Refleksi : Kemungkinan selalu ada! Tetapi untuk kemungkinan menjadi kenyataan 
harus ada bukti. Buktinya bukan dari banyaknya mahasiswa atau diciptakan orang 
bergelar, melainkan dari banyaknya penyelidikan ilmiah dan banyak publikasi 
hasil-hasil penyelidikan tsb. Kalau cuma cetak gelar sampai dunia kiamat 2012 
atau sesudah tahun tsb tak akan ada kelas dunia, mimpin tetap mimpi.

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/pt-di-indonesia-jadi-universitas-kelas-dunia-mungkinkah/

Sabtu, 12 Desember 2009 12:28 
PT di Indonesia Jadi Universitas Kelas Dunia, Mungkinkah? 
OLEH: STEVANI ELISABETH



JAKARTA - Menyandang status world class university (universitas kelas dunia) 
memang menjadi impian perguruan tinggi (PT) di seluruh dunia, termasuk 
Indonesia.

     
Bahkan, beberapa PT terkemuka di Indonesia sudah mempunyai target untuk 
menyandang status tersebut. 
Mantan Wakil Rektor University of Hong Kong Prof Kai-Ming Cheng, dalam sebuah 
kesempatan pernah menjelaskan latar belakang yang ­sangat menarik tentang 
­pentingnya sebuah perguruan tinggi menjadi universitas kelas dunia. 
Menurutnya, kondisi dunia saat ini sedang menga­lami perubahan yang sangat 
besar, baik di bidang sosial, organisasi, model pekerjaan, dan perguruan tinggi 
banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternalnya. 


Sekarang ini individu yang bekerja pada frontline (berhubungan langsung dengan 
masyarakat-red), lanjut Kai-Ming Cheng, tidak bisa survive apabila tidak 
mengikuti gerak perubahan, yaitu dapat bekerja dengan tim, tidak memiliki 
keterampilan berlapis, tidak mempunyai kepribadian yang bagus, tidak kreatif 
dan tidak berani mengambil risiko. 


"Di Hong Kong, akibat perubahan ini sedikitnya 300.000 orang per tahun menjadi 
penganggur. Pemerintah Hong Kong tidak punya cara lain kecuali mendongkrak 
pendidikan tingginya agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan 
yang begitu cepat. Salah satunya dengan mendesain perguruan tinggi berkelas 
dunia," kata salah satu konseptor world class university di University of Hong 
Kong ini. 


Oleh sebab itu, pada tahun 1999-2000, pemerintah Hong Kong melakukan reformasi 
besar terhadap sistem dan paradigma pendidikan di Hong Kong. Berdasarkan Times 
Higher Education Supplement pada tahun 2007, dari seratus universitas terbaik 
di dunia, University of Hong Kong berada pada urutan 18 besar, berdekatan 
dengan Universitas Harvard, Yale, Oxford, Cambridge, dan Massachusetts 
Institute of Technology. 


Dalam rangka menuju universitas kelas dunia, harus ada empat hal dalam setiap 
satuan pendidikan tinggi yaitu reputasi internasional, prestasi penelitian, 
lulusan yang terkemuka, dan partisipasi internasional. "Kalau empat hal ini 
belum terpenuhi, jangan bermimpi menjadi universitas kelas dunia," tegas 
Kai-Ming. 


Tiga lembaga pemeringkat global yang menjadi rujukan untuk mengukur reputasi 
internasional yakni Times Higher Education Supplement, Shanghai Jio Tong World 
University Ranking, dan Webometrics Rangking of World Universities. 
Times Higher menggunakan komposisi penilaian dilihat dari reputasi akademik 
berdasarkan peer review (40 %), survei pengguna/employer review (10%), 
mahasiswa internasional (5%), international staff (5%), rasio mahasiswa:dosen 
(20%), dan rata-rata sitasi per dosen (20%). 


Shanghai Jiao Tong memakai standar penilaian: lulusan yang memenangi nobel 
(10%), staf pemenang nobel (20%), hasil riset staf dikutip dalam 21 bidang 
(20%), artikel dalam nature dan science (20%), artikel dalam jurnal 
internasional (20%), kinerja akademik relatif terhadap ukuran institusi (10%). 
Sementara itu, Webometrics melihat pemanfaatan ICT sebagai indikator, yakni 
ukuran website (20%), link/jumlah sambungan yang diterima dari luar (50%), 
jumlah rich files (15%), serta publikasi ilmiah, laporan, jumlah sitasi dan 
lainnya (15%). 


Dalam segi pembiayaan, ada tiga hal yang secara simultan dapat dilakukan, yaitu 
pendanaan melalui APBN, donasi pihak swasta dan peran lembaga-lembaga 
pilantropy. Kai-Ming mengatakan bahwa membangun universitas kelas dunia 
bukanlah pekerjaan yang bisa diraih dalam semalam. "Kendati demikian harus 
dimulai. Jika tidak dimulai, suatu negara tidak akan pernah sampai pada puncak 
pencapaian itu," lanjutnya. 
 
Masih Jauh 
Bila mengacu pada kriteria yang dibuat oleh ketiga ­lembaga pemeringkat 
tersebut, keberadaan PT di Indonesia masih jauh dari kriteria ­universitas 
kelas dunia. Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal, bila 
­dilihat dari titel jurnal untuk 1 juta penduduk, Indonesia baru memiliki 0,8 
artikel yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Jumlah tersebut masih 
jauh dari India yang sudah ada 12 artikel dan Malaysia yang sudah memiliki 21,3 
artikel, yang telah dipublikasikan dalam jurnal internasional. 
Fasli mengakui, ada ­beberapa artikel di Malaysia yang ma­suk dalam jurnal 
­internasional merupakan artikel yang dibuat oleh dosen-dosen asal Indonesia. 
"Kita tidak bisa mengklaim itu, meski ada karya dari dosen-dosen asal 
Indonesia. Masalah­nya, dosen-dosen ­tersebut bekerja di Malaysia," lanjutnya. 


Bila mengacu pada pemeringkatan yang dilakukan oleh Shanghai Jiao Tong, maka 
peluang perguruan tinggi Indonesia untuk menjadi universitas berkelas dunia, 
jauh dari harapan. Pasalnya, belum ada orang Indonesia yang menjadi pemenang 
nobel. 
Oleh sebab ini, Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas tengah menerapkan kebijakan 
kepada para dosen yang sedang mengambil master dan doktor di luar negeri, wajib 
mencantumkan perguruan tinggi asalnya di Indonesia pada hasil penelitiannya. 
Tahun ini, ada 1.700 dosen yang sedang mengambil master dan doktor di luar 
negeri. "Saya yakin jumlah ini terus melonjak 2-3 tahun ke depan," tegas Fasli. 


Selain itu, meningkatkan mutu dosen di perguruan tinggi dengan memberikan 
beasiswa bagi mereka untuk melanjutkan S2 dan S3, baik di dalam negeri maupun 
di luar negeri, meningkatkan peran perguruan tinggi dalam melakukan penelitian, 
serta pengembangan dan pemanfaatan ICT. 


Dia menambahkan, untuk dana penelitian juga telah dialokasikan dana sebesar Rp 
155 miliar hingga Rp 500 miliar. Setiap dosen diberikan dana untuk melakukan 
presentasi penelitian ke luar negeri sebesar Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. 
Perguruan tinggi di Indonesia masih memiliki peluang untuk menjadi universitas 
kelas dunia, asalkan pemerintah sanggup melakukan reformasi pendidikan di 
perguruan tinggi. Selain itu, harus pula didukung dengan dana dari APBN, donasi 
swasta dan philanthropic. n

Kirim email ke