Refleksi : Diketahui    50%, kalau ditambah yang  tidak diketahui mungkin 
mencapai bisa 75%. 
   

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=12433

2009-12-12 
Kebocoran Uang Negara Mencapai 50 Persen




[JAKARTA] Kebocoran keuangan negara paling besar terjadi pada proyek-proyek 
pengadaan barang dan jasa, ungkap Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch 
(ICW) Emerson Yuntho kepada SP, Sabtu (12/12) pagi, di Jakarta.

Penyimpangan anggaran, paparnya, bisa mencapai 30-50 persen setiap proyek. 
Modus yang biasa terjadi adalah proyek fiktif, penggelembungan nilai proyek dan 
permainan dengan pihak rekanan. 

"Itu sering terjadi karena anggaran masuk lewat proyek pemerintah dengan pihak 
swasta," tuturnya.

Dia mengungkapkan, kerap terjadi sistem arisan di antara rekanan, peserta 
tender terafiliasi dalam satu perusahaan yang sama sehingga tinggal dibuat 
kesepakatan untuk memenangkan salah satu pihak secara bergilir. "Ada 10 
perusahaan, tapi yang menang tender tiga perusahaan. Tinggal gantian saja, 
padahal induknya itu-itu saja," jelasnya.

Menurut dia, korupsi pengadaan barang dan jasa sebenarnya lebih mudah 
diberantas dibandingkan suap karena ada bukti berupa dokumen dan kepanitiaan. 

Kepala Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto mengungkapkan, ada 86 kasus 
korupsi selama periode Januari hingga Juli 2009 dengan 217 tersangka. 

Dari kasus-kasus tersebut ICW mencatat potensi kerugian negara mencapai Rp 1,17 
triliun. Daerah yang paling tinggi potensi korupsinya berdasarkan kuantitasnya 
adalah Sulawesi Selatan sebanyak 26 kasus (30,2%), Sumatera Utara delapan kasus 
(9,3%), Jawa Timur tujuh kasus (8,1%). 

Dari potensi kerugian negara, Banten terbesar mencapai Rp 169 miliar, diikuti 
Kalimantan Tengah Rp 112,89 miliar, Kalimantan Barat Rp 100 miliar, dan 
Sulawesi Selatan Rp 48,2 miliar.

Untuk pelakunya, anggota DPR dan DPRD mencapai 73,3% dengan 63 tersangka, 
pejabat pemda 54 tersangka ( 62,8%), dan kalangan swasta 46 tersangka (53,5%).

Secara terpisah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) John Pieris berpendapat, 
pemberantasan korupsi yang menjadi program prioritas Presiden SBY hanya akan 
efektif jika dilandasi diskresi luar biasa untuk memberlakukan beban pembuktian 
terbalik 

Dia menjelaskan, diskresi adalah kewenangan yang membolehkan pejabat publik 
melakukan suatu kebijakan karena undang-undang belum mengaturnya secara tegas. 
Tiga syarat untuk itu, yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah 
kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Saat ini, lanjutnya, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas 
mengatur tentang beban pembuktian terbalik. Beban pembuktian terbalik hanya ada 
dalam satu delik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 (b) dan pasal 37 (a) 
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan 
perampasan harta benda terhadap seseorang yang didakwa dengan pasal-pasal 
korupsi. 


Menyulitkan Pembuktian

Selain itu, tuturnya, teori pembuktian yang selama ini diakui di Indonesia 
adalah pembuktian negatif (Pasal 193 KUHAP) yang sejalan dengan prinsip praduga 
tidak bersalah. "Ini menyulitkan proses pembuktian kasus korupsi apalagi yang 
terkait dengan penyelenggara negara," katanya.

Anggota DPD asal Nusa Tenggara Timur Sarah Leri Mboeik mengungkapkan, ada 
kekhawatiran dengan peningkatan status korupsi telah menjadi kejahatan melawan 
kemanusiaan dan peradaban akhirnya hanya menjadi simbol tanpa menyentuh upaya 
nyata pemberantasan korupsi. Dia sepakat dibutuhkan Perppu yang mengatur asas 
pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi, di samping tetap 
dibutuhkan kontrol horisontal antara sesama lembaga negara dan kontrol vertikal 
melalui pengawasan dan tekanan masyarakat sipil terhadap lembaga negara. "Korup 
perlu upaya yang konsisten, koheren dan bersinergis," ujarnya.

John berharap presiden melakukan diskresi luar biasa kalau berkomitmen 
memberantas korupsi, seperti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti 
undang-undang (Perppu) untuk melengkapi kekurangan undang-undang. 

John berpendapat, jika pemerintah ingin membuat paradigma politik pemberantasan 
korupsi yang inheren (berbanding lurus) dengan paradigma politik penegakan 
hukum, maka harus ada instrumen hukum yang luar biasa. "Untuk menutup 
kekosongan yang ada saat ini, keluarkan Perppu sambil memproses penerapan 
sistem pembuktian terbalik untuk diajukan ke DPR. Kalau tidak, pemberantasan 
mafia hukum maupun pemberantasan korupsi yang jadi program prioritas SBY dalam 
dua tahun ini tidak akan efektif," paparnya. 

Emerson sepakat perlunya menerapkan pembuktian terbalik untuk meminimalisasi 
korupsi. Namun, menurut dia, caranya dengan memperbaiki UU No 31/1999 yang 
sudah diperbarui oleh UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

John mengemukakan, meski bersifat sementara, namun Perppu pembuktian terbalik 
yang dikeluarkan presiden harus secara jelas memuat ketentuan mengenai sanksi 
hukum yang tegas, sekaligus mengatur persyaratan mengenai pelaporan kekayaan 
setiap pejabat publik atau penyelenggara negara. "Sanksinya bisa dengan 
penyitaan kekayaan atau aset yang tidak dilaporkan, bisa juga sampai pencopotan 
dari jabatan," ucapnya. 

Dia menilai, butuh keberanian dan komitmen yang tinggi dari kepala negara untuk 
dapat mengeluarkan Perppu Pembuktian Terbalik karena akan ada arus penolakan 
baik dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan kaum intelektual. 

Alasan yang sering dimunculkan, ungkapnya, Indonesia tidak mengenal sistem 
hukum seperti itu atau asumsi bahwa beban pembuktian terbalik biasanya 
diberlakukan di negara yang korupsinya sudah jadi bencana nasional, sehingga 
tidak ada instrumen lain untuk memberantas korupsi selain itu. 

Dia menambahkan, jika ada penolakan dari pemerintah atau DPR terhadap Perppu 
pembuktian terbalik, sikap itu justru dipertanyakan Pasalnya, pemerintah maupun 
DPR memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mengambil keuntungan dari 
jabatannya dan mengabdi demi kepentingan rakyat, bukan jsutru memperkaya diri. 
"Kalau mau tunjukkan komitmen pemberantasan korupsi dan mafia hukum seperti 
harapan rakyat, apapun risiko dan tantangannya harus berani dan itu harus 
dimulai dari presiden, elite politik dan lembaga negara," tukasnya. [C-5/M-12/






<<23_29_110.gif>>

Attachment: sig.jsp?pc=ZSzeb112&pp=GRfox000
Description: Binary data

Reply via email to