http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=12455
2009-12-14 Pembuktian Terbalik dan Tindak Pidana Korupsi SP/Alex Suban Oleh: Bambang Widjojanto,Legal Advisor Partnership for Governance Reform Pascakasus kriminalisasi pimpinan KPK yang sangat menghebohkan, sebagian publik masih penasaran dan "marah", karena pihak yang diduga melakukan rekayasa kriminalisasi seolah tidak tersentuh hukum. De facto, proses hukum terhadap pihak yang diduga keras secara telah jelas dan tegas berkomunikasi mengatur rekayasa kasus, maupun pihak-pihak lainnya yang disebut keterlibatannya dalam kasus, belum dilakukan secara optimal, untuk tidak menyebutnya, mereka tidak tersentuh hukum. Salah satu isu lain yang mengemuka selain hal tersebut di atas berkaitan dengan masalah pembuktian terbalik. Ada banyak kalangan yang membuat pernyataan keliru dan/atau bahkan salah paham mengenai pembuktian terbalik. Kalangan dimaksud mendesak dan menuntut agar pembuktian terbalik dirumuskan dalam revisi UU pemberantasan korupsi mendatang. Secara de facto, pembuktian terbalik secara tidak sadar telah ada dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Lihat saja ketika Polisi Lalu Lintas yang acapkali menanyakan SIM dan STNK pengemudi kendaraan bermotor di jalan raya. Asumsi dasar di balik tindakan petugas dimaksud adalah, seorang pengemudi yang diduga melakukan pelanggaran lalu lintas atau terkadang tidak melanggar sekalipun, selalu diminta untuk memperlihatkan SIM-nya. Pertanyaan tersebut dapat dianggap sebagai keadaan di mana pengemudi diminta membuktikan dirinya memiliki SIM sehingga seyogyanya tidak melanggar lalu-lintas. Kasus itu memperlihatkan seseorang di jalan raya diminta untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, karena seharusnya mereka yang mengemudi di jalan raya sudah memiliki SIM. Dianggap Bersalah Pada hukum acara pidana, tersangka dan/atau terdakwa dilindungi hak-haknya. Ada dua hal penting yang ditujukan untuk melindungi tersangka/terdakwa, yaitu: pertama, perlindungan atas azas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence. Kedua, tersangka/terdakwa dilindungi dari keadaan yang dapat menyebabkan mereka menyalahkan diri mereka sendiri atau non-self incrimination. Pada sistem pembuktian terbalik, tersangka/terdakwa justru dianggap telah bersalah sehingga diminta untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Semula, sistem pembuktian terbalik ini digunakan pada kasus-kasus yang berkaitan dengan perusakan lingkungan. Pada kasus dimaksud, pencemaran acapkali dilakukan oleh pihak tertentu yang menggunakan teknologi tinggi, sehingga pembuktiannya memerlukan proses yang sulit. Itu sebabnya, pihak yang dituduh melakukan pencemaran diminta untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perkembangan penerapan pembuktian terbalik juga disebabkan adanya perubahan paradigmatik perlindungan hukum dalam suatu kasus tindak pidana. Pihak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana juga perlu dilindungi tidak hanya perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa semata. Secara de jure, pembuktian terbalik telah diatur di dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sistem pembuktian terbalik yang dirumuskan dalam perundangan itu disebut sebagai "pembuktian terbalik berimbang" terhadap terdakwa. Maksudnya, penuntut umum juga berkewajiban untuk membuktikan kesalahan dari terdakwa, selain terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 37 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pembuktian terbalik berimbang tersebut digunakan di dalam proses pembuktian di muka persidangan, khususnya berkaitan dengan jumlah harta kekayaan yang dimiliki terdakwa, yang diduga tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya. Hal itu dapat berkaitan dengan berbagai pokok perkara sebagaimana dirumuskan dalam sejumlah pasal di UU Tindak Pidana Korupsi, seperti Pasal 2, 3, 4, serta Pasal 13, 14, 15, dan 16. Di dalam UU dimaksud dan dalam kaitannya dengan dugaan tindak pidana juga dikemukakan, terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Keterangan mengenai harta kekayaan terdakwa tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana. Uraian tersebut menegaskan, pembuktian terbalik yang ada di dalam sistem pembuktian korupsi sesuai hukum di Indonesia mencakup tiga aspek. Pertama, pembuktian dilakukan dalam proses persidangan, bukan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Kedua, pembuktian tidak berdiri sendiri karena hanya untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada. Ketiga, pembuktian berkaitan dan ditujukan untuk melihat ada-tidaknya hubungan jumlah harta kekayaan dibandingkan dengan penghasilan yang dimiliki terdakwa. Belum Optimal Dalam penerapannya, sistem pembuktian terbalik belum dilakukan secara optimal oleh penuntut umum dan hakim dalam persidangan perkara korupsi. Salah satu kendalanya diduga berkaitan dengan belum konsistennya penerapan laporan harta kekayaan penyelenggara negara dan seluruh keluarga batihnya. Pada kondisi demikian agak sulit untuk melakukan konfirmasi dan cek silang atas harta kekayaan yang dimiliki terdakwa, jika dibandingkan dengan penghasilannya sebagai penyelenggara negara. Seyogyanya, pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara wajib dituliskan asal usul kekayaan atau peningkatan harta kekayaan dalam suatu periode tertentu. Pada saat ini, para pejabat negara acapkali berlindung dengan menyatakan harta kekayaannya didapatkan dari hibah yang diberikan seseorang tanpa bisa dilakukan konfirmasi kebenaran hibah dimaksud. Pada masa mendatang, sistem pembuktian terbalik ini juga harus didukung oleh sistem pencegahan korupsi yang dapat memaksa seorang penyelenggara negara memberitahukan asal usul kekayaan yang didapatkannya. Seiring dengan itu, pejabat dimaksud harus bersedia menandatangani suatu surat kuasa kepada negara untuk dapat merampas kekayaan yang diduga dimilikinya, bila hal itu tidak disebut secara eksplisit di dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.