpa perlu merusak citranya. Kasihan Polri - 
Kejaksaan jika citranya jadi makin buruk, sehingga sering dimaki-maki publik.

Pengalaman membentuk Tim 8 yang menuai kontroversi dan cenderung mempermalukan 
Polri - Kejaksaan tak perlu dijadikan tradisi. Jika, misalnya mafia betul-betul 
disinyalir telah marak di tubuh Polri - Kejaksaan, lebih baik SBY 
membersihkannya dengan proporsional, yakni mempercepat rotasi dan regenerasi 
kepemimpinan di dalam Polri - Kejaksaan. 

Jika memang benar Polri - Kejaksaan telah menjadi habibat mafia hukum, semua 
jajaran pemegang tongkat komandan harus diganti dengan wajah baru, segar, serta 
benar-benar bersih. Hal ini tentu lebih baik bagi Polri - Kejaksaan sendiri dan 
sesuai dengan tuntutan reformasi yang notabene kehendak publik. 

Untuk itu, semua pejabat di semua tingkatan di dalam Polri - Kejaksaan yang 
diganti harus bersikap legawa demi membantu Polri - Kejaksaan memberbaiki 
citranya. Ibarat diajak ikut membantu membersihkan rumah sendiri, risiko tampak 
ikut kotor adalah wajar, yang penting rumah bisa betul-betul bersih.

Percayalah, tidak ada anggota keluarga besar Polri - Kejaksaan yang tidak mau 
membantu membersihkan dan memperbaiki citra institusinya.

Penulis adalah Direktur Lembaga Studi Humaniora

Kirim email ke